Ngaji Laku di Jalur Tanjakan
Ketika
dua kali melewati jalur tanjakan dan turunan di dua jembatan tol tiap kali nggowes, saya sempat tergelitik untuk
ngaji laku dan mencari hikmah di baliknya. Naluri kemanusiaan saya pun
merasakan betapa berat saat mengayuh sepeda di jalur yang kebetulan menanjak.
Sebaliknya, saya merasa enteng dan lega ketika melampaui tanjakan, lalu
mendatar dan (apalagi) memasuki ruas jalan yang menurun.
Saya
sempatkan berhenti sejenak. Merenung. Lalu mencari hikmah di balik dua model
perjalanan yang bertolak belakang itu: tanjakan dan turunan. Dan, akhirnya saya
pun menemukan jawaban dan menyimpulkan, bahwa hidup yang ideal dan normal atau lumrah itu adalah di jalur datar, bukan
saat berada di tanjakan atau turunan.
Karena
itu, tak sepatutnya kita mengeluh berat ketika melalui jalur tanjakan. Sebab,
di setiap tanjakan pasti ada turunan dan pada akhirnya akan mendatar lagi.
Sebaliknya, kita tidak perlu merasa terlalu menganggap enteng ketika melaju di
jalan yang menurun, karena pasti ada ujungnya dan bertemu kembali dengan jalur
mendatar dan bisa jadi akan bertemu lagi dengan tanjakan.
Boleh
jadi di jalur mendatar itu terdapat ruas jalan yang rusak, berlobang, genangan
air, atau apa pun yang membuat perjalanan bisa terganggu, itu persoalan lain.
Namun yang pasti, jalur mendatar itulah jalur yang semestinya dan jarak
tempunya pasti lebih panjang dan lebih lama ketimbang tanjakan atau turunan.
Dengan
kata lain, jalur kehidupan yang sesungguhnya sejatinya bukan saat kita berada
di tanjakan (mendaki) atau turunan. Kita merasa berat dan harus mengeluarkan
energi atau tenaga lebih besar saat menanjak karena karena ada faktor x, yakni
kondisi jalan yang tidak lumrah,
yakni tanjakan. Demikian juga sebaliknya, kita merasa enteng dan tidak perlu
mengeluarkan energi relatif banyak –bahkan seakan kelebihan energi karena tanpa
menggenjot pedal pun sepeda bisa melaju dengan cepat—karena juga ada faktor x,
yakni kondisi jalan yang menurun.
Dalam
perspektif laku kehidupan, tanjakan bisa berarti tantangan yang harus direspon
dengan mengeluarkan energi ekstra kalau kita ingin roda kehidupan bisa tetap
menggelinding dan membawa kita dalam perjalanan yang kita inginkan. Begitu pula
jalan yang menurun berarti kemudahan yang bisa membantu kita melaju dengan
cepat tanpa harus susah-susah mengeluarkan tenanga.
Namun
yang perlu disadari, keduanya, baik jalur tanjakan maupun turunan merupakan
ujian atau cobaan bagi pelakunya. Dalam banyak hal, biasanya ujian diidentikkan
dengan situasi atau kondisi yang berat, tak mengenakkan, dan tak diinginkan. Padahal,
jalur turunan yang identik dengan situasi dan kondisi yang mengenakkan, serba
mudah dan berkecukupan, juga merupakan ujian atau cobaan dari Sang Maha
Pencipta, Alloh SWT.
Dan,
sebagai umat beragama Islam, sekali-kali jangan mengaku beriman tanpa terlebih
dahulu mendapat ujian atau cobaan, baik yang menyusahkan atau yang
menyenangkan. Karena itu, ketika kita berada dalam posisi yang tidak
mengenakkan karena didera ujian yang bertubi-tubi, tidak sepatutnya bersedih
atau putus asa sehingga membuat tata laku kita tidak produktif. Sebaliknya,
kita juga jangan jumawah dan lengah
ketika mendapat ujian yang serba menyenangkan atau berkecukupan.
Saya
jadi ingat pesan bapak saya, Supadar (alm), yang 3 Juni 2013 lalu pulang ke
rumah Barzah memenuhi panggilan Yang
Mahakuasa dan penentu segala kehidupan. Ketika itu, tahun 1980 saya hendak
lulus SD dan bersiap memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi, yakni SMP.
Di kursi ruang tamu rumah kami di Dusun Sidoawaras, Desa Lebaniwaras, Kec.
Wringinanom, Kab. Gresik, kami duduk berdampingan. Seperti memberikan
pembekalan dan wejangan, Bapak
berujar:
“Nak, urip iku kaya roda sing muter (Nak,
hidup itu seperti roda yang berputar). Kadang posisinya di atas, kadang di
bawah. Mulo (maka), jangan sedih
kalau kamu pas di bawah. Juga jangan terlalu gembira hingga membuatmu lengah
ketika berada di atas,” ujarnya.
Pesan
ini hingga kini masih kuat terpatri di hati dan pikiran saya meski telah 34
tahun berlalu. Pesan ini pula yang membentengi saya untuk bijak dalam menyikapi
kehidupan dengan beragam kompleksitasnya. Masih kata Bapak, toh tidak ada yang langgeng di dunia ini. Susah dan senang, sedih dan gembira, rugi
dan untung, sakit dan sehat, juga bahagia atau sebaliknya pasti ada batasnya.
Karena
itu, sudah sepatutnya semuanya dilakoni dengan sabar dan ikhlas. Kita bimbing
hati dan pikiran kita untuk bisa sabar dan ikhlas dalam menerima garis hidup
yang ditentukan Alloh SWT. Meski demikian, ihtiar untuk meraih sesuatu yang
lebih baik dan bermartabat merupakan keniscayaan yang mesti kita lakukan
sebagai konsekuensi atas karunia besar yang kita terima, yakni hati dan
pikiran.
Kebomas, Jumat, 21 Februari
2014.
No comments:
Post a Comment