![]() |
Capres/Cawapres Jokowi-Ma'ruf Amin vs Prabowo-Sandi (Ilustrasi: Tribunnews) |
Oleh SUHARTOKO
2019. Ini bukan sekadar sederet angka yang menunjuk pada kurun waktu tahunan yang berlaku saat ini. Tahun 2019 merupakan tahun istimewa karena dalam periode ini bangsa dan warga negara Indonesia tengah memasuki gerbang tahun politik. Lebih istimewa lagi, di tahun inilah, tepatnya pada 17 April 2019 bangsa ini menggelar hajatan politik, yakni pemilihan umum (Pemilu) yang diprediksi berlangsung paling heboh dibanding berkali-kali pesta demokrasi sebelumnya.
Ya, ini menjadi Pemilu paling heboh yang bakal menguras energi, pikiran, juga pendanaan luar biasa besarnya, karena di medio 2019 akan tergelar pemilu serentak. Warga negara yang telah memenuhi syarat untuk memberikan hak suara dan ditetapkan dalam daftar pemilih tetap oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan memilih presiden dan wakilnya, anggota legislatif (DPRD Kabupaten/Kota, DPRD Provinsi, dan DPR RI), serta anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilik suara akan mencoblos pilihan mereka pada saat yang sama, di bilik suara yang sama pula, dengan lima kartu atau surat suara sekaligus.
Dalam Pemilu serentak ini, tidak kurang 192,8 juta pemilih di 2.559 daerah pemilihan (Dapil) akan menerima lima surat suara sekaligus yang dibawa ke bilik suara untuk mengeksekusi pilihan mereka. Surat suara itu berisi dua pasang calon presiden dan wakil presiden, ratusan nama calon legislatif (Caleg) untuk memilih 575 anggota DPR RI, ribuan nama Caleg DPRD provinsi dan DPRD Kab/Kota di berbagai penjuru tanah air, dan ratusan nama calon senator untuk menentukan 136 anggota DPD.
Memang, ini kali pertama KPU menggelar Pemilu serentak untuk memilih anak-anak bangsa terbaik yang akan menempati pos kepresidenan, legislatif, dan DPD. Sebelumnya, pemilihan presiden/wakil presiden dan anggota legislatif, serta anggota DPD selalu dihelat dalam waktu berbeda.
Terlepas bakal heboh-nya pelaksanaan Pemilu tahun ini, ada fenomena menarik yang layak dicermati dan kritisi selama memasuki tahapan pra dan pelaksanaan kampanye, khususnya pada Pemilu presiden/wakil presiden. Ini juga biasa terjadi ketika proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik pada pemilihan gubernur/wakil gubernur maupun bupati/wakil bupati dan walikota/wakil walikota. Apa itu?
Insting Curi Start
Hal yang biasa terjadi dan menjadi sesuatu yang dianggap lumrah ketika kontestan Pemilu melibatkan incumbent (petahana) adalah dijadikannya capaian atau prestasi selama masih menjabat --apakah dalam posisi presiden, gubernur, ataupun bupati/walikota-- sebagai amunisi kampanye baik langsung maupun tidak langsung, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Euforia pemanfaatan capaian kinerja positif oleh kontestan petahana kian terasa dan masif dipertontonkan ketika tim pemenangan atau tim sukses memanfaatkan media sosial (Medsos) sebagai sarana akselerasi komunikasi secara telanjang. Meski tak jarang hal ini memicu konfrontasi dengan tim sukses atau pendukung pihak lawan, dari Pemilu ke Pemilu selalu saja terjadi.
Lihat saja, betapa keras pertarungan antar-pendukung kontestan Pemilu di Medsos, seperti di grup-grup WA, FB, IG, Twitter, Line, Milis, dan lain-lain. Bahkan, demi memuluskan kemenangan sang calon jagoannya, mereka tidak lagi mengindahkan etika berkomunikasi dan praktis menafikan kesantunan dalam berpolitik. Framing dan produksi informasi hoax seakan menjadi menu wajib yang mereka kampanyekan ke ruang publik. Ironisnya, aksi ini justru jauh dari esensi program kerja yang digagas dan informasi visioner yang ingin diwujudkan.
Kontestan petahana tidak mau secara ksatria untuk bersama-sama dengan rivalnya berangkat dari titik yang sama: 0 kilometer, titik awal pemberangkatan sebagai calon pemimpin. Dengan berbagai fasilitas dan kesempatan yang tersedia, mereka menjadikan capaian kinerja positif dan membanggakan selama menjabat sebagai magnet untuk menarik simpati calon pemilih. Dalam konteks ini, petahana selalu menang start. Padahal, dari kutub berlawanan (lawan politik) bisa jadi cara itu akan membuka peluang untuk menyerang balik dengan mengungkit-ungkit kelemahan atau keburukan kinerjanya.
Memang, secara eksplisit tidak ada larangan --baik di UU Pemilu maupun Peraturan KPU-- menjadikan capaian kinerja petahana sebagai amunisi kampanye. Tetapi secara etik, cara itu tidaklah mencerminkan fair play dalam sebuah pertandingan yang mestinya berlangsung penuh sportivitas. Dan, siapa pun petahananya, dapat dipastikan memanfaatkan dan menjadikan capaian kinerja untuk amunisi kampanye atau menggaet simpati publik calon pemilih. Inilah insting curi start yang hanya dimiliki oleh kontestan petahana, tidak pada lawan-lawannya.
Regulasi Fair Play
Ke depan, untuk menciptakan pesta demokrasi yang benar-benar sportif, perlu regulasi yang menjamin tidak adanya kontestan Pemilu yang mendahului atau bahkan curi start. Dalam melakukan aksi-aksi politiknya, peserta Pemilu berangkat dari titik yang sama secara bersamaan. Tidak ada yang mendahului dan tidak ada yang merasa didahului.
Ini bisa dilakukan melalui penerbitan perangkat UU atau Peraturan KPU yang secara teknis mengatur semua hal terkait tahapan-tahapan Pemilu, termasuk materi kampanye dan kapan (dalam arti luas) boleh dimulai. Petahana tidak perlu pamer prestasi dalam kampanye atau untuk kepentingan sosialisasi.Sebaliknya, secara ksatria berani menanggalkan apa yang telah dicapai dan dilalui selama menjabat. Orientasinya adalah program kerja dan visi ke depan jika terpilih atau menang Pemilu.
Perlu juga diatur dalam regulasi yang fair play itu, pengunduran diri kontestan Pemilu dari jabatan; semisal bupati/walikota, gubernur, bahkan presiden, begitu secara resmi mendaftar sebagai kontestan Pemilu ke KPU. Jadi, bukan sekadar cuti atau tetap menjabat sebagaimana berlangsung selama ini, tetapi mengundurkan diri secara resmi. Dengan demikian, peluang memanfaatkan fasilitas negara selama masa pra dan kampanye bisa dihindari.
Itulah hakikat dan praktik politik 0 kilometer (0 Km) yang mesti dikembangkan untuk menciptakan Pemilu yang lebih berkeadilan dan bermartabat untuk bangsa. Untuk bisa merealisasikannya, perlu komitmen kuat dari para pemangku kepentingan (stake holder) di negeri ini untuk mewujudkan Pemilu yang memihak pada kemajuan bangsa dan negara tercinta, Indonesia. (*)
No comments:
Post a Comment