(Kado khusus Dies Natalis ke-49 Unesa, Desember 2013)
Oleh SUHARTOKO
![]() |
Gerbang Unesa, Kampus Lidah Wetan |
Di sebuah
warung kopi di kawasan Ketintang, Surabaya, dua orang sahabat yang sama-sama alumni
Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya terlibat obrolan ringan
seputar kampus tercinta mereka yang sejak tahun 1999 berganti nama menjadi
Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Semula obrolan mereka datar-datar saja,
tidak menunjukkan adanya sesuatu yang perlu diperbincangkan secara serius. Di
sela obrolan ringan itu, sahabat I asyik dengan rokok dan kopi hitamnya.
Sementara sahabat II, di sela menuang dan nyruput
kopi susunya, lebih fokus pada lembar-lembar koran yang dia beli di kios dekat
warung itu.
Beberapa menit kemudian, tensi obrolan yang semula landai-landai dan tenang itu tiba-tiba naik dan sedikit gaduh. Sambil menunjukkan halaman lokal Surabaya pada koran yang dibaca, sahabat II membuka suara dengan ekspresi serius. Setengah menggugat, sahabat II berujar, "Ini apa maksudnya, Cak? Apa wartawan dan pengelola koran ini sentimen dengan kampus kita? Masa ada banyak berita pendidikan, kampus kita nggak ada sama sekali beritanya. Yang ditulis hanya beritanya ITS dan Unair. Lha, ini juga ada berita dari kampus swasta yang mestinya tak layak. Sebagai alumni, malu aku, Cak. Sampean kan wartawan sinior, pasti bisa jelaskan kenapa begini."
Mendengar berondongan pertanyaan dan protes sahabatnya, sahabat I tak merespon. Dia malah asyik memainkan asap rokok dari mulutnya hingga membentuk lingkaran menyeruapi cincin. Sahabat I hanya tersenyum mendengar sahabatnya yang ngedumel dan tidak bisa menerima arus lalu lintas informasi yang dinilainya sama sekali tak memihak ke kampusnya.
*****
Beberapa menit kemudian, tensi obrolan yang semula landai-landai dan tenang itu tiba-tiba naik dan sedikit gaduh. Sambil menunjukkan halaman lokal Surabaya pada koran yang dibaca, sahabat II membuka suara dengan ekspresi serius. Setengah menggugat, sahabat II berujar, "Ini apa maksudnya, Cak? Apa wartawan dan pengelola koran ini sentimen dengan kampus kita? Masa ada banyak berita pendidikan, kampus kita nggak ada sama sekali beritanya. Yang ditulis hanya beritanya ITS dan Unair. Lha, ini juga ada berita dari kampus swasta yang mestinya tak layak. Sebagai alumni, malu aku, Cak. Sampean kan wartawan sinior, pasti bisa jelaskan kenapa begini."
Mendengar berondongan pertanyaan dan protes sahabatnya, sahabat I tak merespon. Dia malah asyik memainkan asap rokok dari mulutnya hingga membentuk lingkaran menyeruapi cincin. Sahabat I hanya tersenyum mendengar sahabatnya yang ngedumel dan tidak bisa menerima arus lalu lintas informasi yang dinilainya sama sekali tak memihak ke kampusnya.
*****
Cerita
singkat dua sahabat tersebut merupakan fenomena umum yang kerap diperbincangkan
dalam sejumlah diskusi para alumni Unesa. Bahkan, secara terbuka hal itu juga sering
didiskusikan dan diperdebatkan di grup milis keluarga Unesa (Ganesa). Sejumlah
posting di milis yang dinamis ini juga menunjukkan, bahwa banyak alumni Unesa menyayangkan, mengapa berita-berita pendidikan di media massa, baik lokal
maupun nasional tidak muncul dari rahim Unesa, tetapi justru dari kampus lain,
seperti Institut Teknologi 10 November
(ITS) dan Universitas Airlangga (Unair). Padahal, sebagai lembaga
pendidikan dan tenaga kependidikan (LPTK) yang sudah melahirkan puluhan ribu
guru, mestinya Unesa menjadi barometer dalam melahirkan isu-isu pendidikan, Tak
heran jika kemudian ada yang menilai, dari aspek pencitraan dan branding di Surabaya, Unesa masih
menempati peringkat ketiga, di bawah ITS dan Unair.
Pertanyaannya
adalah benarkah lemahnya aspek pencitraan dan branding itu membuktikan rendahnya kualitas Unesa dalam mengelola
isu-isu pendidikan untuk konsumsi publik?
Seberapa penting sebuah institusi pendidikan, termasuk Unesa dalam
menjalin komunikasi dengan media massa dan apa dampaknya jika Unesa mengambil
jarak dengan media massa?
Setidaknya
ada tiga kemungkinan mengapa Unesa relatif tertinggal dalam melahirkan isu-isu
pendidikan untuk konsumsi pemberitaan di media massa. Pertama, wartawan atau jajaran redaksi menilai, di Unesa tidak
banyak isu yang bisa diangkat sebagai informasi yang layak muat. Kedua, para petinggi atau pengelola
Unesa memproteksi diri dan memilih sikap low
profile (baca: pasif), sehingga tidak menganggap pemberitaan media massa sebagai
sesuatu yang penting. Ketiga, Itu
terjadi karena ketidakpahaman pengelola Unesa dalam menjalin hubungan baik
dengan media massa. Ini yang kemudian –dalam aspek komunikasi-- berakibat pada jauhnya
jarak antara Unesa dan media massa, sehingga arus beritanya pun relatif sepi.
Lalu
di manakah posisi Unesa di antara ketiga kemungkinan tersebut? Apa pun
kemungkinan yang menjadi penyebab belum optimalnya pengelolaan isu atau
informasi untuk media massa, satu hal yang mesti disadari oleh pengelola Unesa,
baik rektor, pembantu rektor, atau jajaran yang dibawahkannya adalah, bahwa
keberadaan media massa itu sangat penting, sekali lagi sangat penting sebagai supporter pengembangan kinerja kampus.
Karena itu, jangan menganggap sepele kehadiran media massa. Meski untuk itu
semua, perlu kemampuan teknis dalam mengenali dan bagaimana memperlakukan media
massa, dalam hal ini para wartawan (jurnalis), khususnya yang biasa meliput
bidang pendidikan.
Di
antara pengetahuan dan kemampuan teknis yang mesti dimiliki dalam menjalin
hubungan dengan media massa, di antaranya:
1 1). Media massa bisa berperan
sebagai sarana promosi atau support
atas pengelolaan institusi atau perusahaan, baik terkait produk baranag dan
atau jasa
2 2). Media massa bisa berperan
sebagai mitra dalam memengaruhi opini publik terkait kebijakan atau program
perusahaan/institusi.
3 3). Media massa bisa menjadi
sarana efektif untuk penguatan pencitraan korporasi (corporate image) atau branding
untuk mendukung pengembangan kinerja perusahaan atau institusi.
4 4). Media juga bisa mengganggu,
merusak, menyerang, atau bahkan menjatuhkan reputasi perusahaan/institusi dan
pengelolalanya.
Seperti
pisau bermata dua, secara sederhana peran media massa bisa positif atau
negatif, bergantung bagaimana memanfaatkannya. Media massa bisa dimanfaatkan
untuk membangun dan mengembangkan kinerja perusahaan/institusi, termasuk Unesa.
Sebaliknya, keberadaannya juga bisa mengganggu atau bahkan merusak kinerja dan
reputasi institusi dan personelnya.
Di
sinilah peran public relations, sebagai sub-unit atau elemen yang biasanya melekat
pada sebuah perusahaan atau institusi menjadi amat penting. Banyak perusahaan
atau institusi yang masih memosisikan public
relations atau yang juga dikenal dengan istilah humas ini sebagai elemen
pinggiran atau sekadar pelengkap. Padahal, korporasi atau institusi mestinya makin menyadari, bahwa fungsi public relations itu strategis, tidak hanya untuk mengomunikasikan pesan
manajemen, tetapi
sekaligus menjaga reputasi perusahaan atau institusi.
Apa
itu public relations? William F.
Arens (1999:310), dalam Contemporary
Advertising menyebutkan, public
relations adalah fungsi manajemen yang memfokuskan diri pada
membangun/mengembangkan relasi serta komunikasi yang dilakukan individu maupun
organisasi terhadap publik guna menciptakan hubungan saling menguntungkan.
Adapun
publik yang menjadi sasaran pengembangan relasi serta komunikasi yang dimaksud
Arens terdiri atas tujuh kelompok, termasuk di dalamnya media massa. Ketuju
kelompok dimaksud adalah Employees, Stockholders,
Communities, Media, Government, Investment Community, dan Customers. Tulisan ini lebih fokus pada
upaya, bagaimana Unesa mampu menjalankan manajemen relasi dan komunikasi dengan
media massa, sehingga tercipta pencitraan yang positif untuk mengembangkan
kinerja sebagai kampus yang tidak saja dikenal dalam skala lokal dan nasional,
tetapi sekaligus secara global alias mendunia.
Memang,
tidak semua media massa harus dijadikan mitra dengan kadar perlakuan yang sama.
Karena itu, elemen Unesa yang bertanggung jawab menjalankan komunikasi dengan
media massa mesti mampu mengelompokkannya sesuai dengan segmen pasar atau target
yang diharapkan.
Sekadar untuk referensi,
tahun 2010, survey AC Nielsen yang dipublikasikan pada akhir tahun itu
menunjukkan, Jawa Pos, koran nasional terbitan
Surabaya ini, mengukuhkan diri sebagai surat kabar dengan
jumlah pembaca terbanyak. Posisi pertama ini berdasar survei pada
kuartal ketiga 2010 yang diselenggarakan di sembilan kota besar. Sembilan
kota besar di Indonesia itu, Jakarta dan sekitarnya, Semarang, Bandung,
Surabaya dan sekitarnya, serta Yogyakarta dan sekitarnya. Lainnya adalah
Makassar, Denpasar, Palembang, dan Medan. Peringkat berikutnya ditempati Kompas,
Top Skor, Pos Kota, lalu disusul Warta Kota di
posisi kelima. Itu berarti di antara lima besar tersebut, Jawa Pos-lah
satu-satunya yang terbit di luar Jakarta, namun berada di puncak. Sebelum
itu, pada 2009, Jawa Pos juga menduduki posisi pertama sebagai koran
dengan pembaca terbanyak (Jawa Pos, 10 Desember 2010)
Khusus untuk area edar Jawa Timur
dengan dominasi distribusi di Surabaya, Nielsen
menyebutkan, lima besar media cetak masing-masing ditempati Jawa Pos,
Memorandum, Surya, Kompas, dan Surabaya Post. Sementara untuk area edar Jawa
Tengah dan Yogyakarta, peringkat lima besarnya adalah Kedaulatan Rakyat, Suara
Merdeka, Kompas, Jawa Pos, dan Seputar Indonesia.
Media massa mana yang layak
dijadikan mitra strategis dalam mengomunikasikan agenda informasi, program,
atau kebijakan Unesa, juga bergantung pada target yang diinginkan. Di antaranya,
untuk kepentingan pencitraan, promosi, mencegah pemberitaan yang merugikan,
atau untuk sekadar menjalin hubungan baik (relationship).
Terlepas mana media yang akan menjadi pilihan utama dalam menjalin relasi, satu
hal yang harus dihindari adalah, menjauhi atau menghindar dari media massa
(baca:wartawan). Tetaplah menjalin komunikasi dengan baik dan akomodatif
terhadap semua wartawan, meski dalam agenda kerja tetap ada pemilahan peran.
Panggung Literasi
Ketika
komunikasi dengan awak media telah terjalin secara harmonis, tahap berikutnya
adalah memaksimalkan peran sumber daya manusia (SDM) Unesa untuk mengisi
panggung literasi yang telah terbuka lebar pada rubrikasi yang ada, baik untuk
pemberitaan atau penguatan positioning
sebagai intelektual kampus melalui aliran naskah opini atau artikel.
Untuk
kepentingan pemberitaan, tugas ini bisa dijalankan secara rutin oleh bagian
Humas dengan aktif merancang isu atau informasi yang menguntungkan bagi
pengembangan kinerka Unesa. Sementara untuk aliran naskah opini atau artikel
mesti mengerahkan para dosen dan mahasiswa untuk aktif menulis dan mengirimkannya ke media massa.
Memang,
misi ini tidak selalu gampang direalisasikan. Banyak kendala tentunya. Tetapi, melalui gerakan literasi
yang terus dikumandangkan di kampus, hal itu bukanlah mustahil untuk
diwujudkan. Ketika roh literasi --di antaranya lewat aktivitas menulis-- sudah
menyatu pada diri para dosen dan mahasiswa, di situlah Unesa telah memiliki amunisi
mengembangkan perannya sebagai kampus yang berpotensi mendunia.
Selain menjadikan media massa (profesional) sebagai mitra
komunikasi, media-media internal seperti majalah kampus, termasuk majalah
fakultas dan jurusan hendaknya terus dikembangkan. Demikian juga sarana-sarana
lainnya, seperti website atau
jurnal-jurnal pendidikan dan penelitian yang bisa diakses oleh publik, perlu
juga diberdayakembangkan.
Jika
peran relasi media yang ditandai oleh kualitas komunikasi, lalu diperkuat
dengan tersedianya SDM yang andal dan aktif mengisi panggung literasi sudah digarap, penulis
yakin, dalam waktu tidak terlalu lama Unesa mampu menjadi kampus favorit, tidak
dipandang sebelah mata, baik untuk skala lokal, nasional, maupun global. (*)
No comments:
Post a Comment