Mengawali masuk kerja pascaliburan tahun baru, 2 Januari
2020, saya berkesempatan mengikuti rapat yang melibatkan para manajer dan
pimpinan perusahaan. Rapat tidak berlangsung di kantor perusahaan tempat saya
bekerja sehari-hari, tetapi di kantor induk perusahaan (holding company), yakni PT Jatim Grha Utama (JGU), salah satu Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim).
Di antara dialog interaktif di forum rapat ini, saya
tergelitik dengan pesan Pak Dirut terkait pengembangan sumber daya manusia
(SDM) perusahaan. Pesan-pesan normatif, seperti perlunya komitmen dan
konsistensi, serta kerja keras penuh tanggung jawab dalam bekerja mendapat
perhatian dalam pesan itu. Namun, bagi saya itu biasa-biasa saja. Sebab, memang
begitulah sikap dan laku yang seharusnya dipegang teguh oleh awak perusahaan,
baik para karyawan maupun pimpinan atau manajemen perusahaan.
Yang menjadi luar biasa bagi saya adalah, bahwa di antara pesan
itu terselip spirit pelibatan Tuhan dalam kerja sehari-hari. Dikatakan, kontrak
kerja yang ditandatangani oleh karyawan dan pimpinan perusahaan, sesungguhnya
tidak saja menjadi kesepakatan kedua belah pihak (karyawan dan manajemen
perusahaan), tetapi juga dengan Tuhan, sekaligus. Tuhan mengetahui dan
menyaksikan bagaimana kinerja SDM dalam perusahaan.
Ini spirit luar biasa, menurut saya. Kesepakatan bipartite antara karyawan dan perusahaan
yang disaksikan langsung oleh Tuhan dan para malaikatnya, jika dijadikan
pondasi dalam bekerja, maka akan kokohlah bangunan kinerja yang akan
dihasilkan. Kalau spirit ilahiyah
(pelibatan Tuhan) sudah mengaliri darah dan nafas pekerja dan pengelola
perusahaan, maka tidak akan ada kecurangan dan praktik kerja yang koruptif, tidak
akan ada penzaliman, juga tidak akan ada penggerusan hak dan terjadilah berimbangan
dengan kewajiban masing-masing. Rasa aman dan nyaman pun bakal dirasakan oleh
para pihak yang terlibat dalam proses pekerjaan dan manajemen.
Kalau sudah demikian, manajemen perusahaan, khususnya HRD (Human Resources Departement/Divisi
Sumber Daya Manusia/Kepersonaliaan) tidak perlu sudah-susah melakukan pembinaan
kepada para karyawan. Sebab, pelibatan Tuhan dalam etos kerja, baik dari unsur
karyawan maupun manajemen, pada hakikatnya telah berlangsung pembinaan mental (bintal)
plus. Nilai tambah (plus) itu berupa berlangsungnya bintal yang diperkuat
dengan dimensi spiritual. Pengawasan dan pengawalan kinerja SDM tidak perlu
dilakukan oleh HRD, namun cukup diserahkan kepada masing-masing personel yang
ada. Sebab, Masing-masing personel akan merasa diawasi oleh Tuhan yang sejak
awal telah “dilibatkan” dalam kontrak kerja.
Inilah amaliyah ibadah dalam arti luas. Bekerja untuk
keluarga yang lazim dipersepsikan sebagai wilayah atau urusan duniawi, akan
mengubur batasan-batasan normatif jika diniati sebagai ibadah. Aktivitas kerja
pun akhirnya menjadi bagian integral dari ibadah, yang setiap proses
perjalanannya selalu menyertakan kehadiran Tuhan. Dalam perspektif ibadah, proses
dan hasil dari jerih payah dalam bekerja pada gilirannya akan membersamai
amaliyah pelakunya hingga kelak menuju akhirat (ukhrawi).
Jika bekerja dilakukan secara baik, dengan menghadirkan
Tuhan dalam setiap prosesnya, maka akan baik pula hasil yang akan dipetik,
tidak saja berupa gaji atau imbalan lainnya yang bersifat kebendaan. Jauh lebih
dari itu, ia akan menjadi ladang kebajikan yang terus mengalirkan pahala yang
bisa dipanen di akhirat kelak. Jika sebaliknya, dampak buruknya pasti juga akan mbandhil (jadi bomerang) kepada pelakunya.
Nah, sebaik-baik pengawasan adalah yang secara riil datang
dari diri sendiri. Dan, ini bisa terwujud jika sejak awal masing-masing personel
yang terlibat dalam proses pekerjaan, baik dari pihak karyawan maupun manajemen
atau pimpinan perusahaan, selalu menghadirkan Tuhan dalam dirimya. Pada
gilirannya, kinerja (performance) perusahaan
dan SDM-nya pun akan terangkat penuh dengan keberkahan. (*)
Surabaya, 6 Januari 2020
No comments:
Post a Comment