Penulis bersama Prof Budi Darma (kemeja putih) dan para pegiat literasi di Surabaya.
(Catatan Ringan Murid Kultural Mengenang Prof Budi Darma, MA, PhD)
Oleh SUHARTOKO
Padat merayap. Begitulah,
arus lalu lintas di kawasan kampus Ketintang Universitas Negeri Surabaya
(Unesa) pagi setengah siang itu tak mampu membawa Toyota Avanza yang kami
tumpangi melaju dengan cepat. Mobil warna silver ini melaju dengan kecepatan
rendah, maksimum cuma 20 kilometer per jam. Sempitnya badan jalan yang hanya sekitar
tiga meteran tak mampu menampung arus lalu lintas yang padat, apalagi jika ada
kendaraan yang berpapasan. Laju kendaraan nyaris berhenti alias nggremet.
Dari kawasan Ketintang menuju jalur utama jalan Ahmad Yani, kami harus membuang waktu lebih dari setengah jam, meski jaraknya tak sampai dua kilo meter. Ya, arus lalu lintas saat itu memang lagi padat-padatnya, dan ini menjadi pemandangan lumrah bagi yang biasa melintas di jalur ini.
Kami sedikit lega
begitu memasuki jalur utama kota di jalan Ahmad Yani. Meski arus kendaraan tak
kalah padatnya, tetapi lebarnya badan jalan membuat laju kendaraan bisa melaju
dengan cepat. Tidak sampai setengah jam setelah merayapi jalur mulus itu, kami
pun sampai tujuan, Hotel Utami di kawasan Banda Juanda.
Ketika itu, April 2012,
saya yang terlibat dalam kepanitiaan program “Jatim Menulis dalam Bingkai
Indonesia Menulis”, ikut menjemput Prof Budi Darma, MA., PhD di kediamannya di
kawasan kampus Ketintang menuju Hotel Utami di sekitar Bandara Juanda,
Sidoarjo. Kami menuju hotel itu untuk mengikuti pembukaan program yang
melibatkan 100 guru, 100 siswa, dan 76 mahasiswa dari berbagai daerah di Jatim.
Mereka adalah peserta
pendidikan dan pelatihan (Diklat) penulisan –mewakili daerah, sekolah, dan
kampus masing-masing-- yang akhirnya mampu menerbitkan tiga buku sekaligus,
bertema pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Hotel Utami hanya dijadikan lokasi
untuk prosesi pembukaan. Selanjutnya, Diklat dan pendampingan digelar di Unesa,
Kampus Ketintang.
Prof Budi Darma
dihadirkan pada acara pembukaan itu untuk memantik dan membakar semangat menulis
para peserta Diklat. Selain Prof Budi Darma, pembukaan Diklat itu juga
menghadirkan beberapa pejabat di lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Timur
(Pemprov Jatim) juga para pegiat dan penggerak literasi.
Sepanjang perjalanan
(Ketintang-Juanda), tak banyak yang kami perbincanagkan, kecuali saling menanya
kabar dan kondisi kesehatan, serta perkembangan gerakan literasi ala kadarnya,
khususnya bidang kepenulisan di masyarakat dan dunia pendidikan. Sepanjang
perjalanan itu pula saya merasa tertawan, kikuk dan malu yang ketika itu duduk
berdampingan di jok tengah mobil yang kami tumpangi.
Betapa tidak, baru kali
itu saya berdampingan dengan “orang besar” sekaliber Prof Budi Darma yang karya
dan pemikirannya telah mendunia dan menginspirasi banyak penulis mapan. Sebelumnya,
saya hanya mengenal pria berpenampilan kalem ini lewat tulisan-tulisan, baik
yang lahir dari pikiran dan tangannya sendiri, maupun oleh orang lain.
Tentang kebesaran nama
Prof Budi Darma tentu tak ada yang menampiknya. Di dunia sastra, selain dikenal
sebagai pelopor penulis prosa modern, ia juga kerap dijuluki penganut aliran
absurd yang tak jarang menjungkir-balikkan nalar dan pikiran pembaca lewat karya-karyanya.
Berbagai penghargaan baik tingkat nasional maupun internasional juga diraihnya.
Tak hanya di bidang sastra-budaya, Prof Budi Darma juga pendidik yang dikagumi para
murid atau mahasiswanya baik di kampus-kampus dalam maupun di luar negeri,
seperti di Amerika Serikat, Jepang, Inggris, dan beberapa negara lainnya.
Maka, hati saya benar-benar
merasa ciut dan nggreweli setiap kali
berucap di dekatnya. Dalam perbincangan yang terkesan ringan-ringan saja di sepanjang
perjalanan, saya benar-benar kikuk dan malu untuk merespon setiap materi
pembicaraannya. Hal ini bukan terkait konten atau masalah yang kami
perbincangkan, tetapi pada adab atau tata krama yang ia tunjukkan.
Ini pula yang menguatkan
informasi tentang figur Prof Budi Darma yang masuk ke telinga dan pikiran saya.
Sosok priyantun yang santun, lemah
lembut, bijak, bersahaja, ngemong, nguwongake lawan bicara, dan seabrek
nilai kebaikan lainnya adalah persepsi dan stempel yang melekat pada dirinya.
Dan, semua informasi
itu ternyata benar adanya. Lidah saya di-bikin
kelu dan kikuk untuk berbicara, sekaligus malu ketika beliau memakai sapaan ‘Njenengan’ kepada saya. Apalagi dalam
perbincangan itu, apa yang disampaikan banyak didominasi oleh ungkapan-ungkapan
krama inggil, tingkatan paling halus
dalam Bahasa Jawa. Saya yang biasa hidup dalam kultur arek atau Suroboyoan di-bikin mati kutu.
Saya bisa menerima
pesan dan paham apa maksudnya, meski tersampaikan dengan ungkapan krama inggil. Tetapi, jujur saya tidak
mampu dan tidak sanggup untuk merespon dengan pola dan gaya yang sama, yakni krama inggil. Maka, dalam meresponnya,
saya lebih banyak menggunakan Bahasa Indonesia. Kalaupun mampu krama inggil, tentu dengan diksi yang
sangat terbatas, misalnya ‘injih, mboten, ngapunten’. Itu saja yang saya
bisa. Selebihnya, ampuuuuuun.
Murid Kuktural
Selama menjadi
mahasiswa IKIP Surabaya (sekarang Unesa), saya belum pernah berinteraksi
langsung dengan Prof Budi Darma. Maklum, saya yang angkatan 1986 dan lulus 1990
adalah mahasiswa juruan atau program studi (Prodi) Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni (FPBS), sekarang menjadi Fakuktas Bahasa
dan Seni (FBS). Sementara beliau mengampu di jurusan Bahasa Inggris, sehingga selama
masa perkuliahan, tidak ada mata kuliah yang saya peroleh darinya.
Selama empat tahun menempuh
pendidikan di Unesa, saya mengalami dua masa kepemimpinan rektor, yakni Prof
Budi Darma dan Pak Soerono Martorahardjo. Dua tahun pertama, masa perkuliahan
saya ketika kampus itu masih dipimpin Prof Budi Darma dan dua tahun sisanya di
masa kepemimpinan Pak Soerono.
Meski nyaris tak pernah
berinteraksi secara langsung, sosok Budi Darma tidaklah asing buat kami yang
sering bersentuhan dengan karya sastra. Tentu, tak terkecuali karya besutan
pria berkulit putih bersih itu. Studi atau kajian-kajian sastra, khususnya pada
aspek apresiasi dan kritik sastra, tak lepas dari karya pria lembut dan
bersahaja ini. Di antaranya novel Olenka,
Rafilus, kumpulan cerpen Orang-orang Blominton, dan sejumlah
cerita pendek (cerpen) lainnya. Jadinya, kami lebih pas disebut sebagai murid
kulturalnya.
Interaksi intensif justru
kerap terjadi ketika sudah lulus dari perguruan tinggi negeri yang dikenal
sebagai “pabrik” pencetak atau produsen guru ini. Interaksi itu umumnya terjadi
dalam kesempatan seminar-seminar sastra dan budaya atau sejumlah aktivitas
literasi. Dari situlah saya lebih banyak bersetuhan dengan Prof Budi Darma. Referensi
tentang apa dan siapa Prof Budi Darma, selain saya himpun dari sejumlah
karyanya, juga banyak saya gali dari membaca kisah biografi pria kelahiran
Rembang, Jawa Tengah, 25 April 1937
ini. Selebihnya, saya dapatkan dari cerita-cerita lisan para kolega yang kerap
berinteraksi langsung dengannya.
Kini, kebersahajaan,
kesantunan, dan aliran kesejukan yang mengayomi itu tak lagi bisa saya nikmati
secara langsung. Sabtu, 21 Agustus 2021 lalu, sekitar pukul 06.00 WIB, Tuhan
Yang Maha Penyayang, Allah SWT, telah memanggilnya. Beliau meninggal setelah
sebelumnya mendapat perawatan di rumah sakit bersama istri, anak, dan asisten
rumah tangganya.
Jagat sastra dan pendidikan
berduka. Innalillahi wainna ilaihi
roji’un. Selamat jalan, Sang Maestro. Semoga kelak surga Tuhan menampungmu.
(*)
Gresik, 25 Agustus 2021
No comments:
Post a Comment