![]() |
Hadirnya keluarga pada anak |
Jika mencermati lalu lintas informasi lewat media massa dan kondisi
di lapangan, maka terdapat fakta dan fenomena mencenangkan terkait dengan perkembangan
anak-anak. Hampir tiap hari media massa menyuguhkan informasi yang menguatkan
sinyalemen, betapa anak-anak berada dalam kumparan yang berpotensi mengganggu
proses pendidikan dan pendewasaan mereka dalam meraih kesuksesan hidup
sehari-hari.
Selain itu, dalam dasa warsa terakhir ini, publik juga
mendapati lahirnya generasi baru yang di dalamnya sebagian besar melibatkan
anak-anak sebagai pelakunya. Generasi baru yang dimaksud adalah fenomena lahir
dan merebaknya generasi gadget sebagai
konsekuensi perkembangnya teknologi informasi yang ditandai oleh percepatan
munculnya produk hand phone (HP)
dengan vitur-vitur yang memanjakan penggunanya, terutama anak-anak. Demikian
juga pesatnya perkembangan game on line
(yang juga bisa diakses lewat HP), dengan cepat mampu merampas sebagian besar
waktu anak-anak dan memalingkan mereka dari belajar yang seharusnya lebih diutamakan.
Kuatnya magnet dan “sihir” gadget dengan game on line
atau vitur dan fasilitas aplikasi media sosial (medsos) yang menggiurkan seperti
face book (FB), WhatsApp (WA), line, twitter,
instagram, tanpa disadari berdampak negatif pada perkembangan psikologis
dan perilaku anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Di antaranya matinya
kreativitas dan menurunnya etos belajar, menurunnya gairah membaca, cuek
terhadap lingkungannya, serta lebih suka cara instan dalam bertindak. Majunya
perkembangan teknologi informasi yang mestinya bisa dimanfaatkan untuk memacu
semangat dan men-support belajar
disikapi secara secara akal-akalan lewat budaya copy paste (copas).
Apalagi kuatnya peran Google
belakangan ini secara nyata terbukti menjadikan sebagian anak-anak kehilangan
kreativitas dan kerja keras dalam proses belajar.
Kuatnya pengaruh Google
terhadap proses belajar mengajar, membuat pakar pendidikan yang juga mantan
Rektor Universitas Negeri Surabaya (Unesa), Prof Muchlas Samani, memberikan
perhatian khusus dalam bukunya, Semua “Dihandle” Google, Tugas Sekolah
Apa?. Dalam buku terbitan Unesa University Press (2016) setebal xviii + 326
halaman ini, Prof Muchlas Samani menyampaikan kegalauannya jika perkembangan
dunia internet --dengan peran Google-nya—tak diantisipasi secara
cermat dan bijak.
Kegalauan itu di antaranya ia fokuskan pada: bagaimana sekolah sebagai
pengelolala satuan pendidikan mempersiapkan diri untuk menyongsong era media sosial;
dan perlunya guru menyiapkan diri dengan kemampuan yang memadai. Selain itu, ia
menyoroti arah sekolah di Indonesia yang kerap berubah. Apakah sekolah akan
diarahkan untuk merencanakan kebutuhan tenaga kerja, atau untuk pengembangan
sumber daya manusia? Sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik dan perlu jawaban
konkret.
Kata Prof Muchlas Samani, sekolah
harus berubah. Sekolah tidak boleh lagi hanya fokus memberikan ilmu pengetahuan kepada siswa.
Sebab, ilmu pengetahuan dan informasi sudah diberikan secara mudah dan cepat
oleh media sosial atau fasilitas internet lainnya. Untuk mendapatkan informasi
apa pun, dalam waktu kurang dari 1 menit, bisa diakses melalui laman Google yang akan mengantarkan siswa kepada
sumber informasi yang dicari. Karena itu, di era serba digital saat ini, sekolah
seharusnya mengajarkan kepada siswanya untuk menjadi seorang yang memiliki life
skills, bisa belajar secara mandiri, dan mampu berpikir tingkat tinggi.
Sekolah juga harus mengembangkan karakter siswanya sehingga mampu bersaing,
bertanding, dan bersanding secara global.
Hakikat
Pendidikan
Inti pendidikan itu
mengubah siswa atau peserta didik menjadi lebih baik dalam berbagai aspek
sebagaimana tujuan yang ingin digapai oleh penyelenggaranya. Namun, dalam
praktiknya sering dijumpai fakta, parameter keberhasilan pendidikan
dipersepsikan pada kemampuan siswa mengerjakan soal-soal yang diujikan guru
dalam tahap evaluasi. Tak heran, karena orientasinya demikian, proses
pemberlajaran pun cenderung dirahkan untuk membekali siswa agar mampu
mendapatkan nilai maksimal dalam berbagai jenis ujian.
Guru dan atau orang
tua/wali murid, merasa lebih bangga jika siswa atau anak-anak mereka mampu
nilai bagus, tanpa memedulikan apakah sukses meraih nilai itu dibarengi dengan
perbaikan akhlak/moral atau sebaliknya. Yang penting nilai siswa atau anak-anak
bagus, titik! Tidak heran jika kemudian para, banyak orang tua yang rela
mengalokasikan dana jutaan rupiah untuk memasukkan anak-anak mereka ke
lembaga-lembaga bimbingan belajar demi mengejar nilai bagus dan kelak mampu
memasuki jenjang pendidikan lebih tinggi yang mereka inginkan.
Fenomena ini tak pelak memantik kekhawatiran
publik yang mengendaki pendidikan berkualitas dengan lulusan yang berkualiatas
pula. Adalah KH A. Mustofa Bisri sempat melontarkan kegelisahannya terkait
penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Pemangku Pondok Pesantren (Ponpes)
Raudlatut Thalibin Rembang, Jateng itu ngudarasa tentang
carut-marut dan amburadul-nya pendidikan di Indonesia. Kiai
yang akrab disapa Gus Mus ini menilai, masalah tersebut sudah mengakar mulai di
tingkat pengelola satuan pendidikan (baca: sekolah) hingga pembuat kebijakan
tertinggi di bidang pendidikan. Bahkan, menurut Gus Mus, ruwetnya dunia pendidikan
terjadi secara sistemik, karena menyentuh hampir seluruh tahapan dalam proses
pembelajaran di sekolah (Suhartoko, dalam
JEJAK SUNYI Sang Mualaf, Sinar Imajinasi, 2017).
Jika mencermati kembali definisi dan hakikat pendidikan, baik
yang diungkap para pakar pendidikan klasik maupun modern, dalam beberapa dekade
terakhir, sepertinya telah terjadi distorsi pemaknaan. Ki Hajar Dewantara,
bapak pendidikan Indonesia memaknai pendidikan sebagai upaya memajukan budi
pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup,
yaitu hidup dan kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sementara pakar pendidikan Frederick J. Mc Donald memandang pendidikan sebagai
suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat.
Makna hampir sama dapat diperoleh dari terminologi Jawa yang
menempatkan pendidikan sebagai panggulawenthah (pengolahan),
yakni mengolah atau mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan,
dan watak, serta mengubah kepribadian sang anak. Deskripsi lebih lengkap dan
gamblang dapat ditemui dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 UU ini menyebutkan, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa,
dan negara.
Dari paparan tersebut jelaslah, bahwa soal-soal ujian yang
dihadapi peserta didik selama ini jauh dari makna serta maksud dan
tujuan pendidikan. Karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stake
holder) pendidikan menyamakan persepsi tentang pendidikan untuk
menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan para pakar pendidikan maupun
payung hukum yang berlaku, dalam hal ini UU Sisdiknas. Kembalikan makna
pendidikan sesuai dengan “fitrahnya” dan jangan ada lagi distorsi dalam
memaknai dengan merancukannya antara pendidikan dan pengajaran.
Kita tentu tidak ingin para peserta didik atau siswa hanya
piawai menuntaskan soal-soal ujian dengan hasil gemilang, lalu menafikan
perkembangan moral/akhlak atau budi pekerti sebagai bekal bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kita berharap peserta didik tumbuh dengan
berbagai kecerdasan yang secara komprehensif dikembangkan lewat proses belajar
mengajar.
Maksimalkan Peran Keluarga
Kalau ditanya posisi pentingnya peran keluarga dalam proses
pendidikan anak, tentu tidak ada yang membantah. Hanya saja, seberapa besar
peran yang harus diberikan keluarga, khususnya orang tua, ini kerap menjadi
bahan diskusi. Sebab, kemampuan masing-masing keluarga dalam mendampingi
pendidikan anak-anak tentu beragam. Ini yang kemudian membutuhkan peran lembaga
penyelenggara atau pengelola pendidikan seperti sekolah. Namun, satu hal yang
tak bisa ditawar, dalam proses pendidikan anak, keluarga adalah peletak dasar
pondasi yang kelak akan menentukan kokohnya perkembangan Pendidikan dan
kepribadian anak.
Unicef, salah satu lembaga di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
yang berkonsentrasi menangani anak, dalam laman resminya juga mengingatkan
betapa pentingnya partisipasi orang tua dan komunitas dalam proses Pendidikan
anak secara dini. Keterlibatan peran keluarga atau orang tua dalam banyak
penelitian disebutkan memiliki korelasi positif terhadap keberhasilan
pendidikan dan perkembangan emosi serta sosial anak. Karena itu, seiring dengan
perkembangan zaman, khususnya pesatnya teknologi informasi yang ditandai dengan
kemudahan akses via internet, peran keluarga atau orang tua perlu terus
dimaksimalkan dengan terus meng-up date
pengetahuan dan kemampuan di berbagai bidang yang dibutuhkan untuk perkembangan
anak.
Jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada 22-24 April 2015 terhadap 326 responden yang di
keluarganya terdapat anak usia sekolah, menunjukkan, mayoritas publik menyadari
pentingnya peran orang tua dalam pendidikan anak. Sebanyak 85 persen responden
menyatakan, orang tua dan keluarga memiliki peran paling penting dalam proses
pendidikan anak. Hanya 15 persen responden yang menilai peran tersebut ada di
tangan guru dan lingkungan di luar keluarga.
Pentingnya peran keluarga atau orang tua dalam pendidikan anak
juga diamini Pemangku Pesantren Nusantara Ma’had TeeBee Indonedia (PeNUs MTI)
Surabaya, Miftahul Luthfi Muhammad. Bahkan lebih ekstrem Gus Luthfi, sapaan
akrabnya, mengungkapkan, tidak ada pendidikan tanpa hadirnya peran keluarga
atau orang tua. Pernyataan lugas ini kian menguatkan, posisi keluarga atau
orang tua merupakan pilar utama dan harus dominan dalam proses pendidikan anak.
Hadirnya keluarga dalam
mendampingi proses pendidikan anak sesungguhnya bisa berlangsung di mana pun
dan sampai kapan pun anak membutuhkan pendidikan, tanpa tersekat oleh ruang dan
waktu. Dalam perspektif Islam, proses pendidikan sejatinya sudah dimulai jauh
sebelum anak terlahir ke dunia ini, bahkan sebelum berwujud janin dalam
kandungan. Kondisi psikologis dan sumber makanan yang masuk dalam perut sang
ibu diyakini berkorelasi dengan karakter bayi yang kelak lahir dan berpengaruh
dalam perkembangan kejiwaannya. Karena itu, jangankan dalam proses pendidikan
di sekolah, masih berada di kandungan pun, orang tua perlu menyiapkan diri dan
berhati terkait dengan perkembangan anaknya.
Pendampingan keluarga terhadap
anak usia sekolah, tidak saja dilakukan ketika berada di rumah. Ketika anak
tengah menjalani proses pendidikan di sekolah, baik yang regular, maupun full day, bahkan boarding school atau pesantren pun, penguatan peran keluarga atau
orang tua masihlah tetap dibutuhkan. Adanya fasilitas komunikasi seperti HP
yang dilengkapi akses medsos-nya dan sarana komunikasi lainnya, bukan lagi
halangan untuk menintensifkan interaksi orang tua dengan pihak guru atau
sekolah. Karena itu, demi keberhasilan pendidikan anak-anak, sekali lagi,
penguatan peran keluarga atau orang tua, perlu terus dilakukan dan
ditingkatkan. (*)
CATATAN: Dimuat di Harian DUTA MASYARAKAT, edisi 7 Juli 2017, halaman 02.
Siiip... Selamat ya pak..
ReplyDelete