Oleh SUHARTOKO
Suasana Ngaji Jurnalistik. |
Saya sengaja memilih diksi atau frase ‘Ngaji Jurnalistik’ ketimbang ‘Diklat’ (Pendidikan dan Pelatihan) sebagaimana disodorkan panitia kepada saya sebelumnya. Bukan tanpa pertimbangan alias ngawur atau asal saya memilih frase tersebut, tetapi dibarengi dengan deskripsi atau bahkan argumentasi untuk menguatkan pilihan.
Jumat pagi, 28 Januari 2022, saya mesti membersamai belasan guru dan karyawan SMA Muhammadiyah 1 Gresik dengan name branding Smamsatu yang berlokasi di Jalan Wahidin Sudirohusodo, Gresik itu. Di ruang perpustakaan di Gedung sekolah yang menjulang hingga 8 lantai itu saya di-dapuk untuk memberikan pembekalan untuk penguatan kemampuan menulis, khususnya dalam memproduksi berita.
Salah satu sekolah
penggerak yang namanya moncer ini memang memiliki concern pada
pengembangan literasi, baik terhadap para siswa maupun guru, bahkan
karyawannya. Dan, untuk mengoptimalkan potensi menulis mereka, oleh Kepala Smamsatu,
Ainul Muttaqin, SP, MPd, saya diminta mendampingi mereka dengan casting
sebagai Pembina Jurnalistik.
Itung-itung ikut
men-support Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang kerap saya lakukan bersama
teman-teman penggerak literasi lainnya, saya tak kuasa menolak permintaan
kepala sekolah muda energik ini. Di Smamsatu, aktivitas literasi, termasuk di
dalamnya kepenulisan jurnalistik, nyantol pada kehumasan yang digawangi Wakil
Kepala Sekolah bidang Kehumasan Akhmad Akmal Rifqi, SPd. Selain mendampingi
para guru dan karyawan, dalam kapasitas yang sama –sebagai Pembina—saya juga
mendampingi belasan siswa yang mengambil ekstrakurikuler jurnalistik.
“Biar
maksimal, mesti melibatkan fiigur yang memang suhu di bidangnya,” ujar Fiqi,
sapaan Akhmad Akmal Rifki, dalam obrolan santai dengan saya.
Kembali ke
laptop, eh topik bahasan, saya pilih diksi atau frase ‘Ngaji Jurnalistik’
dengan harapan agar suasana bisa lebih caii, tidak tegang, dan nyaris tidak ada
sekat yang yang berpotensi penghambat arus komunikasi antara saya dan mereka.
Saya sampaikan, bahwa dalam forum yang di-setting santai dengan duduk bersila
di salah satu ruang perpustakaan Teras Mentari itu, kami memosisikan diri
sebagai para pembelajar literasi yang secara bersama-sama ingin meningkatkan
kemampuan menulis, khususnya pada genre berita dan feature.
“Kita
sepakat belajar bersama di forum ini ya. Tidak ada guru, tidak ada murid. Karena
itu, kita bisa saling dialog dan sharing pengetahuan dan pengalaman
menulis. Nanti kita bikin-kan grup WA sebagai sarana berkomunikasi tak
berjarak. Insya Allah, dalam beberapa bulan ke depan, saya akan mendampingi
Njenengan semua hingga benar-benar mahir membuat berita. Ini penting untuk
men-suppot pengembangan sekolah ini,” ujar saya menyemangati.
Pada titik
ini, kami sepakat! Dan benar, komunikasi di antara kami benar-benar mengalir
hingga tak terasa waktu mendekati manjing waktu salat Jumat. Banyak pertanyaan
dan dialog mengalir deras di forum ini. Bahkan, Ketika acara sudah bubaran pun,
masih ada beberapa peserta yang menanyakan sesuatu terkait dengan berita, mulai
perencanaan, mengembangkan isu sebagai bahan berita, hingga praktik menulis
yang enak dibaca.
Seperti saya
sampaikan di awal pertemuan, saya memang tidak banyak menyampaikan teori tentang
menulis berita. Sebaliknya, saya lebih banyak mengajak dan praktik menulis
berita. Ini saya lakukan, selain saya telah melakukan penjajakan tetang positioning
mereka terkait penulisan berit, saya benar-benar ingin memanfaatkan waktu dan
kesempatan yang ada, tidak hanya mengetahui bagaimana menulis berita, tetapi
langsung menulis dan menikmati berita.
Bahkan, di
sela “memprovokasi” mereka untuk selalu bergembira dalam menulis, saya
memberikan tantangan khusus. Apa aitu? Saya sampaikan, di akhir program nanti
saya menantang mereka untuk menulis buku secara keroyokan dalam bentuk antologi
esai atau feature. Dengan suka cita mereka menerima tantangan ini.
“Di
mana-mana, baik di kelas maupun di forum-forum literasi, saya selalu mengajak
untuk menulis buku. Nggak sulit kok, tinggal menasah dan melatih kemampuan
yang sudah ada. Modalnya cuma satu. Ap aitu? Mau aja, lalu menulis.
Berikutnya menulis dan terus menulis,” tandas saya kembali memompa semangat.
Dan…, deal.
Kami sepakat dan berkomitmen memungkasi program Ngaji Jurnalistik ini kelak
dengan menerbitkan buku. Belum ada gambaran apa tema yang akan kami tulis. Saat
ini kami memang belum focus ke penulisan buku. Menulis buku akan kami jadikan tetenger
di akhir program dan waktunya masih lebih dari cukup.
Kami inginkan, di akhir program ini ada peninggalan karya
nyata dan “sesuatu banget” yang kelak bisa dibaca dam menjadi tonggak inspirasi
oleh generasi mendatang. Semoga Gusti Allah meridhoi, aamiin …aamiin Yaa
Robbal ‘aalamiin. (*)
Gresik, 28 Januari 2022
No comments:
Post a Comment