Oleh SUHARTOKO*)
![]() |
Salah satu tahapan Pilgub di Jatim. (Ilustrasi foto: Google) |
TAHUN 2020 ini Indonesia bakal punya gawe besar dalam menjalankan roda
demokrasi. Agendanya adalah memilih pucuk pimpinan di berbagai daerah. Tercatat
ada 270 daerah yang akan menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) dan itu
akan berlangsung secara serentak. Jika tidak ada aral melintang Pilkada
serentak di 270 daerah itu berlangsung pada Rabu, 23 September 2020.
Seperti dilansir Direktorat Jenderal
Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri, dari 270 daerah dimaksud, rincinya:
di sembilan daerah provinsi akan digelar Pilkada untuk memilih gubernur/wakil
gubernur, 224 kabupaten memilih bupati/wakil bupati, dan sisanya di 37 kota
untuk memilih walikota/wakil walikota baru.
Untuk pemilihan gubernur, meliputi Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.Terdapat dua provinsi yang seluruh daerah kabupaten/kotanya sama sekali tidak melaksanakan pemilihan kepala daerah pada 2020. Keduanya, yakni Provinsi Aceh dan DKI Jakarta.
Sementara di Jawa Timur (Jatim), pemilihan bupati/walikota akan berlangsung di 19 daerah kabupaten/kota. Rincinya adalah: Kota Surabaya, Pasuruan, Blitar, Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Jember, Situbondo, Banyuwangi, Kediri, Blitar, Ponorogo, Ngawi, Trenggalek, Pacitan, dan Sumenep,
Tahap pendaftaran pasangan calon gubernur dan
wakil gubernur diagendakan pada Februari 2020. Sementara untuk pendaftaran
calon bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota akan
dilaksanakan pada minggu pertama bulan Maret 2020. Kemudian masa kampanye
dimulai 1 Juli dan berakhir pada 19 September 2020 dengan durasi 81 hari.
Rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat
kabupaten/kota akan dilaksanakan pada 29 September hingga 1 Oktober 2020.
Sementara,rekapitulasi hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk
pemilihan gubernur dan wakil gubernur akan dilaksanakan pada 3-5 Oktober 2020.
Satu hal yang tidak bisa dihindari dalam
proses Pilkada adalah terjadinya koalisi di antara peserta Pilkada. Koalisi
bisa berasal dari atau terjadi secara personal, bisa juga secara kelembagaan
atau institusi. Secara personal, koalisi bisa dilakukan oleh calon kepala
daerah: gubernur, bupati atau walikota untuk memilih dan menggandeng calon
wakilnya untuk maju bersama dalam kontestasi Pilkada.
Koalisi personal juga bisa melibatkan
calon peserta atau kontestan dengan para cukong politik yang biasanya dari para
pemodal (pengusaha) secara perorangan atau korporasi untuk support pendanaan selama proses Pilkada berlangsung. Calon
kontestan secara personal juga bisa merangkul pimpinan organisasi
kemasyarakatan (Ormas), keagamaan, profesi, atau juga komunitas, dengan harapan
bisa menjadi magnet politik (vote getter)
untuk mendulang suara secara signifikan.
Selain secara personal, koalisi juga bisa
belangsung secara kelembagaan, yakni oleh partai pengusung dan pendukung.
Koalisi kembagaan ini lebih bersifat formal untuk memenuhi syarat minimal
kepesertaan yang ditentukan perundang-undangan. Untuk bisa mengusung calon
peserta Pilkada, partai yang perolehan suaranya belum mencukupi syarat minimal
akan bergabung atau membentuk koalisi dengan partai lain, sehingga memenuhi
syarat untuk bisa mendaftarkan calonnya ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Namun, koalisi ini tidak hanya bisa
dilakukan oleh partai pengusung yang modal perolehan suara Pemilu atau kursi di
dewan tidak cukup memenuhi syarat mininal. Kaoalisi bisa saja dilakukan oleh
partai-partai besar yang modal suara hasil Pemilu atau kursi di dewan sudah
mencukupi syarat minimal, bahkan berlebih. Yang terakhir ini biasanya dilakukan
untuk memperkuat amunisi mesin politik saat Pilkada berlangsung.
Koalisi personal biasanya tidak
terlalu rumit asal komitmen kuat, bahwa konsesi yang akan diperoleh para pihak,
saling menguntungkan, khususnya bagi pemodal atau pendulang suara. Pada tahap
inilah biasanya modus transaksional mulai didesain para pihak yang terlibat
koalisi. Sementara pada koalisi kelembagaan, peluang konsesi politik bisa
berupa bagi-bagi kekuasaan lewat jabatan-jabatan strategis atau akses bisnis
dari proyek yang didanai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Termasuk dalam hal ini adalah deal-deal
tertentu saat penentuan kebijakan daerah. Pengawalan dan keberlangsungan
koalisi dengan partai pengusung dan pendukung dilakukan melalui wakil-wakil
partai yang duduk di kursi dewan (DPRD).
Tergadainya Kekuasaan
Ketika koalisi mulai dirancang dan
terjadi kesepakatan awal dalam pra-Pilkada, di sinilah peluit penggadaian
sebagian kekuasaan mulai ditiup, dan secara bertahap akan menggerogoti marwah
pemerintahan yang bermartabat dan berwibawa. Dampaknya, kontestan yang
memenangi Pilkada tidak bisa leluasa menjalankan roda pemerintahan.
Jasa yang telah diberikan oleh mitra koalisi
--yang akhirnya mampu mengantarkan ke puncak kepemimpinan pemerintahan--,
membuat sang kepala daerah serba ewuh
pakewuh, dan menjadi kurang greng,
karena terjerat dan tersandera oleh politik balas budi. Sang kepala daerah
merasa harus membalas budi baik para mitranya dengan konsekuensi memasung
sebagian kekuasaannya sebagai manifestasi "hadiah" atau konsesi
politik yang harus diberikan.
Kalau sudah demikian, ujung-ujungnya
rakyat akan menjadi korban. Sebab, tersanderanya proses penyelenggaraan
pemerintahan akibat deal-deal politik
dengan mitra koalisinya, mau tidak mau kepala daerah harus mengembalikan modal
politis yang sudah diterima saat proses Pilkada berlangsung kepada mitra
koalisinya. Sampai di sini, sesungguhnya pengelolaan pemerintahan sudah
tergadai. Out put pemerintahan yang
seharusnya dinikmati oleh rakyat, harus dipersembahkan kepada mitra koalisi.
Betapa rezim koalisi telah berpengaruh
kuat terhadap kepemimpinan dalam pemerintahan, secara kasat mata juga terlihat
ketika pemilihan presiden dan wakil presiden. Meski presiden terpilih memiliki
hak prerogatif dalam menyusun kabinet, toh
saat memilih dan menentukan calon menteri, ia tidak bisa melepaskan diri (sama
sekali) dari pengaruh mitra koalisinya.
Meski secara formal seorang presiden
selalu mengkalim, bahwa menteri yang dipilih bebas dari tekanan siapa pun dan
bebas dari politik bagi-bagi kursi/jabatan sebagai imbalan perjuangan mitra
koalisinya, publik tidak bisa dibohongi. Dan, dalam susunan kabinet,
menteri-menteri dan pimpinan lembaga setingkat menteri cenderung
merepresentasikan secara proporsional kontribusi partai atau mitra koalisi,
termasuk tim suksesnya.
Tidak muat untuk mengakomodasi semua
mitra koalisi karena kapasitas kabinet terbatas? Selalu ada cara. Kalau pada
posisi menteri dan lembaga setingkat menteri tidak memungkinkan karena sudah
penuh, bisa mengangkat staf khusus presiden, wakil presiden, juga menteri,
meski keberadaannya kerap mengundang kontroversi dan resistensi publik terkait
kapasitas personel yang ditunjuk. Masih tidak tersedia tempat lagi, balas budi
bisa dilakukan dengan menyebar personel yang dianggap telah berjasa, ke
perusahaan-perusahaan pemerintah (Badan Usaha Milik Negara/BUMN) dengan
menempati posisi di dewan direksi atau komisaris. Nah, klop kan!
Akankah potensi ancaman rezim koalisi
ini benar-benar menjadi kenyataan dalam proses pelemahan pengelolaan
pemerintahan di daerah, baik di tingkat kabupaten/kota maupun provinsi di
Indonesia? Begitu lemahkah para pemimpin kita dalam menjalankan amanat rakyat,
sehingga harus bertekuk lutut di hadapan mitra koalisi?
Tentu ini akan berpulang kepada nurani
dan keberanian pemimpin dalam mengendalikan roda pemerintahan. Dengan
kesadaran, bahwa (meski berangkat dan diusung oleh partai saat mengikuti
Pilkada), jika pemimpin daerah, baik bupati/walikota atau gubernur bersandar
pada amanat rakyat, tentu ia akan melawan bentuk-bentuk tekanan eksternal,
termasuk dari mitra koalisi. Dan, ini bisa dieliminasi sejak dini ketika
menjalin koalisi pra-Pilkada.
Sejak awal, calon kepala daerah harus
membentengi diri dari godaan dan secara tegas menyampaikan sikap dan positioning jika kelak terpilih dan
memenangkan Pilkada. Sinyal ini mesti terlihat jelas sejak awal. Kalau tidak,
ia akan menjadi bulan-bulanan mitra koalisi, termasuk dalam menghadapi
“gangguan” DPRD sebagai mitra dalam mengelola dan mengendalikan pemerintahan.
Pengelolaan
pemerintahan di sejumlah daerah di negeri ini memang masih banyak menyisakan
masalah yang menyesakkan dada. Tetapi, hadirnya pemimpin yang berkarakter dan
berintegritas dengan mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan
partai atau golongan, merupakan oase di padang gersang yang akan membawa bangsa
ini lebih bermartabat penuh keberkahan. (*)
No comments:
Post a Comment