Oleh
MUCH. KHOIRI *)
Berikut ini sekadar
secuil pengingat (reminder) untuk
saya sendiri dan teman-teman yang tertarik menulis, belajar menulis, sedang
menulis, dan akan terus menulis--serta teman-teman yang membaca tulisan
teman-teman yang tertarik menulis, belajar menulis, sedang menulis, dan akan
terus menulis. Ini tentang empat dari enam syarat bagi penulis.
****
Selain kemampuan
teknis menulis dan memasarkan tulisan--dua syarat utama bagi penulis--, penulis
masih perlu membekali (melengkapi) diri dengan empat syarat lain, yakni: Reading habit (kebiasaan membaca), Note-taking (kebiasaan mencatat), Practice (belajar/latihan), dan Perseverance (ketekunan, keteguhan
hati). Untuk mengingatnya, sebut saja “RNP2”.
READING
HABIT. Penulis yang baik biasanya juga pembaca yang baik,
yang berarti memiliki reading habit
yang baik pula. Bacaannya banyak dan bervariasi: buku, majalah, jurnal, koran.
Dengan sendirinya dia memiliki akumulasi pengetahuan dan informasi memadai. Oleh
karena itu, dia biasanya berwawasan luas.
Latar pengetahuannya
memungkinkan dia peka terhadap isu-isu kehidupan yang berkelebat dalam
masyarakat. Dalam kondisi ini, menemukan ide bukan lagi suatu masalah. Dia
tidak repot menemukan ide, namun justru repot kapan menuangkan antrean ide-ide
itu ke dalam bentuk tulisan.
NOTE-TAKING.
Penulis semacam itu juga berkebiasaan membuat catatan-catatan (note-taking habit). Selain mencatat
hal-hal penting dari yang dia baca, juga menuliskan poin-poin penting tentang
apa yang dia dengar, lihat, sentuh, rasakan, pikirkan. Dia sadar, daya-ingat
otak manusia itu amat terbatas; karena itu, dia butuh mencatat apa pun yang
baginya layak dicatat (atau sangat bermanfaat).
Bisa jadi sebuah
inspirasi, ide/gagasan, pemikiran muncul ketika dia naik bis, berkemah, ikut
diskusi, belajar, menonton film, cangkrukan, atau bahkan saat berada di toilet
pun. Maka, dia pun selalu membuat catatan di dalam ‘buku saku’, kawan setianya.
Buku saku inilah yang
dia gunakan juga untuk menampung calon tulisan yang terpaksan harus tertunda
pembuatannya. Buku saku akan menjadi reminder
(pengingat) atas konstruk gagasan yang seharusnya dituangkan ke dalam tulisan.
PRACTICE.
Penulis yang sejati selalu berlatih dan berinovasi. Dia selalu menganggap
proses kreatifnya sebagai proses latihan, dan latihan itu harus dilakukan
secara ajek, rutin, penuh disiplin.Dia mirip pemain
sepakbola atau petinju. Pemain sepakbola Brazil Pele selalu berlatih rutin,
walau dia sudah mencapai “bintang legendaris dunia”-nya. Andaikata dia berhenti
berlatih selama dua tahun lamanya misalnya, tentu kakinya akan terasa kaku,
kekuatan larinya menurun, akurasi tendangannya merosot, badannya mungkin
sakit-sakitan.
Demikian pun, petinju
Mike Tyson, yang pernah melegenda itu, mungkin badannya kaku-kaku, otot-ototnya
mengecil dan melemah, atau mungkin “leher beton”-nya menjadi agak empuk setelah
sekian lama dia meninggalkan latihan rutinnya. Nah, demikian pula dengan
menulis.
PERSEVERANCE.
Kebiasaan membaca, mencatat, dan latihan tanpa lelah ternyata belum cukup.
Semua ini perlu dilengkapi lagi dengan perseverance (ketekunan, keteguhan
hati). Ini bukan saja untuk saat berkutat dengan proses penulisan, melainkan
juga saat mengirimkan dan menunggu penerbitan naskah.
Menulis untuk dimuat
(termasuk ke koran) itu penuh spekulasi. Kadang-kadang banyak tulisan yang
dimuat, namun tak jarang jumlahnya sangat minim. Ujian datang ketika sekian
banyak artikel terkirim, ternyata tidak ada satu pun yang layak muat.
Dalam kondisi
demikian penulis seakan-akan dibanting-banting oleh keadaan. Penulis ini tentu
kecewa karena idenya tak tersalurkan, dan “biaya produksi menulis” tak
tertutup. Banyak penulis yang frustasi karenanya. Akibatnya, mereka pensiun
menulis dan menekuni “pekerjaan lain” yang secara instan lebih menjanjikan imbalan.
Itulah penulis yang
perseverance-nya rendah, atau bisa disebut sbagai penulis yang tak tahan
banting. Waspadalah! Jangan tauladani jenis penulis semacam itu. Sebaliknya,
seperti seorang wiraswastawan tangguh, penulis yang hebat selalu kuat
menghadapi penolakan, dan segera bangkit dan bangkit lagi jika jatuh di dalam
meraih impian.
Begitulah, empat
syarat bagi penulis di atas memang sepatutnya penulis sanubarikan selama dia
masih ingin menjadi penulis. Dengan pemenuhan syarat ini, dia berpeluang
menjadi penulis yang baik, dan/atau meniti bidang menulis sebagai profesi
(tambahan).
Sebagaimana
"profesi" lain, menulis tentu akan memupuk intelektualitas, dan
sekaligus memberikan keuntungan-keuntungan lain, termasuk keuntungan finansial.
Tanpa pemenuhan syarat di atas, agaknya dia tak akan bisa menjadi penulis baik
dan hebat. Kalau pun sempat jadi penulis (pemula), mungkin dia akan mirip
seperti bunga mawar yang layu sebelum berkembang.***
*) MUCH.
KHOIRI, dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Inggris, FBS, Unesa.
No comments:
Post a Comment