Oleh SUHARTOKO
![]() |
Lelang komoditas agro, salah satu sarana pemasaran hasil panen petani. |
BERDIRINYA
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang secara khusus concern pada pengelolaan sektor pangan di Jawa Timur (Jatim) mulai
memasuki ranah publik. Paling tidak, diskusi tentang pentingnya perusahaan
(baca: BUMD Pangan) milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim mulai dihelat dan
menghangat sejak dua tahun terakhir. Konon , fisibility study dari kampus ternama di Jatim kabarnya juga telah
dilakukan dan rekomendasinya sudah diserahkan kepada Gubernur Khofifah Indar
Parawansa.
Bola
kepastian jadi atau tidaknya pendirian BUMD Pangan di Jatim kini bergulir di
tangan sang gubernur. Tentunya, masih ada keserangkaian agenda pembahasan
lanjutan bersama DPRD yang perlu dilakukan sebelum jadi keputusan politik
berdirinya BUMD itu. Sebab, untuk mendirikan perusahaan yang sumber dana
pengelolaannya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), lazimnya
memang melibatkan peran dewan, khususnya komisi yang membidanginya. Akankah
rencana pendirian BUMD Pangan ini menjadi kenyataan? Kalau benar bahwa Jatim
bakal segera memiliki BUMD Pangan, siapa yang bakal diuntungkan?
Komisi
XI DPR RI sebenarnya telah memberikan support
dengan mendorong agar Jatim memiliki BUMD yang khusus menangani pangan. Hal itu
terungkap dalam Musrenbang Provonsi Jatim bersama Gubernur Khofifah
Indarparawansa belum lama ini. Dorongan agar Jatim memiliki BUMD Pangan
disampaikan dengan pertimbangan, provinsi ini memiliki kontribusi besar
terhadap stok pangan nasional, rata-rata di atas 30 persen. Dengan berdirinya
BUMD Pangan, dampak positifnya akan dinikmati para petani berupa peningkatan
kesejahteraan, sekaligus meningkatkan perekonomian Jatim melalui pendapatan
asli daerah (PAD) yang dihasilkan dari pengelolaan BUMD Pangan tersebut.
Masalah
pertanian, khususnya subsektor pangan, memang menjadi salah satu perhatian
Pemprov Jatim di bawah kepemimpinan Gubernur Khofifah. Secara politis, hal ini
terkait dengan aspek stabilitas harga dan pasokan barang di masyarakat yang
dalam momentum tertentu --ketika terjadi kecenderungan lonjakan permintaan (demand)-- perlu penanganan khusus,
misalnya melalui operasi pasar.
Di
sisi lain, ada tuntutan mendesak untuk menyejahterakan petani penggarap atau
produsen dengan cara meningkatkan nilai tambah/tukar mereka. Peningkatan nilai
tukar petani (NTP) diharapkan menjadi parameter keberhasilan pengoperasian BUMD
Pangan. Di sisi lain, sebagai perusahaan (Perseroda) tentu saja tidak boleh
rugi. Perusahaan ini tetap dituntut membukukan keuntungan sebagai PAD kepada
Pemprov sebagai pemilik atau pemegang saham utamanya.
Seperti
diketahui, tingginya disparitas harga jual hasil panen petani antara harga
ketika masih di sawah (saat panen) dan di pasar akhir, penikmat utamanya
bukanlah petani produsen, melainkan para pedagang perantara atau
tengkulak/pengepul. Para tengkulak/pengepul inilah yang ternyata lebih banyak
diuntungkan, sementara para petani cenderung gigit jari.
Banyak
cerita sedih, ketika panen tomat atau kubis, misalnya. Petani di pedesaan
enggan memanen tanamannya. Sebab, antara biaya atau ongkos petiknya tidak
setimpal dengan harga jualnya ke pengepul atau tengkulak. Hal serupa juga kerap
dialami petani padi. Biaya sarana produksi padi (saprodi) --terutama pupuk--
yang telah mereka keluarkan gak nyucuk
dengan harga jual gabahnya. Sementara para pedagang perantara
(pengepul/tengkulak) justru menikmati keuntungan berlipat.
Besarnya
perhatian Pemprov Jatim terhadap masalah pangan sebenarnya telah menjadi concern Khofifah sejak sebelum menjadi
gubernur, yakni sejak masa kampanye menjelang pemilihan gubernur/wakil gubernur
(Pilgub/wagub), Mei tahun lalu. Ketika debat Cagub, Khofifah menegaskan,
provinsi Jatim menjadi penyangga pangan nasional karena besarnya kontribusi
sektor pertanian, termasuk di dalamnya perikanan, perkebunan, dan peternakan.
Atas
dasar itu, Khofifah dan wakilnya, Emil Elestianto Dardak, mematri komitmen
untuk memetakan kembali basis-basis pertanian, perkebunan, dan perikanan di
Jatim. Selain itu, pihaknya juga menyediakan layanan informasi bagi para
petani. Layanan informasi itu akan disampaikan melalui aplikasi yang memberitahukan tentang komoditas yang
sebaiknya ditanam para petani.
Hal
itu, kata Khofifah dalam debat kedua saat itu, untuk mencegah kelebihan pasokan
(over supply), sehingga tidak ada
harga komoditas yang jatuh ketika memasuki masa panen. Begitu juga
sebaliknya, tidak ada kekurangan pasok
ketika musim panen berlalu yang biasanya dibarengi melambungnya harga. Di
sinilah misi stabilitas pasokan dan harga diperankan. Baik pasokan dan harga
tetap dalam kendali yang wajar.
Saat
ini sebenarnya sudah ada perusahaan BUMD milik Pemprov Jatim, yakni PT Jatim
Grha Utama (Perseroda) yang lewat anak perusahaannya, PT Puspa Agro, telah
menunjukkan perhatian besar terhadap peningkatan pendapatan petani. Perusahaan
ini juga telah menunjukkan kinerjanya dalam mengelola aneka komoditas
pertanian, termasuk subsektor pangan. Hanya saja dalam perspektif meningkatkan
kesejahteraan yang ditandai dengan peningkatan NTP, peran riilnya masih perlu
ditingkatkan.
Problem Pemasaran dan Distribusi
Bagi
petani produsen, problem terbesar mereka adalah masalah pemasaran komoditas
pascapanen. Akses petani umumnya terbatas dalam menembus pasar untuk bisa
menjual hasil panen mereka. Akibatnya, mereka terpaksa "merelakan
diri" pasrah dalam cengkeraman para tengkulak/pengepul atau pedagang
perantara. Mekanisme penentuan harga jual komoditas sama sekali tak berimbang
dan pedagang/pengepul cenderung menjadi penentu dan pengendali harga.
Kondisi
perekonomian sebagian petani yang pas-pasan makin membuka peluang
tengkulak/pengepul untuk menguasai petani secara total. Karena itu tak jarang,
petani jatuh dan terperangkap dalam jebakan tengkulak/pengepul. Sejak masa
tanam, petani sudah dikondisikan untuk sangat bergantung kepada
tengkulak/pengepul.
Bentuknya
macam-macam. Dengan dalih membantu meringankan beban petani, tengkulak
memberikan pinjaman terlebih dahulu untuk keperluan biaya produksi, mulai
membeli bibit atau benih, pupuk, ongkos tenaga penggarap dan perawatan, hingga
datang masa panen. Bahkan tak jarang jebakan pemberian pinjaman itu
dialokasikan untuk membayar biaya sekolah anak dan kebutuhan hidup sehari-hari.
Bagi
pedagang, tengkulak atau pengepul, pemberian pinjaman itu tak lebih dari
strategi berdagang agar petani benar-benar terikat dan tak menjual hasil
panennya ke pihak lain. Sementara dari kacamata petani, mereka merasa berutang
budi karena telah “dibantu” selama proses tanam, pemeliharaan hingga prapanen.
Kondisi
seperti inilah yang membuat petani tak berdaya dalam menentukan harga jual
hasil panennya. Akibatnya, berapa pun harga yang dipatok pedagang, tengkulak
atau pengepul, petani cuma bisa manut,
tidak memiliki posisi tawar (bargaining
position) yang kuat. Pada gilirannya, lagi-lagi petani berada pada posisi
yang tidak beruntung.
Di
sisi lain, panjangnya mata rantai distribusi perdagangan komoditas pertanian,
khususnya subsektor pangan yang berlaku selama ini membuat harga jual di
tingkat pasar menjadi relatif tinggi. Dampaknya konsumen harus menerima harga
tinggi pula. Ini masalah bagi upaya penstabilan harga komoditas di pasar. Dan,
(sekali lagi) penikmat selisih harga dari tiap level itu bukanlah petani
produsen, melainkan para pedagang.
Hadirnya
BUMD Pangan diharapkan mampu memperpendek mata rantai perdagangan, sehingga
meningkatkan efisiensi dan efektivitas distribusi. Jangan sampai keberadaan
BUMD Pangan malah menambah daftar panjang mata rantai perdagangan, karena
ikut-ikutan mengambil posisi sebagai pedagang baru. Untuk maksud ini, dalam
praktiknya BUMD Pangan bisa merangkul kelompok-kelompok tani (Poktan), gabungan
kelompok tani (Gapoktan), juga koperasi yang anggotanya memang berasal dari
para petani .
Di
sinilah peran strategis yang bisa dijalankan BUMD Pangan. Dia hadir sebagai
pengendali dan penstabil harga dan pasokan aneka komoditas di masyarakat,
peningkatan kesejahteraan petani dengan variabel naiknya NTP, sekaligus
membantu mendongkrak perekonomian daerah melalui PAD ke kas daerah yang
disumbangkan atas kinerja positif perusahaan.
Bagaimana
format dan formulasi BUMD Pangan yang telah digagas dan bergulir ke ranah
publik, sekali lagi, bola kini berada di tangan Gubernur Khofifah untuk
merealisasikannya. Dengan ketiga misi mulia tersebut di atas, memang dibutuhkan
keputusan politik yang cepat, cermat, dan memihak rakyat. (*)
No comments:
Post a Comment