Wednesday, September 18, 2013

Mengelola Kekecewaan Pasca-Pilgub


Oleh SUHARTOKO *)

KarSa saat kampanye di Malang
Hajatan politik untuk memilih gubernur dan wakil gubernur (Pilgub) Jatim usai digelar, Kamis Kliwon 29 Agustus 2013 lalu. Penghitungan suara juga usai dilakukan dengan hasil (sementara) kemanangan berada pada pasangan incumbent Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa). Selain KarSa, Pilgub Jatim diikuti oleh pasangan Eggi Sudjana-M. Sihat, Bambang D.H.-Said Abdullah, dan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja.

Terlepas siapa yang nantinya resmi sebagai pemenang dalam Pilgub ini, dapat dipastikan bakal menyisakan deretan kekecewaan rakyat, baik dari pihak yang telah memberikan suara dukungan, tidak mendukung karena memilih calon lain, maupun yang memutuskan untuk tidak memilih alias golput.

Sumber kekecewaan rakyat dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok yang bersumber dari rakyat pemegang hak pilih yang dalam Pilgub tidak mendukung dan tidak mencoblos peserta Pilgub yang menang. Kelompok kedua bersumber dari para pendukung yang menang. Kelompok ketiga adalah mereka yang memutuskan golput.

Dari kelompok bukan pendukung pemenang, kekecewaan lahir akibat calon yang mereka jagokan gagal menepati posisi Jatim 1 dan Jatim 2 (baca: gubernur dan wakil gubernur). Mereka pantas kecewa karena jago yang digadang-gadang ternyata kalah, meski persiapan, strategi, dan langkah-langkah pemenangan sudah dilakukan.   

Kekecewaan juga bisa datang dari kelompok pendukung sang pemenang. Ini terjadi jika dalam perjalanan mengendalikan roda pemerintahan kelak, ternyata tidak sesuai dengan komitmen yang dijanjikan, baik selama kampanye atau rangkaian aktivitas lainnya saat prapencoblosan. Komitmen itu bisa berupa program kerja yang bersifat umum dan normatif maupun komitmen internal kepada kelompok pendukungnya yang biasanya berupa konsesi politik atau jatah proyek berdimensi bisnis.

Mereka layak kecewa karena berbagai jargon politik ketika menjelang coblosan bisa dengan mudah ditemukan di baliho-baliho, spanduk, brosur, pamflet, berbagai iklan media massa, dan dan sarana pencitraan lainnya, termasuk orasi-orasi politik dalam kampanye. Dan, dalam jargon-jargon politik itu, rakyat selalu diposisikan di tempat yang terhormat dan berharga.

Seperti lazimnya dalam tradisi politik, komitmen, janji, atau statemen-statemen politis yang disampaikan para calon peserta pilgub selalu menempatkan rakyat sebagai pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Kata-kata demi rakyat, atas nama rakyat, membangun untuk rakyat, demi kesejahteraan rakyat, APBD untuk rakyat, dan sejenisnya merupakan dagangan politik yang biasa mereka jajakan kepada calon pemilih: rakyat. Bahkan salah satu pasangan Cagub, dalam baliho yang tersebar di berbagai sudut kota di Jatim sampai menulis,” Gubernur adalah pelayan, rakyat adalah raja”.

Ini gambaran betapa rakyat diposisikan sebagai sosok begitu tinggi dan berharga setiap menjelang hajatan politik. Karena itu, ketika dalam praktiknya nanti ternyata apa yang dilakukan gubernur/wagub pilihan mereka tidak sesuai harapan, sangatlah pantas kalau pada akhirnya menuai kekecewaan.

Sementara kekecewaan dari kelompok golput umumnya sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelum tahapan pencoblosan berlangsung. Karena itu, sejak awal kelompok ini memutuskan untuk tidak mendukung dan tidak memilih siapa pun.

Modus yang mereka lakukan di antaranya, tidak mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang disiapkan di lingkungan masing-masing pada hari Ha. Kalaupun mereka datang ke TPS, mereka pasti mengondisikan agar surat suara yang dimasukkan ke kotak suara menjadi tidak sah ketika penghitungan suara berlangsung.

Mengelola Kekecewaan

Lalu bagaimana mesti mengelola kekecewaan pascapilgub? Membiarkannya berkembang dan liar menjadi kekuatan yang akan terus mengganggu jalannya pemerintahan yang pada gilirannya memandulkan laju pembangunan di Jatim? Atau sebaliknya, mendekonstruksi kekecewaan itu menjadi energi positif yang mampu mengawal laju roda pemerintahan dan pembangunan?

Hal itu berpulang pada masing-masing pribadi atau kelompok dalam mengambil sikap dan tata laku terkait pilgub. Yang pasti, ketika secara resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) nanti mengumumkan siapa pemenang pilgub, itulah pemimpin Jatim yang mesti diberi ruang untuk menjalankan tugas dan amanat rakyat yang harus diemban.

Dalam hemat penulis, memelihara dan mengembangkan kekecewaan untuk maksud negatif pascapilgub, tidak saja akan membuang-buang energi dan mubazir, tetapi menunjukkan sikap kurang dewasa dan kurang sportif dalam berpolitik. Pada gilirannya, jika hal itu terus berlangsung dampaknya tidak saja akan mengganggu jalannya pemerintahan, tetapi secara umum merugikan masyarakat Jatim. Proses pengelolaan pemerintahan akan terjadi stagnanasi dan tidak produktif, karena terus-menerus diganggu. Masyarakat pada gilirannya juga tidak akan menerima manfaat maksimal dari pengelolaan pemerintahan yang berjalan secara pincang.

Sudah saatnya akumulasi kekecewaan pascapilgub itu dikelola secara positif sebagai kekuatan untuk mengawal pemerintahan agar bisa berjalan sesuai dengan amanat yang diberikan oleh rakyat dan manfaatnya bisa secara maksimal kembali juga ke rakyat. Sikap dan tindakan konstruktif sangat diharapkan untuk mengawal pemerintahan Jatim agar berjalan pada koridor yang kita harapkan bersama.(*)


Sidoarjo, 19 September 2013


 


                     




No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts