Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Membincang
proses pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020 di Gresik, Desember mendatang, perhatian
publik tentu tak bisa lepas dari peran Nahdliyin,
baik secara struktural maupun kultural, baik secara organisatoris maupun
personal. Hal ini terkait dominasi warga Nahdlatul Ulama (NU) di wilayah
Kabupaten Gresik, meski secara statistik belum ada data riil yang ter-publish terkait kontribusinya terhadap
perolehan suara kontestan Pilkada.
Tetapi, stigma yang terpatri selama ini, siapa yang mampu merebut suara NU dialah yang berpotensi jadi pemenang. Ibarat kenduri, warga NU adalah tumpeng lezat yang layak jadi rebutan pengenduri (peserta hajatan). Warga NU adalah laksana gadis seksi nan menawan, yang mengundang decak gagum para pemuda yang ingin menyuntingnya. Sebaliknya, warga NU sebagai pemilik suara dalam Pilkada, tentu realistis jika menjatuhkan pilihannya kepada calon bupati dan atau calon wakil bupati yang lahir dari “rahim” jam’iyyah itu.
Deskripsi itu
merupakan takaran atau pertimbangan-pertimbangan normatif yang lazim berlaku
dalam kenduri politik dalam menentukan pilihan terhadap peserta Pilkda. Dalam
perspektif tersebut, menjatuhkan pilihan politik tentu akan lebih gampang
dilakukan jika calon atau kontestan Pilkadanya jelas “warnanya”, tidak bias atau
abu-abu. Dalam konteks Pilkada Gresik, itu akan memberikan guide bagi warga pemilik suara tentang kadar ke-NU-an atau bahkan
jika ada warna lain dari sang calon.
Masalahnya,
dalam Pilkada di Gresik hanya menghadirkan kader NU sebagai peserta. Hingga
catatan ini ditulis, cuma terdapat dua pasang bakal calon bupati/wakil bupati,
yang nota bene semuanya berasal dari
entitas NU. Kedua pasang bakal calon kontestan itu adalah Moch. Qosim – Asluchul
Alif (QA) yang diusung oleh PKB dan Gerindra
dan pasangan Fandi Akhmad Yani – Aminatun Habibah (NIAT) yang akan
diberangkatkan oleh multipartai: Golkar, PDIP, Demokrat, Nasdem, PPP, dan PAN. Kedua
pasang bakal calon itu secara resmi sudah mendaftar ke KPUD Gresik sebagai
kontestan Pilkada yang akan bertarung Desember 2020 mendatang.
Jika
dikalkulasi dengan kekuatan masing-masing calon kontestan tersebut di kursi
parlemen di DPRD Gresik periode 2029-2024, maka pasangan NIAT mendominasi
dengan menguasai 29 kursi, sementara QA memiliki 21 kursi. Kursi koalisi NIAT
dihimpun dari Golkar sebanyak 8 kursi, PDIP (6), Nasdem (5), Demokrat (4),
serta PPP dan PAN masing-masing 3 kursi. Sementara 21 kursi dewan yang milik koalisi
QA berasal dari PKB (13) dan Gerindra (8).
Memang,
dalam pemilihan bupati/wakil bupati secara langsung, posisi atau komposisi perolehan
kursi oleh partai-partai pengusung dan atau pendukung di parlemen belum menjadi
parameter baku dan satu-satunya penentu kemenangan. Masih ada variabel lain
yang bisa menjadi pilar penopang keterpilihan, di antaranya keterkenalan (popularitas)
dan elektatabilitas para calon.
Namun, paling
tidak dengan melihat komposisi perolehan kursi di parlemen oleh partai-partai
pengusung/pendukung, ada gambaran awal untuk mengestimasi kekuatan. Tentu saja,
jika mesin politik pada masing-masing partai berjalan maksimal. Sekali lagi,
faktor popularitas dan elektabilitas dari masing-masing figur kontestan juga
punya andil dalam pemenangan. Faktor lain, support
para pendukung di luar partai yang juga memiliki basis massa. Yang terakhir ini
bisa berasal dari organisasi masyarakat (Ormas), juga komunitas yang secara
riil memiliki “warga negara”.
Jika
menilik pada aspek popularitas dan elektabilitas para bakal calon, dari keempat
kandidat tersebut, hanya Qosim yang memiliki rekam jejak politik paling kuat.
Maklum, Ketua DPC PKB ini termasuk calon petahana (incumbent). Selama dua periode kepemimpinan (10 tahun) terakhir di
Pemerintah Kabupaten Gresik, Qosim adalah wakil bupati, mendampingi Bupati
Sambari Halim Radianto.
Sementara
tiga figur lainnya, yakni Asluchul Alif, Fandi Akhmad Yani, dan Aminatun
Habibah, relatif baru dalam belantara politik. Bahkan, bakal calon Wakil Bupati
Aminatun Habibah sama sekali tidak memiliki jejak politik. Perempuan yang masih
keluarga ndalem di Pondok Pesantren
Qomaruddin Sampurnan, Bungah ini “hanyalah” guru di salah satu lembaga
pendidikan yang bernaung di bawah pesantren sepuh
itu.
Tetapi,
dunia politik itu penuh misteri. Terkadang keberadaannya susah ditebak dan
pergerakannya sangat dinamis, bisa berubah dalam sekejap. Nah, siapa yang bakal
tampil menjadi pemenang dalam hajatan politik, 9 Desember 2020 nanti, tentu ini
masih dalam tanda tanya besar. Sebab, berbagai kemungkinan masih bisa terjadi.
Tentu ini
menjadi pekerjaan berat tim pemenangan atau tim sukses kedua bakal calon
tersebut. Kepiawaian dalam mengonsulidasi kekuatan, strategi dan taktik
berperang untuk merebut simpati massa pemilik suara, termasuk kekuatan amunisi
berupa penyediaan biaya untuk sosialisasi dan komunikasi publik, tentu akan
diuji di panggung politik yang masih tersisa sekitar 2,5 bulan ini.
Terlepas
dari siapa pun yang bakal menjadi pemenang dalam Pilkada langsung nanti, satu
harapan tentu terpatri dari lubuk hati terdalam, agar Gresik ke depan mampu menjadi
lebih baik yang akan membawa keberkahan, tidak saja bagi pemerintah dan para
pejabatnya, terlebih untuk seluruh warga masyarakatnya. (*)
No comments:
Post a Comment