Oleh HENRY NURCAHYO
*)
![]() |
Henry Nurcahyo |
Tanpa terasa, rakyat
negeri ini memang sudah sangat terpengaruh (untuk tidak bilang) dijajah
sinetron, apapun bentuknya. Mulai dari sinetron cengeng yang dituduh merusak
mental bangsa, sampai sinetron serius (dan memang bermutu) semacam garapan Deddy
Mizwar. Harus diakui, era kejayaan cerita bersambung di koran harian sudah
lewat. Demikian pula novel Indonesia tidak ada yang mampu membuat penasaran
pembaca seperti Kho Ping Ho atau serial komik silat.
Banyak orang yang
lebih tertarik mengikuti “sinetron politik” semacam lakon Khofifah ini
ketimbang membaca karya sastra. Sinetron dengan lakon Nazarudin juga masih
laris karena mampu menjadi liputan utama atau laporan khusus media massa
nasional. Lihat saja media sosial juga masih ramai bicara tentang “sinetron
PKS” dalam cerita soal daging sapi dan ihwal kesyahwatan.
Maka mengikuti hari
demi hari Lakon Khofifah sungguh mengasyikkan sebagaimana menunggu-nunggu
kelanjutan cerita sinetron. Menariknya, lakon Khofifah ini karena masih melekat
erat dalam memori masyarakat, khususnya Jawa Timur, bahwa lima tahun yang lalu,
perempuan itu telah membuat sejarah tersendiri dalam sejarah Pilkada di negeri
ini. Dialah satu-satunya Calon Gubernur di Indonesia yang mampu memaksa
lawannya bertarung dalam tiga kali putaran. Jadi tak heran kalau Karsa
“ketakutan” sudah sejak awal ketika dalam Pilkada tahun ini Khofifah berniat
maju lagi. Masuk akal kalau orang menduga bahwa Karsa sangat berkepentingan
terhadap ikut tidaknya Khofifah dalam pertarungan Pilkada Gubernur Jatim.
Indikasi ini sudah terlihat betapa bersemangatnya Soekarwo menggalang suara
dengan mengumpulkan berbagai elemen masyarakat dalam berbagai acara yang
disamarkan dengan segala macam nama.
Secara formal, memang
selama ini Khofifah belum head to head dengan Karsa, tidak sebagaimana lima
tahun yang lalu, ketika mereka harus bersaing ketat dalam pertarungan yang
sengit. Kali ini Khofifah masih berjuang untuk bisa lolos sebagai Cagub, belum
masuk ke arena pertandingan. Lagi pula, Karsa bukan lawan satu-satunya.
Setidaknya ada pasangan Bambang DH dan calon independen Eggy Sujana. Tetapi di
permukaan, kentara sekali aroma pertempuran antara Karsa dan Khofifah. Padahal,
Khofifah sedang bertarung melawan KPU yang dituduh berusaha mengganjalnya,
bukan sedang berhadapan dengan Karsa. Tetapi kesan kuat yang tertangkap, bahwa
kubu Karsa sangat tidak ingin Khofifah bisa maju ke gelanggang. Setidaknya agar
bisa “menghemat energi” ketimbang kalau nanti Khofifah benar-benar berhasil
lolos. Lihat saja unjuk rasa yang dilakukan oleh FKPPI di kantor KPU yang
berlawanan dengan unjuk rasa dari kubu Khofifah. Kalau dipikir-pikir, apa
kepentingannya FKPPI unjukrasa mendesak KPU agar tidak gentar oleh protes kubu
Khofifah? Bukankah hal ini semakin memperkuat kesan bahwa Karsa bermain di
belakangnya? Memangnya FKPPI mewakili siapa? Salahkah kalau masyarakat menuduh
FKPPI sedang “membela” Karsa? Lain halnya kalau yang unjuk rasa hanya kubu
Khofifah. Karena sejatinya Khofifah memang sedang berjuang keras melawan KPU
yang ditengarai berlaku “curang”, kubu (yang membela) Karsa tidak usah ikut
campur perseteruan Khofifah vs KPU ini.
Sementara itu,
Bambang Dwi Hartono ketika ditugaskan oleh PDI Perjuangan untuk maju sebagai
Cagub Jatim, dia kaget, karena tahu diri mengenai kapasitasnya. Bambang
terang-terangan mengakui bahwa sosok Soekarwo hanya mampu ditandingi oleh
Khofifah atau sekelas tokoh nasional seperti Pramono Anung. Terkait dengan isu
bahwa dia digadang-gadang hendak digandengkan dengan Khofifah sebagai Wakil
Gubernur, membuat Bambang kurang percaya diri ketika kemudian dia malah
“diperintah” maju sebagai Cagub. Maka Bambang menyempatkan diri menelepon
langsung pada Khofifah yang saat itu sedang umrah untuk berpamitan bahwa
dirinya diminta maju sebagai Cagub.
Kemunculan sosok
Bambang bisa jadi hanya “demi kepantasan” agar Pilkada Jatim sedikit ramai
lantaran calon independen sama sekali tidak bisa diperhitungkan
elektabilitasnya. Apalagi ada peran Taufik Kemas sebagai God Father GMNI yang
mau tidak mau berada dalam satu jalur dengan Soekarwo sebagai Ketua Alumni GMNI
Jatim. Kehadiran Bambang semula diskenario
akan bisa memecah suara seandainya Khofifah betul-betul lolos sebagai
Cagub. Relatif tidak ada yang bisa diandalkan dari sosok Bambang yang “hanya”
menjadi Wakil Walikota Surabaya (juga Calon Wakil Gubernurnya). Dia bukan
Ganjar Pranowo yang punya modal sebagai orang pusat yang cerdas dan mampu
merebut simpati rakyat Jawa Tengah dengan slogan sederhana “Mboten Korupsi,
Mboten Ngapusi”. Orang di luar Surabaya bisa dikatakan tidak mengenal siapa
Bambang DH sehingga tidak bisa menemukan alasan emosional untuk kemudian
memilihnya. Satu-satunya modalnya hanyalah mengandalkan mesin politik PDI
Perjuangan betul-betul bisa berfungsi dengan baik. Mungkin saja orang akan
memilih Bambang karena alasan PDI Perjuangan, karena sosok Megawati, atau
simpati dengan Jokowi (yang sangat mungkin akan menjadi jurkam Bambang).
Apa boleh buat,
sistem pemungutan suara dalam politik demokrasi yang sedang berlaku saat ini
memang menjadikan masyarakat hanya dimaknai sebagai angka-angka belaka. Suara
seorang Presiden, Menteri, Jendral, Doktor dan Profesor sekalipun sama nilainya
dengan suara dari rakyat kebanyakan. Sistem pemungutan suara untuk mendapatkan
pemenang mau tak mau hanya dihitung secara kuantitas, bukan kualitas. Jadi yang
lebih penting dalam pemilihan (Pilpres, Pilkada atau Pileg) adalah adanya
alasan tertentu yang mendorong seseorang menentukan pilihannya. Dan sebagian
besar masyarakat lebih punya alasan yang bersifat emosional ketimbang rasional.
Jadi jangan heran kalau kampanye-kampanye banyak berisi slogan-slogan kosong
semata-mata supaya memudahkan masyarakat (awam) memiliki alasan untuk
menentukan pilihan. Mengapa SBY menang dalam Pilpres, antara lain karena banyak
orang yang memilih karena dia dinilai sebagai sosok yang berwibawa dan
ngganteng.
Bisa saja secara
objektif seorang Soekarwo sebagai Cagub petahana (incumbent) memang memiliki
banyak prestasi membuat provinsi Jatim maju, mendapat banyak penghargaan, atau
bahkan mensejahterakan rakyat. Tetapi hal itu semua tidak cukup kuat untuk
dijadikan alasan agar orang memilihnya kembali. Kalau saja Khofifah lolos
sebagai Cagub, maka kans Khofifah untuk terpilih lebih besar semata-mata karena
ada alasan bahwa dia “dizalimi”. Karsa
tidak cukup kuat “menjual ikon kumisnya” untuk merebut simpati publik.
Maka ketika sekarang
Khofifah gagal menjadi cagub, para pendukungnya tentu bakal menjadi rebutan.
Tetapi pilihan mereka sepertinya hanya dua: Golput atau Asal Bukan Karsa (ABK).
Maka posisi Bambang bisa jadi diuntungkan karena akan mendapat limpahan suara
pendukung Khofifah. PDI Perjuangan sendiri juga akan all out memperjuangkan
Bambang, lebih-lebih kini Taufik Kemas sudah meninggal dunia. Kalau semula
Bambang hanya jadi kuda hitam yang kurang diperhitungkan, maka kini pantas
untuk tidak diremehkan.
Dan kini, kalau
kemudian Khofifah menggugat KPU, dia ibarat menuliskan kata “bersambung” pada
halaman terakhir novel yang dilakoninya. Karsa bisa jadi tidak jenak selama
gugatan ini masih menggelinding. Khofifah masih menyimpan kartu truf dengan
sosok Herman Sumawireja yang menjadi calon wakilnya. Mantan Kapolda Jatim itu
tentu tidak akan legawa dengan kekalahan sebelum bertanding ini. Kita tunggu saja kelanjutan ceritanya.
*) HENRY NURCAHYO, penulis dan aktivis
kesenian dan lingkungan
No comments:
Post a Comment