Oleh SON ANDRIES *)
SETIAP melihat wajah koruptor,
di koran, di televisi, di internet, di mana saja, saya seperti melihat wajah
anjing, sungguh. Saya tidak bermaksud sinis apalagi sarkastis. Di benak saya
mulut para koruptor itu sedikit lebih maju dari seharusnya. Matanya liar dan
jelalatan melihat sekeliling, tapi bisa juga sendu dan sering melihat ke bawah.
Jalannya cepat terburu-buru, nafasnya memburu, menghidari kontak mata apalagi
sorotan kamera. Pendek kata gestur para koruptor adalah gambaran rasa takut
seekor anjing yang berbuat salah.
“Wajah anjing” ini mulai tampak
ketika mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka, tidak sebelumnya. Ketika
menjadi saksi, mereka masih sangat percaya diri, atau mungkin mata saya yang
kurang jeli. Boleh jadi sikap pongah itu adalah kompensasi dari rasa takut di
dalam hati. Ini mirip dengan ‘kompleks rendah diri’ dalam istilah psikologi.
Seseorang yang rendah diri akan bersikap sombong sebagai kompensasi. Contoh;
orang yang tidak becus berbahasa Inggris, akan banyak mengutip istilah asing.
Yang koceknya pas-pasan, bersikap roayal agar dianggap kaya. Yang gaptek
membeli telepon pintar paling canggih.
Saya tidak bermaksud
merendahkan ras anjing dengan menyamakannya dengan ras koruptor, bagaimanapun
anjing adalah mahluk mulia pendaping setia manusia. Jika tidak, tidak akan ada
cerita tentang Hachico dan Rin Tin Tin, bukan? Dari zaman dahulu kesetiaan seekor
anjing menjadi epik yang terus diceritakan turun temurun. Konon, anjing
diciptakan saat Tuhan sedang tersenyum. Memang ada anjing yang jahat, seperti
juga ada manusia yang jahat. Tapi itu cuma anomali yang tidak seharusnya
terjadi.
Korupsi adalah anomali sikap
manusia, sesuatu yang tidak normal, yang menyimpang dari seharusnya. Sikap
serakah yang pada manusia normal terpendam di bawah permukaan, di diri para
koruptor muncul di permukaan, bahkan mendominasi sikap hidup mereka. Ingin
berlebih dalam segala kepemilikan materi. Mobil puluhan, rumah belasan, uang
miliaran, dan banyak cabe-cabean.
Apakah empat mobil tidak cukup
buat sekeluarga? Sehingga perlu puluhan mobil super mewah? Apakah dua buah
rumah masih kurang? Apakah uang miliaran tidak cukup untuk biaya hidup? Atau,
jangan-jangan para koruptor ini justru orang yang sangat perduli pada keluarga,
dan ingin memastikan hidup mereka tidak kekurangan suatu apa? Tapi bagaimana
dengan nasib negara yang uangnya dikorupsi? Bagaimana nasib pembayar pajak yang
karenannya tidak mendapat layanan sosial yang layak?
Suatu
kali seorang kawan bijaksana menasihati saya, katanya, “hidup itu murah, yang
mahal itu gaya hidup.” Nah itu dia. Selera para koruptor ini luar biasa
dahsyat; Lamborgini, Ferarri, Bugati, Hermes, Louis Vuitton, Gucci,Prada, artis
selebriti, Singapura, Hongkong, Paris, Milan, London. Beberapa memang tampak
hidup lebih sederhana, atau ingin terlihat sederhana. Tapi saya yakin yang
terkhir ini pun memendam gelora kenikmatan yang sama. Kalau tidak, buat apa
punya banyak harta. Bukankah uang baru bermakna ketika dibuat belanja?
Kembali ke wajah anjing para
koruptor. Saya jadi teringat pada anjing peliharaan masa kecil saya. Jenisnya pekingese (saya
tidak yakin rasnya murni) tubuhnya pendek, bulunya panjang, warnahnya
hitam-putih. Anjing jenis ini memiliki rahang bawah yang lebih panjang dari
rahang atasnya. Karena itu saya menamainya Cakil, raksasa dalam jagad
pewayangan yang kejam dan serakah, musuh abadi kebaikan (Pandawa).
Buto/Buta Cakil ini gerakannya
lincah, saya suka tari Bambangan Cakil karena alasan ini. Hanya penari senior
yang bisa menarikan tarian cakil. Loncat kesana-kemari, mengelak, memukul,
membanting, dan terbanting dengan anggun, itulah Cakil. Tapi setangkas apa pun
Cakil ditakdirkan untuk kalah, seperti Dasamuka yang selalu kalah dari Rama.
Selayaknya Cakil, akankah
koruptor kalah pada akhirnya? Tergantung dalangnya, apakah ia memainkan peran
sesuai pakem atau seturut permintaan si maha dalang. Wani piro?
*) SON
ANDRIES, mantan wartawan Surabaya Post, kini aktif di Pos Entertainment,
Jakarta.
No comments:
Post a Comment