“Ah,
jangan guyon,” kata salah seorang shohib yang juga takmir masjid.
![]() |
Foto ilustrasi |
Tidak!
Saya tidak sedang bergurau. Pernyataan itu saya sampaikan kepada ketua dan
beberapa pengurus (takmir), serta beberapa jamaah masjid At-Taqwa di komplek
perumahan GKGA Gresik, justru dalam konteks serius. Sungguh, saya mau saja
menjadi makmum salat berjamaah meski imamnya iblis sekali pun. Masalahnya, mana
ada dan mana mau iblis mengimami salat di masjid? Lalu, apa yang mendasari
pernyataan saya tersebut?
Dalam
tiga bulan terakhir ini, sebagian pikiran dan energi saya memang tersedot pada
penyelesaian konflik antara ketua takmir masjid dan beberapa orang (jamaah)
yang biasa mengikuti kajian (pengajian) dan salat berjamaah di masjid yang
biasa menjadi sarana ibadah kami. Beberapa jamaah masjid yang didesain dua
lantai ini bersikukuh tidak mau menjadi makmum atau tidak mau bermakmum jika
yang mengimami salat fardlu di masjid
adalah ketua takmir. Jika yang menjadi imam salat bukan sang ketua takmir,
mereka tidak mempermasalahkan dan oke-oke
saja menjadi makmum.
Beberapa
modus mereka ciptakan demi memuluskan sikap dan ketegasan pendirian untuk tidak
mau bermakmum kepada sang ketua takmir. Di antaranya, memilih berdiri di luar
pintu masjid sebelum iqomah (seruan
tanda dimulainya salat berjamaah) dikumandangkan. Ini dilakukan sambil melihat
dari luar (teras/serambi masjid) dan memastikan siapa yang menjadi imam salat.
Begitu
mendapat kepastian bahwa yang mengimami salat adalah sang ketua takmir, maka mereka
pun ambil langkah seribu, balik kanan pulang, sehingga memilih tidak ikut salat
berjamaah. Padahal, keutamaan salat fardlu
berjamaah itu jauh melebihi salat sendiri (munfarid).
Sebaliknya, jika mereka melihat yang maju menjadi imam bukan sang ketua takmir,
mereka memasuki masjid dan menempati shaf
(barisan salat) yang masih luang.
Cara
lain, jika mengetahui yang menjadi imam adalah sang ketua takmir, mereka
sengaja memperlambat masuk masjid dengan cara menungu di teras atau serambi dan
sengaja memosisikan diri sebagai makmum yang tertinggal berjamaah (makmum masbuk). Mereka baru bergabung ke shaf salat berjamaah pada raka’at
terakhir, sebelum salam berlangsung.Dengan demikian, untuk menunaikan salat fardlu berjamaah di masjid, mereka
merasa “terbebas” dari kepemimpinan sang ketua takmir.
Modus
lainnya –dan ini terkesan lebih ekstrem—mereka sudah berdiri di shaf salat ketika sang ketua takmir siap
memulai salat berjamaah. Namun, begitu iman memulai takbirotul ihrom, mereka secara perlahan menarik diri dan keluar
dari barisan salat, lalu pulang meninggalkan masjid. Ketidaksenangan atau (mungkin)
kebencian kepada seseorang harus berujung pada ditinggalkannya salat berjamaah
yang derajat substansi dan kesahihannya tidak diragukan lagi jauh melebihi
salat sendiri (munfarid). Subhanalloh!
Alasan Syar’i atau
Dendam Pribadi?
Apa
yang mendasari beberapa jamaah itu sampai begitu alergi terhadap kepemimpinan
sang ketua takmir? Setelah melalui serangkaian dialog dengan para pihak yang
bertikai dan rapat ketakmiran, saya mengantongi informasi dan mengindentifikasi
beberapa masalah. Di antaranya, ada perbedaan pemahaman terhadap suatu masalah
yang dibahas dalam kajian rutin yang dilakukan salah seorang ustad yang mereka jadikan
“idola”.
Sang
ketua takmir memang sempat menghentikan kajian rutin bulanan itu. Penghentian
dilakukan karena materi dan metode penyampaiannya dinilai tak sejalan dengan
kebijakan dan model dakwah yang diberlakukan di masjid. Atas penghentian itu
beberapa jamaah yang telah merasa klop
atau cocok dengan sang ustad, tidak terima dan memprotes sikap sang ketua
takmir hingga berlanjut pada perselisihan yang berkepanjangan.
Rapat
ketakmiran pun digelar untuk membahas suasana tak kondusif ini. Rapat takmir
pun memutuskan, kajian sang ustad itu tidak perlu dilanjutkan alias diputus dan
mengganti dengan ustad lain. Dengan demikian, keputusan menghentikan kajian
yang diasuh oleh sang ustad kontroversial tersebut bukan sikap pribadi ketua
takmir, tetapi keputusan institusi.
Atas
sikap kolegial tersebut, mestinya konflik antara ketua takmir dan beberapa
jamaah masjid berakhir dan mereka mau bermakmum kepada sang ketua takmir ketika
salat berjamaah. Tetapi, hal itu tak mengubah sikap mereka. Mereka tetap tidak
mau ikut salat berjamaah ketika yang menjadi imam adalah sang ketua takmir.
Suasana di masjid kian tidak kondusif.
Saya
dan beberapa pengurus inti di ketakmiran lalu mengambil inisiatif untuk meng-ishlah-kan (merukunkan kembali) mereka atau lebih popular dengan istilah
rekonsiliasi. Kami sepakat mengundang Ustad Misbach untuk menjadi penengah
dengan pertimbangan, beliau merupakan ustad senior yang disegani dan dihormati
di kalangan kami.
Agenda
meng-ishlah-kan kedua belah pihak
yang bertikai pun kami rancang hingga kami tentukan hari H-nya. Kami juga
undang Ustad Misbach untuk memberikan pencerahan seputar masalah yang tengah
berkecamuk dengan target mampu mengembalikan suasana kembali kondusif. Sayang,
upaya ini tak membuahkan hasil, karena mereka yang berseberangan dengan sang
ketua takmir tak seorang pun yang datang. Padahal, ketika kami undang, mereka
menyetakan siap hadir.
“Ishlah itu mempertemukan dua pihak yang
bermasalah untuk mencari solusi atas apa menjadi sebab sehingga mereka gesekan.
Lha kalau yang datang cuma satu pihak, lalu siapa yag harus di-ishlah-kan? Jadi, ini tdak memenuhi
syarat ishlah,” ujar Ustad Misbach.
Waktu
terus bergulir hingga tiba saatnya pergantian takmir masjid berlangsung karena periode
pengabdian pengurus sudah berakhir. Pengurus baru pun terbentuk, termasuk ketua
takmirnya. Rapat dalam ketakmiran yang baru, kami juga menyusun siapa saja yang
layak menjadi imam salat, tentu dengan pertimbangan syar’i. Dari lima orang yang
kami beri amanat untuk menjadi imam salat, sang mantan ketua takmir yang lagi
bermasalah dengan beberapa jamaah, kami masukkan. Dalam rapat pleno yang
dihadiri puluhan jamaah, termasuk yang tengah bermasalah dengan mantan ketua
takmir, kami sampaikan daftar lima orang yang kami beri amanat menjadi imam
salat dengan urutan yang juga kami sampaikan. Setelah kami floor-kan, semua peserta rapat tak ada yang menawar dan menerimanya.
Meski
pengurus (takmir) baru sudah terbentuk dan ketuanya berganti, ternyata
perseteruan antara sang mantan ketua takmir dengan beberapa jamaah mash saja
berlangsung. Mereka tetap tidak mau bermakmum kepada sang mantan ketua takmir.
Padahal, secara syar’i dari berbagai aspek dia memenuhi syarat untuk menjadi
imam salat.
Kalau
penolakan mereka terkait dengan pola kepemimpinan ketua takmir (ketika awal
konflik berlangsung) yang mereka nilai arogan dan tak mengindahkan aspirasi
jamaah, mestinya sikap itu gugur begitu kepengurusan masjid berganti. Apalagi,
keputusan menghentikan kajian ustad yang mereka idolai, bukan keputusan pribadi
ketua takmir, tapi diputskan dalam rapat takmir.
Akhirnya,
saya sampai pada kesimpulan, bahwa penolakan dan kebencian beberapa jamaah
kepada sang mantan takmir, bukan karena pertimbangan syar’i atau berlandaskan
ajaran agama, tetapi lebih tersulut oleh dendam personal yang berimbas pada
suasana kurang kondusif di antara sesama jamaah masjid. Bagi saya, ketika sudah
menghadirkan diri dan hati di masjid untuk menunaikan ibadah salat berjamah, tak
perlu memandang siapa yang menjadi imam.
Toh, tidak semua
orang memiliki persyaratan dan keberanian, serta keikhlasan untuk menjadi imam
salat. Itulah sebabnya saya sampaikan, jangankan
kepada pak kiyai, pak ustad, atau pak ketua takmir masjid, iblis sekali pun,
kalau dia mau jadi imam salat, saya mau jadi makmumnya. Karena itu, saatnya
menanggalkan dan meninggalkan dendam pribadi dan mengutamakan persatuan dan
kekompakan dalam keberagaman, karena sejatinya kita memang terlahir dalam
kondisi dan situasi yang berbeda-beda.
Untuk
mengembalikan suasana yang sejuk, kompak, dan kondusif, pendekatan personal perlu
terus dilakukan dengan target,
masing-masing pihak yang berseteru mau legawa,
saling menghormati, mempertimbangkan etika dalam berinteraksi, dan menjadikan
masjid tidak saja sebagai sarana ibadah dan menimba ilmu, tetapi sekaligus
rumah besar bersama untuk mempererat silaturrahim
antarjamaah.
Gresik, 15
September 2016
No comments:
Post a Comment