Oleh ADRIONO *)
ILMU itu ada dua: ilmu sekolahan
dan ilmu lapangan. Lalu, ilmu lapangan juga ada dua: pengalaman dan pemahaman.
Dan pemahaman pada akhirnya bermuara kepada dua hal
juga: kesadaran akan eksistensi diri dan perubahan perilaku.
Pembelajar sejati merasa kerasan
berposisi sebagai murid, karena senantiasa bergerak mencari, ngangsu, mencermati, dan merenungi. Dan
itu ada dalam diri sahabatku, yang sama-sama mantan wartawan Surabaya Post, Mas Suhartoko. Buku barunya, “JEJAK SUNYI Sang
Mualaf” dengan jelas mencerminkan hal itu.
Baginya semua suasana, peristiwa,
anugerah, cobaan hidup adalah sarana untuk mengaji alam, sebagai medium untuk
menangkap hikmah dan bersyukur. Bahkan kecelakaan motor dan rasa nyeri di
pinggang coba dinikmati sebagaimana rasa senang, dengan tetap berprasangka baik
kepada skenario yang dibuat oleh Allah SWT.
Sebagai wartawan dan kini bekerja
di PT Puspa Agro tentu banyak pengalaman yang didapat. Yang menarik semua itu
selalu dikaitkan dengan keberadaan Sang Maha Pencipta. Lihatlah, bagaimana dia
bisa merasa dekat dengan Allah justru tidak dalam suasana berzikir atau tahajud,
melainkan saat berada di puncak Gunung Ijen.
Dia juga merasakan khusuknya doa
dan kepasrahan total kepada Ilahi di saat diombang-ambingkan perahu karet dalam
rafting yang mencekam, atau saat
merasakan kengerian menjadi “co-pilot” pesawat tempur taktis Bronco OV-10 yang
bermanuver molak-malik dan menukik
tajam untuk melakukan pengeboman, dalam sesi latihan militer di pantai
Lumajang.
“Allahu Akbar. Di sinilah dimensi
ilahiyah saya kembali terasah dan saya merasa Gusti Allah, Tuhan Yang Maha
Perkasa, memang ada di samping saya.” (hlm 6).
Tentu banyak orang mengalami
peristiwa dan pengalaman religius seperti itu. Demikian juga pasti banyak orang
yang memiliki pengetahuan tinggi yang tersimpan di batok kepala masing-masing.
Tetapi, inilah kelebihan seorang penulis. Dia mampu membuat pengetahuan yang
tersembunyi (tacit knowledge) dalam
dirinya menjadi terdiskripsikan dalam kata-kata yang jelas sehingga bisa dibaca
orang lain. Penulis mampu membuat harta karun tacit knowledge menjadi pengetahuan yang eksplisit (explicit knowledge), yang bisa dinikmati
dan diwarisi semua orang.
Beruntungnya lagi Mas Suhartoko
adalah wartawan sekaligus sarjana Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unesa.
Sehingga urusan “teknis pertukangan” dalam tulis-menulis tentu sudah mumpuni.
Tulisannya mengalir lancar, bernas, dan kadang menghanyutkan. Buku ini gurih
serta bergizi. Selamat atas terbit buku terbarunya, semoga segera disusul
dengan lahirnya buku-buku berikutnya. Good
job, sahabat.
(*) Penulis buku dan praktisi jasa kepenulisan, tinggal di
Sidoarjo.
No comments:
Post a Comment