Tuesday, April 1, 2014

Politik Etalase



(Sebuah Catatan Ringan)

Dua bulan terakhir ini, saya kerap kedatangan tamu terkait pelaksanaan hajatan politik lima tahunan, yakni pemilu. Tahun ini adalah tahun berakhirnya masa bakti para anggota legislatif hasil pemilu 2009, sehingga harus digelar pemilu lagi. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan dan mengagendakan hari H coblosan pemilu kali ini adalah pada hari Rabu Pon, 9 April 2014.




Para tamu yang menemui saya cukup beragam, lintas partai, baik yg sudah lama kenal dan merasa terbantu pada pelaksanaan pemilu 2009, maupun wajah baru yang baru maju dalam pen-caleg-an pada pemilu 2014 ini. Lokasi pertemuannya pun beragam pula. Ada yang di rumah, warkop, pas papasan di jalan, di forum-forum silaturrahim dan diskusi, juga ada yang saat jagongan di teras masjid. Bahkan, ada juga yang secara intens mendiskusikan strategi pemenangan mereka lewat media sosial facebook, baik di grup maupun personal.

Di antara yang menemui saya, memang tidak selalu langsung para calon legislator (caleg) --baik di tingkat kabupaten, provinsi, maupun pusat-- tapi tak sedikit para tim sukses yang diutus mewakili. Seperti saat pemilu sebelumnya, saya bersikap membuka diri terhadap siapa pun yang datang menemui dan saya perlakukan mereka sebagai "pasien" yang harus dilayani secara maksimal.

Secara tersurat memang macam-macam cara mereka dalam menyampaikan maksud menemui saya. Namun, intinya sama: agar dalam hari H coblosan, 9 April mendatang, saya mendukung mereka dengan memberikan suara saya, keluarga, dan warga di lingkungan saya kepada mereka. Karena itu, pertemuan itu tidak cukup hanya dengan saya. Sebagian minta difasilitasi untuk bisa bertemu dengan warga di lingkungan saya. Maklum, sebagai pengurus RT, untuk urusan beginian, saya kerap dimintai tolong menjembatani kepentingan para politikus itu dengan warga.


Sikap Politik
Lalu bagaimana saya mesti mengambil sikap politik dalam menghadapi mereka yang berasal dari lintas partai itu?

Seperti pada pemilu sebelumnya, saya, baik dalam kapasitas pribadi maupun pengurus RT,  selalu membuka diri bagi para calon legislator yang ingin "menjual diri", menarik simpati dan minta dukungan warga. Saya persilakan mereka datang. Tentu kehadiran mereka harus dijadwal agar tidak bentrok waktunya. Pola ini juga saya tularkan ke ketua RW.

Entah, ada dasar teoritisnya atau tidak, saya menamakan pilihan sikap ini sebagai politik etalase. Ya, politik etalase! Seperti etalase, saya dan warga kampung memilih siap menjadi ajang pajangan dan promosi, tidak saja untuk seorang caleg tertentu, tetapi terbuka bagi siapa pun yang ingin menarik simpati dan mengais suara di lingkungan kami, RT 07 RW 06, Perumahan GKGA (Griya Karya Giri Asri) Gresik. Secara tegas kami menyatakan tidak menjadi partisan dari partai atau caleg tertentu. Sikap kami, siapa pun boleh masuk untuk "menjajakan diri". Namun satu hal yang kami pegang teguh, kami tidak akan melakukan kontrak politik apa pun dengan caleg. Kalaupun ada caleg yang memberikan kontribusi atau sumbangan untuk mendukung program pembangunan di kampung, kami "mengunci", bahwa hal itu bukan menjadi bagian dari praktik money politics.

Karena itu, kami tidak menjanjikan apa-apa kepada caleg yang telah berkontribusi tersebut. Namun, secara etik, naluri politik seorang politikus tentu bisa menangkap peluang positif ketika dirinya telah memberikan sesuatu kepada calon pemilih. Secara internal, kami juga melepas kebebasan untuk memilih siapa pun sesuai hati nurani mereka. Secara konsep, ini berbeda dengan politik warung kopi alias politik transaksional, yang sejak awal memang beraroma transaksi.

Politik etalase juga kami terapkan pada momentum pemilu 2009. Waktu itu setidaknya ada sembilan caleg (dari delapan partai) berkesempatan masuk ke kampung kami. Dengan kemasan silaturrahim, kami persilakan mereka menyampaikan apa saja yang mereka harapkan dari warga. Begitu juga terkait "program" yang mereka janjikan jika kelak terpilih sebagai legislator.

Sebaliknya, kami juga menyampaikan apa yang diinginkan warga, termasuk program pembangunan di kampung kami. Hasilnya? Alhamdulillah, proyek Peningkatan Sarana/Prasarana Jalan berupa pemavingan jalan sepanjang 130 m pun terealisasi dalam waktu relatif cepat. Sebagian besar biaya pembangunannya bersumber dari sedekah beberapa caleg dan hanya sebagian kecil kami gali dari warga sebagai pancingan atau modal awal.

Bulan lalu, lewat fasilitasi caleg yang kebetulan saat ini juga duduk di dewan (hasil pemilu 2009), proyek renovasi balai RW senilai Rp 100 juta terealisasi. Demikian juga pembangunan jembatan penghubung wilayah RT 07 dan beberapa RT dan RW lain juga rampung digarap. Beberapa proyek lain, seperti pengeboran air bersih senilai Rp 400 juta untuk dua  RT yang kritis air, dipastikan segera terealisasi
lewat skema PAK.

Politik etalase juga lazim diterapkan di lembaga-lembaga atau organisasi kemasyarakatan, yayasan, juga pondok pesantren yang netral dan tidak berafiliasi dengan partai politik. Karena itu tak heran, banyak politisi, baik pengurus partai maupun caleg-nya minta doa restu dan dukungan ke pimpinan Ormas.

Hal serupa juga diterapkan oleh pengelola media massa yang memberikan ruang bagi caleg-caleg dari partai mana pun untuk menyosialisasikan program atau aktivitas politik mereka menjelang pemilu. Tentu saja ruang media, baik cetak, elektronik, maupun on line, yang disiapkan untuk mengakomodasi kepentingan caleg, tidaklah gratis. Sebab, "layanan" itu masuk dalam produk iklan, baik pariwara, display, atau berita terselubung yang berbayar. Kelonggaran yang diberikan pengelola media massa kepada para caleg itu adalah varian dari praktik politik etalase.

Dalam konteks memberikan kesempatan kepada caleg untuk menyosialisasikan diri dan agenda politik para caleg, politik etalase memang pas untuk diterapkan. Model ini terasa lebih elegan, tidak partisan, dan terhindar dari kesan transaksional yang bisa menjebak dan menjerat pelakunya pada praktik money politics yang masuk ranah pelanggaran beraroma tindak pidana. (*)



Gresik, 31 Maret 2014

No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts