Monday, May 19, 2014

Oase Tari Remo



Rancak Tari Remo

Pagi ini mata saya seakan menatap dan merasakan gumpalan oase di tengah cuaca yang terik. Meski baru pukul 10.00 WIB, mata sudah ngiyer-ngiyer dan kening sedikit mengernyit saat mereaksi sengatan matahari. Namun mata saya terasa sejuk ketika menyaksikan suguhan pembuka pada lomba menggambar dan mewarnai yang dihelat di Wahana Ekspresi Poesponegoro (WEP) di Jl Jaksa Agung Soeprapto, Gresik.


Suguhan itu berupa tari Remo, tari khas Jawa Timur, yang sudah puluhan tahun praktis lepas dari pandangan mata saya. Dulu, semasa kecil saya akrab dengan tontonan tari remo. Tari ini melekat pada kesenian ludruk dan wayang kulit jek dong (Jawa Timuran) yang biasanya tampil di sesi pembuka sebelum ludruk atau wayang kulit dimainkan. Ludruk dan wayang kulit merupakan "menu spesial" yang biasa saya tonton semasa kecil. Maklum, di masa kecil tahun '70-an hanya kesenian itu yang biasa tampil di desa, karena keberadaan televisi masih tergolong langka. Kesenian tersebut biasanya tampil dalam hajatan pernikahan, sunat, atau sedekah bumi yang di desa saya disebut ruwat desa.

Kesenian lain yang juga sering saya saksikan adalah jaran kepang, yang dalam aksinya biasanya juga menampilkan adegan ngremus beling (mengunyah pecahan kaca) dan kemudian menelannya. Dalam atraksi seni jaran kepang (kuda kepang) ini, suasana jadi seru kalau pemainnya sudah memasuki fase  kesurupan, karena adegan-adegannya seperti di luar kendali normal. Dalam istilah kami waktu itu, jaran kepange wis ndadi. Namun, di antara kesenian daerah yang paling akrab di masyarakat waktu saya masih kecil ya itu tadi: ludruk dan wayang kulit.

Dan, pagi ini memori saya kembali tersedot ke pusaran masa kecil begitu menyaksikan tiga remaja dengan apik lagi indah menyajikan tari remo. Dengan durasi tujuh menit-an, tiga penari yang dibalut kostum merah, hitam, dan kuning emas, lengkap dengan udeng di kepala dan krincingan di pergelangan kaki kananya ini, dengan ekspresi penuh, melanggak lenggokkan sejumlah model tari remo yang menurut saya telah dimodifikasi. Saya memang melihat suguhan tari remo ini jauh berbeda dengan yang saya saksikan semasa kecil. Selain gerakannya sangat variatif dan dikolaborasikan dengan tarian modern, gending jula-juli yang mengiringi tari remo itu juga terasa lain, tidak pakem dan cenderung kontemporer.

Ya, pag ini saya merasakan ada oase di tengah teriknya matahari dengan menyaksikan tari remo kreasi baru ini. Saya juga merasa bersyukur, di tengah nyaris punahnya sejumlah kesenian lokal (daerah) yang tergerus oleh keseaian dan peradaban global, masih ada anak bangsa yang nguri-nguri kabudayan untuk mempertahankan identitas dan karakter bangsa. Moga-moga upaya mempertahankan dan mengembangkan kesenian dan budaya lokal ini berterima di hati dan pikiran para generasi muda untuk kemudian terpatri dalam sikap dan laku lampah untuk mengangkat harkat dan peradaban bangsa kita tercinta, Indonesia.



Gresik, 18 Mei 2014

No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts