“Ini akan terasa pahit dan menyakitkan. Tapi
ini bagus untuk mengasah dan mengembangkan diri. Jangan merasa nyaman dengan
pujian atau sanjungan, karena itu bisa jadi perangkap yang akan membuat kita
stagnan dalam berkarya.”
![]() |
Bersama Yai Zawawi di Terminal Bungurasih, disaksikan sang istri.. |
Ini pelajaran pertama yang saya dapatkan dari KH
D. Zawawi Imron dalam dialog khusus di ruang tunggu penumpang terminal Purabaya
(Bungurasih) Surabaya, Sabtu, 11 Maret 2017 lalu. Sambil membuka lembar demi
lembar print out bakal buku “JEJAK SUNYI Sang Mualaf” yang saya sodorkan, Yai Zawawi, demikian
saya menyapanya, memang tengah mblejeti
beberapa tulisan saya, terutama pada genre puisi.
Dan, pelajaran berharga yang kali pertama saya
serap adalah bagaimana saya mesti menyiapkan diri dan memiliki pertahanan diri yang prima ketika menerima
kritik atau masukan konstruktif demi mengasah diri dan mengembangkan kemampuan
bersastra. Tidak patah arang ketika dikritik adalah kunci memperkuat barikade
pertahanan. Sebaliknya, kritik; sepedas dan sepahit apa pun, mesti disikapi
sebagai bumbu yang justru membuat sedap masakan, atau jamu yang bikin tubuh kita sehat dan bugar.
Di sisi lain, lanjut Yai Zawawi, jangan merasa cepat
puas dengan sanjungan atau pujian. Sebab, jika tidak disikapi secara arif,
sanjungan atau pujian tak jarang justru membuat kita terlena dan menyandera
diri dari peluang kemajuan. Meski demikian, respon positif itu juga diperlukan
sebagai stimulasi dan penyemangat untuk terus berkarya dan berkembang.
Sabtu pagi itu, saya memang mengikat janji dengan
Yai Zawawi setelah sebelumnya kami sepakati via telepon, terkait dengan rencana penerbitan buku saya.
Lewat sambungan seluler, sebelumnya saya menyampaikan permohonan agar penyair/sastrawan
yang juga mubaligh ini berkenan
memberikan endorsement atas buku saya
yang akan terbit. Respon via telepon
yang ia sampaikan memang tidak secara tegas meng-ya-kan atau menolak. Saya
diminta menyiapkan print out bakal
buku untuk dipelajari dulu sebelum menjawab permohonan saya.
Kami pun sepakat bertemu Sabtu pagi, 11 Maret 2017
di Surabaya di titik lokasi yang ditentukan kemudian. Sambil membawa print out bakal buku, pagi itu saya pun
melaju dari rumah saya di Gresik menuju Surabaya. Sesampai di kawasan Jogoloyo, tepatnya di
depan gerbang Pusdik Marinir Gunungsari, saya kembali menghubungi Yai Zawawi by phone untuk memastikan di mana saya
harus menemuinya.
“Sampean langsung ke stasiun Wonokromo ya. Kita ketemu dan ngobrol-ngobrol dulu di sana, karena saya akan ke Bojonegoro,” kata Yai Zawawi lewat telepon genggamnya.
“Nggih.
Yai. Saya langsung ke sana,” jawab saya tanpa menawar sedikit pun.
Waktu menunjukkan pukul 09.20 WIB. Perkiraan saya,
untuk sampai stasiun itu, waktu yang saya butuhkan sekitar 20 hingga 25 menit
dari Gunungsari. Bersama istri dan anak
bungsu kami, Alya Nur Mufidah, kami pun melaju ke stasiun Wonokromo. Dan benar, pukul 09.46 kami pun sampai di
area stasiun tersebut.
Begitu memasuki gerbang parkir di sisi utara
stasiun, sekelebat saya melihat sosok yang saya kagumi. Beberapa detik mata
saya tertahan untuk memastikan siapa gerangan yang lagi di hadapan saya.
Sejenak hampir tak percaya kalau sosok yang hanya berjarak sekitar tiga meter
itu adalah pria sepuh yang lebih dari
30 tahun tak bersua. Ya, sosok itu ternyata Yai Zawawi yang lama saya kengeni. Saya
tak sempat menyapa ketika memasuki gerbang parkir, karena situasi lagi ramai
dan saya pun memilih langsung masuk area parkir.
Setelah memarkir motor dan hendak menuju stasiun,
saya kembali melewati pintu masuk parkir. Dan, ternyata pria berpeci hitam dan
di tangan kanannya memegang teken itu
ternyata yang tengah saya cari.
Subhanallah … sepertinya tidak ada yang berubah dari tampilan fisiknya
sebagaimana saya temui lebih dari 30 tahun silam. Saya masih menjumpai sosok
Yai Zawawi yang energik dan cekatan meski di tangan kanannya tergenggam tongkat
(Jawa: teken) untuk membantu ketika
berjalan.
Tidak banyak waktu yang kami habiskan di pintu gerbang
parkir itu. Setelah uluk salam dan
berjabat tangan, kami pun menuju loket penjualan tiket yang berjarak sekitar 50
meter dari gerbang parkir. Begitu memasuki area penjualan tiket yang sekaligus
gerbang memasuki stasiun, saya menuju loket dan menanyakan ke petugas, apakah
masih ada tiket jurusan Bojonegoro? Sementara Yai Zawawi menunggu tak jauh dari
posisi saya, hanya sekitar tiga meter..
“Yang duduk sudah habis, Pak. Kalau mau berdiri
masih bisa. Mau?” kata perempuan dalam ruang penjualan tiket.
Saya bergeser mendekati Yai Zawawi untuk
menginformasikan, bahwa tiket sudah habis. Ketika saya sampaikan apakah mau
berdiri –seperti tawaran petugas tiket--, dengan cepat dia menolaknya dan mengajak
saya ke terminal Bungurasih. Dan, bus adalah pilihan alternatif menuju
Bojonegoro setelah tiket kereta api habis.
“Kita ke Bungurasih saja, Mas. Naik bus saja,”
ujarnya.
Kami pun keluar dari area parkir menuju terminal
Bungurasih. Yai Zawawi dibonceng oleh seorang pemuda (belakangan saya ketahui merupakan
cucu sahabatnya di kampung Pulo Wonokromo). Sementara saya membonceng istri dan
anak bungsu kami. Tak ada hambatan selama perjalanan karena arus lalu lintas
sangat lancar, meski padat.
Sesampai di terminal Bungurasih, seusai memarkir
motor, kami menuju ruang tunggu penumpang bus jurusan luar kota. Di antara
kursi yang tertata rapi, kami memilih deretan yang relatif sepi dengan harapan
bisa ngobrol tanpa terganggu bising
calon penumpang lain. Inilah kesempatan pertama saya berbincang secara langsung
dengan suasana gayeng dengannya.
Ketika mahasiswa, beberapa kali saya memang mengikuti seminar sastra yang
menghadirkan Yai Zawawi sebagai pembicara. Namun dalam beberapa pertemuan
itu, sekali pun saya belum pernah berkesempatan berbicara intens dengannya,
kecuali hanya bertegur sapa.
Kata
yang Menggetarkan
Begitu duduk berdampingan, tanpa basa basi, saya
langsung merogoh tas dan mengeluarkan print
out bakal buku yang telah saya jilid dan saya serahkan kepada Yai Zawawi.
Sambil membuka-buka lembar demi lembar print
out itu, dia bilang:
“Saya minta waktu ya untuk baca-baca dulu. Saya
belum bisa pastikan apakah saya akan kasih
catatan atau endorsement nantinya
atau tidak. Saya lihat dulu, apakah memang layak saya beri catatan. Saya tidak
mau lakukan kalau memang menurut saya tidak layak. Saya tidak mau tipu-tipu
dengan mengorbankan reputasi saya,” katanya dengan intonasi dan artikulasi yang
tegas.
Mak
dheg.
Saya merasa seperti kena pukulan mendadak dan sontak membuat saya bengong beberapa saat. Apa yang baru
saja disampaikan itu di luar perkiraan saya. Saya tidak mengira bakal mendengar
ucapan tersebut. Saya sempat berpikir, jangan-jangan naskah saya kelak
dinyatakan tidak layak untuk dikomentari atau diberikan catatan ringan oleh
penyair/sastrawan sekaliber Yai Zawawi yang namanya dikenal di mana-mana.
Perasaan grogi sempat menggelayuti pikiran. Tetapi, ini berlangsung hanya
beberapa detik dan selanjutnya saya merasa pede
aja.
“Saya senang, di usia yang sudah tidak muda,
Sampean masih mau belajar, khususnya sastra. Saya mau membimbing kalau Sampean
mau,” katanya seraya membaca dan mengamati beberapa puisi saya di print out bakal buku yang ia pegang,
Plong.
Saya merasa terhibur dan lega. Pikir saya, ini peluang untuk bisa lebih banyak
menimba ilmu dan pengalaman dalam bersastra dari ahlinya. Dalam hati saya pun
merasa girang dan siap menjadi murid abadinya. Setelah mendapat pukulan
mendadak, kini saya merasa mendapat kesempatan untuk belajar berkarya di bidang
sastra, khususnya puisi.
Di jagad sastra Indonesia, nama D. Zawawi Imron
merupakan satu dari sedikit penyair yang sudah sepuh, namun tetap produktif. Sejumlah karya puisinya juga telah
mendapat penghargaan baik di skala nasional maupun internasional. Itulah
sebabnya, saya merasa mendapat siraman air emas begitu (tanpa saya minta) dia
menyatakan siap membimbing saya dalam berpuisi.
Ia pun kembali memotivasi agar saya tidak cepat
merasa puas dengan apa yang saya capai. Saya juga diminta tidak gampang patah
arang atau menyerah jika menerima kritik atas karya yang lahir dari pikiran dan
tangan saya. Kritik, kata Yai Zawawi Imron, memang sering terasa pahit dan
menyakitkan jika kita tidak siap menerimanya. Karena itu, diperlukan mental
baja untuk bisa berkembang.
Seperti lazim disampaikan guru kepada muridnya,
Yai Zawawi tidak saja memberikan kritik dan masukan atas karya saya. Ia pun
memberikan kata kunci untuk menghasilkan puisi yang bagus dan
diperhitungkan.Apa itu?
“Dalam membuat puisi, kita harus bisa menghadirkan
kata yang menggetarkan. Kalau tidak, puisi kita akan hampa, tidak punya roh dan
kekuatan,” ujarnya.
Kata yang ‘menggetarkan’. Ya, ‘menggetarkan’. Kata
ini saya garis bawahi di pikiran sebagai bekal dan saya jadikan pilar utama dalam
bangunan kokoh bernama puisi. Saya berharap, suntikan semangat ini menjadikan ghirah menulis saya kian berkobar dan
mampu mengasah, serta mengembangkan kemampuan saya, khususnya untuk
menghasilkan karya puisi. Pada gilirannya, saya berharap bisa memberikan
kontribusi positif dalam pengemgangan literasi, khususnya menulis kepada
generasi berikutnya.
Tiga pekan berselang. Setelah “nyantri kilat” sekitar satu jam di
terminal Bungurasih, saya sempat terpasung dalam perasaan harap-harap cemas,
apakah Yai Zawawi berkenan memberikan endorsement
atau justru menolaknya karena dinilai tidak layak. Ada perasaan rikuh untuk
menanyakan apalagi menagihnya. Karena tak kuasa membendung rasa keingintahuan,
saya pun memberanikan diri untuk menayanyakan via WA.
“Assalamu ‘alaikum,
Yai. Apa Njenengan berkenan
memberikan endorsement untuk buku
saya? Saya tunggu nggih Yai, karena semua
bahan sudah masuk ke penerbit,” tulis saya.
Ada perasaan bersalah begitu pesan via WA tersebut
saya kirim. Saya merasa kok gak duwe duga
dan kurang sopan karena telah mengejar-ngejar dan terkesan menarget atau men-dead line penyair sekaliber Yai Zawawi. Ngapunten, Yai.
Sehari setelah
pesan WA saya kirim, saya pun menerima pesan –juga via WA—yang ternyata berisi
catatan kesan atau endorsement Yai
Zawawi atas naskah bakal buku saya: JEJAK
SUNYI Sang Mualaf. Tanpa berpikir panjang, catatan ringan tersebut saya
susulkan ke penerbit untuk melengkapi endorsement
lainnya.
Inilah endorsement
yang diberikan Yai Zawawi untuk calon buku saya:
Sebagai orang
yang pernah aktif dalam dunia kewartawanan, Suhartoko ingin mencari kesejukan
bersama Sang Pencipta. Pengalaman religiusnya ia tulis dan buah dari
renungannya dirangkum dalam buku ini. Renungan-renungan pencarian makna hidup
akan selalu dilakukan manusia ketika merasakan dahaga rohani. Membaca
buku ini, kita seperti melakukan tamasya batin, lewat pengalaman penulisnya.
Terima kasih, Ya Allah. Telah Engkau pertemukan aku dengan
hamba-Mu, KH D. Zawawi Imron, yang telah banyak memberikan ilmu dan semangat
untuk berkarya dalam amal kebajikan. Semoga kelak menjadi jariyah yang terus
mengalir untuknya. (*)
Gresik,
12 April 2017
No comments:
Post a Comment