Oleh
SUHARTOKO *)
![]() |
KarSa saat kampanye di Malang |
Hajatan politik untuk memilih gubernur dan wakil
gubernur (Pilgub) Jatim usai digelar, Kamis Kliwon 29 Agustus 2013 lalu.
Penghitungan suara juga usai dilakukan dengan hasil (sementara) kemanangan berada
pada pasangan incumbent
Soekarwo-Saifullah Yusuf (KarSa). Selain KarSa, Pilgub Jatim diikuti oleh
pasangan Eggi Sudjana-M. Sihat, Bambang D.H.-Said
Abdullah, dan Khofifah Indar Parawansa-Herman Suryadi Sumawiredja.
Terlepas siapa yang nantinya resmi sebagai
pemenang dalam Pilgub ini, dapat dipastikan bakal menyisakan deretan kekecewaan
rakyat, baik dari pihak yang telah memberikan suara dukungan, tidak mendukung
karena memilih calon lain, maupun yang memutuskan untuk tidak memilih alias
golput.
Sumber kekecewaan rakyat dapat dikelompokkan
menjadi tiga bagian. Pertama adalah kelompok yang bersumber dari rakyat
pemegang hak pilih yang dalam Pilgub tidak mendukung dan tidak mencoblos
peserta Pilgub yang menang. Kelompok kedua bersumber dari para pendukung yang
menang. Kelompok ketiga adalah mereka yang memutuskan golput.
Dari kelompok bukan pendukung pemenang, kekecewaan
lahir akibat calon yang mereka jagokan gagal menepati posisi Jatim 1 dan Jatim
2 (baca: gubernur dan wakil gubernur). Mereka pantas kecewa karena jago yang
digadang-gadang ternyata kalah, meski persiapan, strategi, dan langkah-langkah
pemenangan sudah dilakukan.
Kekecewaan juga bisa datang dari kelompok
pendukung sang pemenang. Ini terjadi jika dalam perjalanan mengendalikan roda
pemerintahan kelak, ternyata tidak sesuai dengan komitmen yang dijanjikan, baik
selama kampanye atau rangkaian aktivitas lainnya saat prapencoblosan. Komitmen
itu bisa berupa program kerja yang bersifat umum dan normatif maupun komitmen
internal kepada kelompok pendukungnya yang biasanya berupa konsesi politik atau
jatah proyek berdimensi bisnis.
Mereka
layak kecewa karena berbagai
jargon politik ketika menjelang coblosan bisa dengan mudah ditemukan di
baliho-baliho, spanduk, brosur, pamflet, berbagai iklan media massa, dan dan
sarana pencitraan lainnya, termasuk orasi-orasi politik dalam kampanye. Dan, dalam
jargon-jargon politik itu, rakyat selalu diposisikan di tempat yang terhormat
dan berharga.
Seperti
lazimnya dalam tradisi politik, komitmen, janji, atau statemen-statemen politis
yang disampaikan para calon peserta pilgub selalu menempatkan rakyat sebagai
pilar utama dalam menjalankan roda pemerintahan. Kata-kata demi rakyat, atas
nama rakyat, membangun untuk rakyat, demi kesejahteraan rakyat, APBD untuk
rakyat, dan sejenisnya merupakan dagangan politik yang biasa mereka jajakan
kepada calon pemilih: rakyat. Bahkan salah satu pasangan Cagub, dalam baliho
yang tersebar di berbagai sudut kota di Jatim sampai menulis,” Gubernur adalah
pelayan, rakyat adalah raja”.
Ini
gambaran betapa rakyat diposisikan sebagai sosok begitu tinggi dan berharga setiap
menjelang hajatan politik. Karena itu, ketika dalam praktiknya nanti ternyata
apa yang dilakukan gubernur/wagub pilihan mereka tidak sesuai harapan, sangatlah
pantas kalau pada akhirnya menuai kekecewaan.
Sementara kekecewaan dari kelompok golput umumnya
sudah dilakukan sejak jauh-jauh hari sebelum tahapan pencoblosan berlangsung. Karena
itu, sejak awal kelompok ini memutuskan untuk tidak mendukung dan tidak memilih
siapa pun.
Modus yang mereka lakukan di antaranya, tidak
mendatangi tempat-tempat pemungutan suara (TPS) yang disiapkan di lingkungan
masing-masing pada hari Ha. Kalaupun mereka datang ke TPS, mereka pasti
mengondisikan agar surat suara yang dimasukkan ke kotak suara menjadi tidak sah
ketika penghitungan suara berlangsung.
Mengelola
Kekecewaan
Lalu
bagaimana mesti mengelola kekecewaan pascapilgub? Membiarkannya berkembang dan
liar menjadi kekuatan yang akan terus mengganggu jalannya pemerintahan yang
pada gilirannya memandulkan laju pembangunan di Jatim? Atau sebaliknya,
mendekonstruksi kekecewaan itu menjadi energi positif yang mampu mengawal laju
roda pemerintahan dan pembangunan?
Hal
itu berpulang pada masing-masing pribadi atau kelompok dalam mengambil sikap
dan tata laku terkait pilgub. Yang pasti, ketika secara resmi Komisi Pemilihan
Umum (KPU) nanti mengumumkan siapa pemenang pilgub, itulah pemimpin Jatim yang
mesti diberi ruang untuk menjalankan tugas dan amanat rakyat yang harus diemban.
Dalam
hemat penulis, memelihara dan mengembangkan kekecewaan untuk maksud negatif
pascapilgub, tidak saja akan membuang-buang energi dan mubazir, tetapi
menunjukkan sikap kurang dewasa dan kurang sportif dalam berpolitik. Pada
gilirannya, jika hal itu terus berlangsung dampaknya tidak saja akan mengganggu
jalannya pemerintahan, tetapi secara umum merugikan masyarakat Jatim. Proses
pengelolaan pemerintahan akan terjadi stagnanasi dan tidak produktif, karena
terus-menerus diganggu. Masyarakat pada gilirannya juga tidak akan menerima
manfaat maksimal dari pengelolaan pemerintahan yang berjalan secara pincang.
Sudah
saatnya akumulasi kekecewaan pascapilgub itu dikelola secara positif sebagai
kekuatan untuk mengawal pemerintahan agar bisa berjalan sesuai dengan amanat
yang diberikan oleh rakyat dan manfaatnya bisa secara maksimal kembali juga ke
rakyat. Sikap dan tindakan konstruktif sangat diharapkan untuk mengawal
pemerintahan Jatim agar berjalan pada koridor yang kita harapkan bersama.(*)
Sidoarjo, 19 September 2013
No comments:
Post a Comment