Wednesday, July 17, 2013

Sinetron Lakon Khofifah


Oleh HENRY NURCAHYO *)


Henry Nurcahyo
Khofifah Indar Parawansah akhirnya gagal menjadi calon Gubernur Jawa Timur. Ini peristiwa yang menarik dicermati sebagai “teater sosial” yang telah sanggup menciptakan ketegangan perasaan publik beberapa bulan belakangan ini. Lakon tentang Khofifah bagaikan sinetron yang membuat masyarakat penasaran untuk tahu ending-nya. Lakon Khofifah bagaikan novel atau film yang mengaduk-aduk perasaan penonton sehingga melahirkan empati terhadap tokoh utama. Khofifah telah hadir sebagai sosok yang “dizalimi” terlepas apakah dia benar-benar dizalimi ataukah memang situasinya membuat dia seolah-olah dizalimi. Karena itu, bisa dibayangkan kalau ternyata dia benar-benar lolos menjadi Cagub, maka bukan tidak mungkin akan mampu menumbangkan rezim Karsa (Soekarwo-Saifullah Yusuf).

Tanpa terasa, rakyat negeri ini memang sudah sangat terpengaruh (untuk tidak bilang) dijajah sinetron, apapun bentuknya. Mulai dari sinetron cengeng yang dituduh merusak mental bangsa, sampai sinetron serius (dan memang bermutu) semacam garapan Deddy Mizwar. Harus diakui, era kejayaan cerita bersambung di koran harian sudah lewat. Demikian pula novel Indonesia tidak ada yang mampu membuat penasaran pembaca seperti Kho Ping Ho atau serial komik silat.

Banyak orang yang lebih tertarik mengikuti “sinetron politik” semacam lakon Khofifah ini ketimbang membaca karya sastra. Sinetron dengan lakon Nazarudin juga masih laris karena mampu menjadi liputan utama atau laporan khusus media massa nasional. Lihat saja media sosial juga masih ramai bicara tentang “sinetron PKS” dalam cerita soal daging sapi dan ihwal kesyahwatan.

Maka mengikuti hari demi hari Lakon Khofifah sungguh mengasyikkan sebagaimana menunggu-nunggu kelanjutan cerita sinetron. Menariknya, lakon Khofifah ini karena masih melekat erat dalam memori masyarakat, khususnya Jawa Timur, bahwa lima tahun yang lalu, perempuan itu telah membuat sejarah tersendiri dalam sejarah Pilkada di negeri ini. Dialah satu-satunya Calon Gubernur di Indonesia yang mampu memaksa lawannya bertarung dalam tiga kali putaran. Jadi tak heran kalau Karsa “ketakutan” sudah sejak awal ketika dalam Pilkada tahun ini Khofifah berniat maju lagi. Masuk akal kalau orang menduga bahwa Karsa sangat berkepentingan terhadap ikut tidaknya Khofifah dalam pertarungan Pilkada Gubernur Jatim. Indikasi ini sudah terlihat betapa bersemangatnya Soekarwo menggalang suara dengan mengumpulkan berbagai elemen masyarakat dalam berbagai acara yang disamarkan dengan segala macam nama.

Secara formal, memang selama ini Khofifah belum head to head dengan Karsa, tidak sebagaimana lima tahun yang lalu, ketika mereka harus bersaing ketat dalam pertarungan yang sengit. Kali ini Khofifah masih berjuang untuk bisa lolos sebagai Cagub, belum masuk ke arena pertandingan. Lagi pula, Karsa bukan lawan satu-satunya. Setidaknya ada pasangan Bambang DH dan calon independen Eggy Sujana. Tetapi di permukaan, kentara sekali aroma pertempuran antara Karsa dan Khofifah. Padahal, Khofifah sedang bertarung melawan KPU yang dituduh berusaha mengganjalnya, bukan sedang berhadapan dengan Karsa. Tetapi kesan kuat yang tertangkap, bahwa kubu Karsa sangat tidak ingin Khofifah bisa maju ke gelanggang. Setidaknya agar bisa “menghemat energi” ketimbang kalau nanti Khofifah benar-benar berhasil lolos. Lihat saja unjuk rasa yang dilakukan oleh FKPPI di kantor KPU yang berlawanan dengan unjuk rasa dari kubu Khofifah. Kalau dipikir-pikir, apa kepentingannya FKPPI unjukrasa mendesak KPU agar tidak gentar oleh protes kubu Khofifah? Bukankah hal ini semakin memperkuat kesan bahwa Karsa bermain di belakangnya? Memangnya FKPPI mewakili siapa? Salahkah kalau masyarakat menuduh FKPPI sedang “membela” Karsa? Lain halnya kalau yang unjuk rasa hanya kubu Khofifah. Karena sejatinya Khofifah memang sedang berjuang keras melawan KPU yang ditengarai berlaku “curang”, kubu (yang membela) Karsa tidak usah ikut campur perseteruan Khofifah vs KPU ini.

Sementara itu, Bambang Dwi Hartono ketika ditugaskan oleh PDI Perjuangan untuk maju sebagai Cagub Jatim, dia kaget, karena tahu diri mengenai kapasitasnya. Bambang terang-terangan mengakui bahwa sosok Soekarwo hanya mampu ditandingi oleh Khofifah atau sekelas tokoh nasional seperti Pramono Anung. Terkait dengan isu bahwa dia digadang-gadang hendak digandengkan dengan Khofifah sebagai Wakil Gubernur, membuat Bambang kurang percaya diri ketika kemudian dia malah “diperintah” maju sebagai Cagub. Maka Bambang menyempatkan diri menelepon langsung pada Khofifah yang saat itu sedang umrah untuk berpamitan bahwa dirinya diminta maju sebagai Cagub.

Kemunculan sosok Bambang bisa jadi hanya “demi kepantasan” agar Pilkada Jatim sedikit ramai lantaran calon independen sama sekali tidak bisa diperhitungkan elektabilitasnya. Apalagi ada peran Taufik Kemas sebagai God Father GMNI yang mau tidak mau berada dalam satu jalur dengan Soekarwo sebagai Ketua Alumni GMNI Jatim. Kehadiran Bambang semula diskenario  akan bisa memecah suara seandainya Khofifah betul-betul lolos sebagai Cagub. Relatif tidak ada yang bisa diandalkan dari sosok Bambang yang “hanya” menjadi Wakil Walikota Surabaya (juga Calon Wakil Gubernurnya). Dia bukan Ganjar Pranowo yang punya modal sebagai orang pusat yang cerdas dan mampu merebut simpati rakyat Jawa Tengah dengan slogan sederhana “Mboten Korupsi, Mboten Ngapusi”. Orang di luar Surabaya bisa dikatakan tidak mengenal siapa Bambang DH sehingga tidak bisa menemukan alasan emosional untuk kemudian memilihnya. Satu-satunya modalnya hanyalah mengandalkan mesin politik PDI Perjuangan betul-betul bisa berfungsi dengan baik. Mungkin saja orang akan memilih Bambang karena alasan PDI Perjuangan, karena sosok Megawati, atau simpati dengan Jokowi (yang sangat mungkin akan menjadi jurkam Bambang).

Apa boleh buat, sistem pemungutan suara dalam politik demokrasi yang sedang berlaku saat ini memang menjadikan masyarakat hanya dimaknai sebagai angka-angka belaka. Suara seorang Presiden, Menteri, Jendral, Doktor dan Profesor sekalipun sama nilainya dengan suara dari rakyat kebanyakan. Sistem pemungutan suara untuk mendapatkan pemenang mau tak mau hanya dihitung secara kuantitas, bukan kualitas. Jadi yang lebih penting dalam pemilihan (Pilpres, Pilkada atau Pileg) adalah adanya alasan tertentu yang mendorong seseorang menentukan pilihannya. Dan sebagian besar masyarakat lebih punya alasan yang bersifat emosional ketimbang rasional. Jadi jangan heran kalau kampanye-kampanye banyak berisi slogan-slogan kosong semata-mata supaya memudahkan masyarakat (awam) memiliki alasan untuk menentukan pilihan. Mengapa SBY menang dalam Pilpres, antara lain karena banyak orang yang memilih karena dia dinilai sebagai sosok yang berwibawa dan ngganteng.

Bisa saja secara objektif seorang Soekarwo sebagai Cagub petahana (incumbent) memang memiliki banyak prestasi membuat provinsi Jatim maju, mendapat banyak penghargaan, atau bahkan mensejahterakan rakyat. Tetapi hal itu semua tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan agar orang memilihnya kembali. Kalau saja Khofifah lolos sebagai Cagub, maka kans Khofifah untuk terpilih lebih besar semata-mata karena ada alasan bahwa dia “dizalimi”.  Karsa tidak cukup kuat “menjual ikon kumisnya” untuk merebut simpati publik.

Maka ketika sekarang Khofifah gagal menjadi cagub, para pendukungnya tentu bakal menjadi rebutan. Tetapi pilihan mereka sepertinya hanya dua: Golput atau Asal Bukan Karsa (ABK). Maka posisi Bambang bisa jadi diuntungkan karena akan mendapat limpahan suara pendukung Khofifah. PDI Perjuangan sendiri juga akan all out memperjuangkan Bambang, lebih-lebih kini Taufik Kemas sudah meninggal dunia. Kalau semula Bambang hanya jadi kuda hitam yang kurang diperhitungkan, maka kini pantas untuk tidak diremehkan.

Dan kini, kalau kemudian Khofifah menggugat KPU, dia ibarat menuliskan kata “bersambung” pada halaman terakhir novel yang dilakoninya. Karsa bisa jadi tidak jenak selama gugatan ini masih menggelinding. Khofifah masih menyimpan kartu truf dengan sosok Herman Sumawireja yang menjadi calon wakilnya. Mantan Kapolda Jatim itu tentu tidak akan legawa dengan kekalahan sebelum bertanding ini.  Kita tunggu saja kelanjutan ceritanya. 


*) HENRY NURCAHYO, penulis dan aktivis kesenian dan lingkungan


No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts