Thursday, February 16, 2017

Valentine Day dan Jebakan Ruang Hampa

Tiap kali memasuki bulan Februari, perhatian dan pikiran sebagian publik di negeri ini, termasuk saya,  tersedot pada momentum tahunan yang banyak digandrungi kawula muda atau remaja. Ya, Valentine Day yang lazim diterjemahkan sebagai Hari Kasih Sayang selalu saja menarik perhatian banyak pihak. Karena itu tidak heran, begitu memasuki gerbang bulan yang dianggap spesial ini, para kawula muda bersiap diri untuk menyambut dan merayakannya.


Umumnya yang banyak terlibat dalam dalam momen tahunan ini adalah para remaja usia belasan tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka menganggap, Valentine Day yang puncaknya jatuh pada tanggal 14 Februari  adalah momentum yang pada hari itu dibebaskan melakukan apa saja bersama pacar atau pasangan. Pada diri pasangan  muda-mudi itu terpatri stigma pergaulan bebas yang tak jarang menjurus pada perilaku seks bebas tanpa ikatan pernikahan.
Memang, tidak bisa digeneralisasi bahwa yang terlibat dalam peringatan atau perayaan Valentine Day identik dengan tindakan atau pergaulan bebas yang berekses pada perilaku negatif, misalnya pesta minuman keras, narkoba, dan juga pesta seks. Tetapi, konotasi  negatif (paling tidak sampai saat ini) belum bisa lepas dari para pelakunya.

Fenomena tersebut tak pelak membuat para orang tua yang memiliki anak usia remaja ketir-ketir pada hari-hari ini. Dalam perkembangannya, perlawanan pun bermunculan di mana-mana dari para pihak yang menjadikan agama (khususnya Islam) dan  moral sebagai “panglima” dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
 Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga “penjaga moral” dan beberapa organisasi keagamaan Islam adalah yang paling getol melakukan perlawanan dan mengharamkan umatnya untuk terlibat dalam acara-acara yang dihajatkan terkait Valentine Day. Bahkan, belakangan beberapa pemerintah daerah (Pemda), baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota secara resmi mengeluarkan edaran yang berisi larangan menggelar peringatan atau perayaan Valentine Day.

Sementara secara informal, sejumlah komunitas tak kalah semangatnya mengampanyekan larangan terlibat dalam perayaan Valentine Day. Berondongan viral dalam media sosial (Medsos) juga tak kalah sengitnya untuk mencegah para kawula muda terlibat dalam aneka aktivitas untuk menyambut Valentine Day. Selain jauh dan tidak mencerminkan budaya bangsa, efek negatif yang biasanya muncul menjadi alasannya atau pertimbangan larangan tersebut.

Menguji Efektivitas Larangan  
Efektifkah rambu-rambu larangan itu bagi perkembangan para kawula muda atau remaja? Melarang saja, tanpa menawarkan opsi aktivitas pengganti bagi mereka kiranya kurang bijak. Itu sama halnya dengan memasukkan mereka --yang umumnya memang memasuki fase bersenang-senang—dalam ruang kosong lagi hampa. Memang, dalam ruang kosong atau hampa, mereka tidak akan melakukan hal-hal negatif atau yang berpotensi menjerembabkan mereka pada kubangan kenistaan.

Tetapi yang perlu diingat, ketika mereka berhasil terhindar dari kemungkinan berperilaku negatif dan lalu tidak melakukan apa-apa yang positif sebagai penampung ekspresi potensi mereka, kiranya itu kurang ideal. Itu capaian minimal, menurut saya. Di ruang kosong, mereka boleh jadi tidak melakukan hal-hal negatif, tetapi di ruang kosong itu pula mereka pun tidak melakukan aktivitas apa-apa yang positif, alias nothing. Boleh dikatakan, pelarangan yang membabi-buta sesungguhnya justru memosisikan mereka pada jebakan ruang hampa.    

Kalau hal itu dipaksakan, ketika cuma larangan dan larangan yang selalu dipompakan, bukan tidak mungkin mereka, ketika menemukan momentum yang pas, bisa melakukan perlawanan juga. Jika itu yang terjadi, niat baik untuk menyelamatkan mereka dari efek negatif Valentine Day, justru berbalik menjadi bumerang. Akan lebih baik dan ideal, mereka tidak terlibat pada perilaku negatif, sebaliknya mereka juga tidak saja berdiam diri dan mesti mengisi kekosongan waktu dengan aktivitas yang positif.

Ini juga biasa terjadi pada dunia pendidikan ketika para guru atau orang tua lebih banyak melarang ini itu kepada murid atau anak-anak peserta didik, tanpa mengiringi dengan alternatif pengganti atas larangan yang tidak kuasa mereka tolak.  Perlawanan biasanya timbul dengan aneka ragam bentuk, bisa melalui bahasa dan atau tindakan yang ekspresif-agresif, bisa juga dalam bentuk pasif atau bahkan bahasa diam. Ini memang bisa jadi bom waktu jika tidak diantisipasi dan disikapi dengan bijak. Melarang saja belumlah cukup tanpa memberikan tawaran opsi atau alternatif yang mampu mengakomudasi kepentingan atau kebutuhan anak-anak kita. 

Dalam konteks lain, seperti anjuran menyandingkan iman dan beramal salih (aamanu wa’amilussholihah). Dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya pada entitas Muslim, tidak jarang seseorang lebih memilih jalan aman dengan “hanya” menjadikan dirinya sebagai sosok yang beriman atau koridor ketaatan tanpa melakukan amal salih dalam kehidupan sehari-hari, khususnya dalam berinteraksi social dengan sesamanya, baik Muslim maupun non-Muslim. Mereka lebih suka asyik dan khusuk lebur dalam ibadah-ibadah yang berdimensi ritual, sehingga menafikan ibadah sosial.

Komunikasi ibadahnya lebih fokus pada jalur vertikal kepada sang Khaliq (hablu minallah) dan tidak suka pada dimensi sosialnya (hablu minannas). Padahal, dalam banyak ayat suci Al Qur’an yang menjadi sandaran beribadah umat Islam, kedua jalur komunikasi itu harus dijalin mesra secara bersama-sama. Tidak bisa memilih hanya salah satunya. Keduanya mesti disandingkan dan secara taat asas (konsisten) dan istiqomah diamalkan bersama-sama. Inilah komitmen yang mesti terpatri dalam setiap pribadi Muslim.

Perspektif Sejarah
Dalam sejumlah referensi disebutkan, sejarah dan keberadaan Valentine Day ternyata cukup beragam dan banyak versinya. Karena itu, keabsahan atau kesahihannya juga beragam pula, bergantung pada sisi mana kita melihatnya. Tradisi itu awalnya berasal dan berkembang di negara-negara Eropa. Namun bisa dipastikan, merayakan Valentine Day bukan produk Islam atau Indonesia. Dan, dalam perkembangannya, banyak ekses negatif yang timbul dari tradisi tersebut terhadap pelakunya yang umumnya lebih banyak melibatkan para kawula muda.   

Dalam khazanah sejarah Islam sebenarnya juga ada momentum semacam Valentine Day yang dikenal dengan sebutan Yaumul Marhamah (Hari Kasih Sayang). Peristiwa ini terjadi pada saat penaklukan kota Mekah oleh kaum Muslimin yang dipimpinan langsung oleh Rasulullah, Muhammad SAW.

Ketika beliau dan kaum Muslimin berhasil kembali masuk ke Mekah dengan mudah dan tanpa perlawanan dari kaum kafir yang dulu pernah membantai dan mengusirnya, beliau justru datang dengan menebar salam kedamaian dan bukan semangat balas dendam. Dalam pidatonya Kanjeng Rasul menyampaikan berikut ini.
”Wahai manusia, hari ini bukan hari pembantaian, melainkan hari ini adalah hari kasih sayang, dan kalian semua merdeka kembali ke keluarga kalian masing-masing.”

Tidak hanya itu, Rasulullah bahkan juga membagi-bagikan harta rampasan perang kepada mereka. Sementara pasukan Islam yang menyertai Kanjeng Rasul tidak mendapat apa-apa, sehingga mereka pun mengeluh dan protes kepada Kanjeng Nabi. Mereka lalu dikumpulkan.
"Sudah berapa lama kalian bersahabat denganku? Selama kalian bersahabat denganku, apakah menurut hati kalian, aku ini mencintai kalian atau tidak mencintai kalian?" tanya Rasulullah kepada para pasukan yang dengan khusuk mendengarnya.

“Tentu saja sangat mencintai, ya Rasulullah,” jawab mereka.
Rasulullah SAW lalu mengakhiri pertanyaannya dengan mengatakan, "Kalian memilih mendapatkan onta atau memilih cintaku kepada kalian?"

Kali ini mereka tidak mampu berkata-kata lagi dan hanya menangis haru kerana cinta Rasulullah SAW kepada mereka yang begitu besar dan tak bisa dibandingkan dengan dengan harta benda apa pun. Inilah sesungguhnya makna Hari Kasih Sayang dalam sejarah Islam.  Bukan kemurkaan atau tindakan maksiat atau kejahatan sebagaimana kerap kita saksikan selama ini.

Paling tidak ada dua nilai yang bisa diambil hikmahnya dan patut diteladani dari kisah Yaumul Marhamah. Pertama, Islam itu melindungi kaum yang lemah, sekalipun mereka pernah memusuhi Islam.  Hal ini terbukti ketika  Rasulullah dan pasukannya saat berhasil menaklukkan Mekah. Dalam posisi sebagai pengendali situasi, akhlak yang ditunjukkan Kanjeng Nabi bukan untuk melawan nilai-nilai kemanusiaan, melainkan semata-mata untuk menata kembali ideologi yang bertentangan dengan harkat dan martabat mereka. Maka kaum musyrikin Mekah tetap dijamin keamanannya meskipun belum bersedia mengikuti jejaknya.

Kedua, Islam mengajarkan ketulusan cinta terhadap sesama manusia. Ketika seorang kafir bernama Fadhalah bin Umair hendak membunuh Rasulullah saat beliau sibuk membersihkan ka'bah dari berhala, beliau justru mendekatinya sambil bertanya, "Apakah yang sedang kaupikirkan Fadhalah?" 

Fadhalah kaget dan menjawab, "Saya tidak memikirkan apa-apa. Saya sedang teringat Allah, ya Rasulullah."
Kanjeng Rasul tersenyum mendengar ucapan Fadhalah yang mencoba menutupi niat jahatnya, seraya menepuk-nepuk punggungnya. Lalu beliau meletakkan telapak tangannya pada dada Fadhalah sambil berkata, "Mohon ampunlah kepada Allah, ya Fadhalah!"

Tergetar tubuh Fadhalah merasakan kelembutan sikap seorang pemimpin yang baru saja berhasil menguasai Mekah dengan mudah. Inilah gambaran tentang Yaumul Marhamah atau Hari Kasih Sayang dalam sejarah Islam yang  secara  substantif   dapat  kita  jumpai  titik  temunya dengan sejarah Valentine Day yang dalam praktiknya banyak disalahpahami.


Sidoarjo, 14 Februari 2017


    

No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts