Malam itu, udara di kawasan pantai kota Banyuwangi
terasa cukup dingin. Ditingakahi sapuan angin yang cukup kencang, membuat
sekujur tubuh seakan mengkerut karenanya. Meski kaki agak berat melangkah, toh saya harus meninggalkan kamar hotel
Ketapang Indah yang hanya satu setengah jam saya singgahi, sekadar untuk
istirahat. Saya harus bergabung dengan tiga puluhan kawan seperusahaan yang
tengah mengikuti tour ke puncak Ijen, 29 November 2015.
Sesuai kesepakatan, pukul 24.00 WIB kami harus
bersiap melakukan perjalanan ke puncak Ijen. Mengapa mesti dini hari? Ya,
harapan kami, bisa menyaksikan eksotiknya pendaran blue fire yang muncul dari kawah Ijen. Ya, api biru alias blue fire adalah target yang kami buru,
hehe. Konon, blue fire hanya bisa
dinikmati mata telanjang hingga pukul 03.30. Selebihnya menghilang seiring
dengan kian terangnya cuaca menjelang fajar hingga terbit matahari.
Tidak semua peserta tour mengikuti program pendakian ke puncak Ijen yang berlokasi di
dua wilayah kabupaten, yakni Kec. Licin, Kab. Banyuwangi dan Kec. Klobang, Kab.
Bondowoso, Jawa Timur ini. Dari 46 orang
peserta tour, hanya 30-an yang ikut program ini. Selebihnya
memilih tetap tinggal di hotel, tentu dengan berbagai pertimbangan.
Setelah memberesi semua perlengkapan dan
memastikan tidak ada peserta yang kancrit,
pukul 24.27 satu per satu dari delapan mobil Trooper yang siap mengantar kami
ke kawasan puncak Ijen, meninggalkan hotel
di pinggir pantai ini. Selain peserta dari kawan-kawan seperusahaan,
yakni PT Puspa Agro, kami ditemani tiga orang pemandu wisata.
Meski tanpa
AC dan tubuh telah terbungkus jaket dan topi penutup kepala, rasa dingin terasa
benar selama perjalanan. Ketika
melintasi kawasan perkotaan, laju mobil bisa lumayan kecang dengan kecepatan
60-70 Km/jam. Tetapi, begitu meninggalkan perkotaan dan sampai di kawasan
pegunungan, laju kendaraan hanya berada pada kisaran 30-50 Km/jam. Maklum,
jalanan yang penuh tanjakan dan tikungan tajam membuat mobil lebih dipaksa
mengeluarkan tenaga ekstra ketimbang kecepatan.
Tepat pukul 01.50 konvoi delapan mobil yang
kesemuanya jenis Trooper itu berhenti. Puluhan mobil dan motor tampak parkir di
tanah lapang ini. Ya, inilah lokasi yang dikenal dengan nama pos Paltuding.
Dari sinilah para “pemburu” keelokan kawah Ijen mengawali pendakian dengan
berjalan kaki, termasuk kami. Tidak terlalu jauh untuk mencapai puncak dan
kawah Ijen dari pos Paltuding, cuma 3 Km.
Setelah membeli sejumlah makanan kecil dan minuman di warung Paltuding --sebagai bekal dalam perjalanan--, kami pun memulai pendakian. Kami terbagi dalam tiga kelompok yang masing-masing ditemani seorang pemandu wisata. Meski jarak pos Paltuding ke puncak/kawah Ijen hanya 3 Km, waktu tempuhnya lumayan panjang, dua jam lebih.
Seperti para pendaki lainnya, di kilometer
pertama, saya merasakan langkah kaki dan nafas masih biasa-biasa saja, meski
sesekali harus berhenti untuk “mencuri
nafas” di tengah aroma belerang yang mulai menusuk hidung. Keringat pun mulai
membasahi sekujur tubuh, menghalau dingin yang sebelumnya menbelit tubuh.
Memasuki kilometer kedua, di jalanan yang cenderung menanjak dengan kemiringan rata-rata 25-30 derajat –bahkan di beberapa ruas jalan ada yang lebih terjal—saya baru merasakan langkah kaki mulai berat dan nafas juga ngos-ngosan. Di etape ini, saya kerap menghentikan langkah untuk mengambil nafas dan menghimpun energi sebelum melanjutkan perjalanan. Posisi istirahat ini kadang berdiri dan bersandar di tebing. Kadang duduk di pohon kering yang tergeletak di pinggir jalan yang banyak terdapat jurang curam itu.
Sementara aliran keringat makin deras dan bikin kaos dalam basah kuyup.
Tenggorokan juga terasa kering dan lengket, sehingga berkali-kali harus meneguk
air dalam kemasan yang tersimpan di saku jaket. Bintang-gemintang seakan
mengikuti dan menyaksikan bagaimana langkah-langkah saya yang mulai gontai.
Sesekali pendar rembulan mengintip dari balik bukit dan memperjelas
bagaimana keringat saya yang makin gemobyos.
Beberapa teman memutuskan balik kanan. Mereka tak
meneruskan perjalanan hingga puncak Ijen, tetapi kembali turun ke pos Paltuding,
karena merasa kelelahan. Tetapi, saya memilih terus melangkah hingga puncak
dengan sisa-sisa tenaga dan nafas yang makin berat dan terasa sesak di dada.
Saya terus memotivasi diri saya sendiri, bahwa saya pasti mampu meneruskan
“ekspedisi” ini hingga puncak dan menyaksikan blue fire serta keelokan kawah Ijen dengan para penambang
belerangnya.
Dan benar, dengan sisa-sisa tenaga dan langkah
yang tak lagi beraturan saya pun sampai di puncak Ijen pukul 03.20. Spontan
mata saya menyapu sekeliling lokasi: mulai tebing, jurang yang curam, asap
belerang, kabut, juga bintang-gemintang yang sejak di lembah seakan mengikuti
perjalanan saya dan pendaki lainnya.
Sayang, saya dan rombongan tidak bisa menyaksikan blue fire yang biasanya berpendar dari kawah Ijen, karena tebalnya kabut yang menutup kawah bersama asap belerang. Kencangnya angin di kawasan puncak dengan ketinggian 2.387 dpl ini dalam sekejap mengikis kucuran keringat yang sebelumnya membahasi tubuh dan berbalik jadi sangat dingin, karena suhu saat itu di bawah 10 derajat celcius. Sengatan khas bau belerang yang keluar dari kawah, memberikan kesan mendalam yang tak terlupakan. Terbayar sudah rasa lelah di sekujur tubuh dan nafas yang ngos-ngosan setelah mencapai puncak Ijen. Waowww …Subhanalloh!
Dua
Pelajaran Berharga
Setelah beberapa saat menikmati keindahan kawah
Ijen dan tebaran bukit yang menjorok ke langit, serta tebing-tebing terjal di
sekitar puncak, saya gelar sajadah untuk menunaikan salat Subuh. Cukup sulit
mencari area datar untuk sekadar menggelar sajadah, hingga akhirnya sampai juga
di titik yang saya cari. Meski tidak
rata benar –karena agak miring—saya pun menggelar sajadah untuk salat Subuh.
Tidak ada air untuk berwudlu, sehingga harus tayamum.
Selama perjalanan pendakian, saya mendapat dua
pelajaran berharga sekaligus. Pelajaran
pertama, ketika nafas ngos-ngosan
dan kaki terasa berat melangkah, saya merasa bahwa saya sudah tidak muda lagi
alias masuk kategori tua. Vonis ini tentu bukan tanpa alasan. Selain usia yang
memasuki tahun ke 50, secara fisik kondisi saya sudah jauh menurun, baik dari
aspek kekuatan maupun kecepatan.
Saya jadi ingat ketika usia masih di bawah 30
tahun, apalagi ketika masih SMA hingga kuliah yang getol sepak bola dan olah raga lainnya. Saya membayangkan, di usia
tersebut tentu pendakian ke puncak Ijen yang hanya tiga kilometer itu, tentu
hal yang bisa saya lakukan dengan enteng. Tetapi, waktu memang tak bisa diputar
mundur dan itulah yang saya alami dan rasakan ketika naik ke puncak Ijen.
Saya merasa sudah tua. Saya merasa tulang-tulang
saya tak kokoh lagi untuk bisa menahan beban tubuh yang berat. Saya merasa
kehilangan kecepatan dalam menapaki langkah demi langkah. Saya merasa nafas
saya sudah jauh berkurang sehingga ngos-ngosan
selama perjalanan. Ini kondisi yang jauh berbeda dengan ketika masih muda,
ketika masih belasan tahun.
Dalam kondisi inilah saya merasa kecil. Saya merasa ringkih
dan tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan keperkasaan pencipta saya, Allah
SWT. Saya merasa berada di titik nadir kehidupan dan makin dekat dengan
kematian. Karena itu, di sepanjang perjalanan yang gontai, dalam hati saya
memohon pada Allah, Tuhan yang rahman, agar diberi kesempatan hidup dan
berbenah diri, serta bisa secara maksimal melakukan kebajikan untuk sesama.
Pelajaran
kedua, ketika di sepanjang perjalanan saya bisa
menyaksikan bintang-gemintang yang terus menyalurkan sinar indahnya (karena
kondisi pegunungan yang gelap), saya merasa rendah di hadapan-Nya. Ketika saya
berada di jalur lereng gunung atau lembah dan belum seberapa tinggi, saya
mengira akan menyaksikan bintang dalam jarak yang lebih dekat begitu sampai
pada ketinggian bukit. Eh, ternyata dugaan saya salah! Saya merasa, jarak saya
dengan bintang-gemintang yang seakan mengikuti perjalanan saya, tetap sama,
baik ketika berada di lereng atau lembah maupun di ketinggian bukit, bahkan di
puncak gunung sekalipun.
Bintang-gemintang itu tetap saja jauh lebih tinggi
dibanding posisi keberadaan saya. Saya lalu berpikir, bintang-gemintang saja
begitu tingginya dan terus kelihatan lebih tinggi meski saya sudah berada di
tempat yang tinggi. Apalagi kekuasaan penciptanya? Duh Gusti, di hadapan-Mu
saya merasa rendah dan hina, karena dengan sesama makhluk-Mu saja, saya masih
begitu rendah. Subhana robbiyal a’la, Yaa
Robbal ‘aalamiin.
Banyuwangi-Sidoarjo,
30 November 2015
No comments:
Post a Comment