Natal dan Tahun Baru dalam Pusaran Perselisihan Umat
Oleh SUHARTOKO
Dua momentum yang selalu menyedot perhatian publik. Begitu memasuki bulan Desember tiap tahunnya, sebagian masyarakat selalu memberikan atensi luar biasa. Apalagi ketika memasuki hari H dihelatnya perayaan dua hari besar itu, yakni Hari Natal dan Tahun Baru (Miladiyah/Masehi)
Yang justru luar biasa adalah kuatnya keterlibatan emosi umat Islam (Muslim) menyikapi datangnya dua momentum tersebut. Dengan pemahaman beragam bahkan bertolak belakang, mereka sepertinya show of force dalam mengapresiasi datangnya Natal dan Tahun Baru.
Tidak jarang di ruang-ruang publik mereka memertontonkan argumentasi dan sikap yang mestinya tak perlu dilakukan. Saling klaim dan merasa paling benar di mata Tuhan, mereka tak sungkan-sungkan melabeli dan memvonis pihak yang tidak sepemahaman sebagai sosok yang intoleran dan mencederai kebinekaan, mencerai-beraikan persatuan dan kebersamaan antar-umat beragama, serta mengancam keutuhan berbangsa dan bernegara.
Di kutub yang berbeda, perlawanan tak kalah sengitnya juga terdeteksi begitu telanjang. Dengan klaim berdalih pada sandaran ilahiyah, serangan balik mereka lakukan dengan menilai lawan yang tidak sepemahaman sebagai pihak yang menjungkirbalikkan dan merusak akidah Islamiyah. Bahkan kerap terlontar tudingan kafir dan murtad bagi Muslim yang ikut larut dalam prosesi peringatan Hari Natal, termasuk sekadar memberikan ucapan 'selamat Natal dan Tahun Baru’ kepada yang merayakannya. Gerakan menyepikan malam Tahun Baru pun mereka kampanyekan di mana-mana.
Perang terbuka di ruang publik, di antaranya melalui grup-grup media sosial (medsos) seperti WhatsApp (WA), Facebook (FB), Instagram (IG), mailing list (milis), juga cuitan di Twitter menjadi pemandangan lumrah dan menu utama yang sehari-hari mereka konsumsi. Lebih menyedihkan, yang terlibat perseteruan itu ternyata tidak saja orang kebanyakan yang argumentasinya tak didukung secara keilmuan, tetapi sudah menarik publik figur yang mestinya memberikan pemahaman dan pencerahan kepada umat.
Di antara mereka yang asyik berselisih paham dan bertikai, terdapat para kyai pemangku pondok pesantren, ustadz, guru/pendidik, pimpinan organisasi kemasyarakatan, akademisi dan lain-lain. Mereka tidak saja mempertahankan pemahaman dengan argumentasi masing-masing, tetapi sudah saling serang dan menghujat pihak yang berseberangan dalam sikap dan laku amaliyahnya.
Pertanyaannya, siapa yang lebih pantas memiliki dan berhak memegang otoritas menjadi paling benar terkait Natal dan Tahun Baru? Kalaupun pada akhirnya ada salah satu yang lebih mendekati kebenaran dan sebaliknya di pihak lain, layakkah pertikaian itu ditumbuhsuburkan dan dipertontonkan secara dramatis di ruang publik? Bukankah dengan begitu antar umat beragama justru terbelah dan terkotak-kotak dalam bingkai ketidakharmonisan yang dikekalkan?
Kembalikan Makna Toleransi
Munculnya perselisihan atau perseteruan sesama Muslim terkait penyikapan terhadap perayaan Natal dan Tahun Baru tak lepas dari pudarnya pemahaman dalam memaknai toleran atau toleransi antar-umat beragama. Akibatnya, secara serampangan seorang Muslim dengan mudah melabeli saudaranya sesama Muslim sebagai pihak yang intoleran (tidak toleran) hanya karena berbeda pendapat, pemahaman, dan sikap terhadap hari besar itu. Di sisi lain, ada yang tak segan-segan menganggap kafir dan bahkan murtad saudara sesama Muslim untuk hal yang sama.
Merujuk pada sejumlah kamus tentang kosa kata 'toleran’ atau ‘toleransi’, di antaranya Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Dictionary.reference.com, juga Wikipedia, makna yang terkandung di dalamnya adalah terkait dengan sikap saling menghormati, menghargai, menenggang, membiarkan, membolehkan perbedaan pendapat dan pendirian akan suatu masalah. Tidak satu kamus pun memaknai 'toleran' sebagai sikap pemaksaan, melarang atau mencegah. Dengan demikian, dalam toleransi beragama tidak dibenarkan jika ada pihak yang memaksa untuk bersikap atau menjalani peribadatan tertentu. Atau sebaliknya, tidak dibenarkan ada pihak yang melarang atau mencegah pihak lain untuk bersikap dan menjalani peribadatan yang diyakini.
Ya, untuk menciptakan keharmonisan dan tetap menjaga kondisi umat yang tenang, nyaman, kondusif, dan beradab, kata kuncinya memang terletak pada sikap saling menghargai dan menghormati, serta membiarkan untuk bersikap dan menjalani ibadah sesuai pemahaman dan keyakinan masing-masing.
Kalau kondisi itu bisa terbentuk dan menjadi sikap mental yang terbiasa mendasari laku pikiran dan tindakan amaliyah sehari-hari, maka pertikaian, saling menghujat, melabeli intoleran, juga memvonis kafir dan murtad terkait perayaan Natal dan Tahun Baru bisa dihindari. Pada gilirannya, hidup yang damai, harmonis, dan beradab di antara sesama umat beragama bisa dicipta-abadikan. (*)
Gresik, 29 Desember 2018
Dimuat di Harian DUTA Masyarakat, 2 Januari 2019
Dimuat di Harian DUTA Masyarakat, 2 Januari 2019
No comments:
Post a Comment