Oleh PRATIWI
RETNANINGDYAH *)
Ada yang sudah pernah
nonton film The Reader? Dalam film ini, Kate Winslet melakonkan peran sebagai
Hanna, seorang wanita yang terancam dihukum berat dalam kasus pembantaian
ratusan orang di kamp Nazi Jerman. Michael, mahasiswa hukum yang pernah
ditolongnya dan sempat menjadi teman dekatnya meyakini ada satu kondisi yang
akan membebaskan Hanna dari vonis berat. Sayangnya, Hanna sendiri menolak
mengungkapkan ini, karena dia anggap sebagai aib moral. Aib itu adalah
kenyataan bahwa dia tidak bisa membaca. Pengakuan ‘krisis literasi’ dalam
hidupnya ini diyakini Hanna sebagai sumber jatuhnya harga dirinya di mata
masyarakat. Itulah sebabnya Hanna melakukan serangkaian defence mechanism untuk
menjaga harga dirinya sebagai orang yang tidak bisa membaca. Dalam perjalanan
cerita, Hanna memang akhirnya belajar membaca selama di tahanan. Salah satu
mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris pernah menggunakan novel The Reader
karya Bernard Schlink (1995) dan mengangkat tema pentingnya membaca dalam
kaitannya dengan self-esteem. Saya hafal karena saya ikut dalam tim pengujinya.
Besarnya dampak ‘krisis literasi’ secara individu sudah
sering dibahas di dunia sastra. Celie dalam The Color Purple (1982) karya Alice
Walker menemukan literasi sebagai kekuatan untuk pemberdayaan diri. Dalam versi
filmnya, tokoh Celie dimainkan apik oleh Whoopi Goldberg. Novel dan filmnya
termasuk yang paling sering saya bahas di kelas-kelas saya dulu. Masih banyak
lagi karya sastra yang membahas pentingnya literasi dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, kita
tahu bahwa krisis literasi sebenarnya bukanlah sekedar masalah pribadi, namun
adalah tantangan sosial yang terjadi di seluruh penjuru dunia. Di negara kita
sendiri, praktis tiap hari kita mengungkapkan keprihatinan kita terhadap
rendahnya budaya membaca menulis di masyarakat Indonesia. Bolehlah kita
berpendapat bahwa bangsa kita tengah, atau bahkan sudah lama mengalami krisis
literasi. Di seluruh dunia, perhatian terhadap perkembangan literasi memang
semakin meningkat, dengan anggapan bahwa di mana-mana sedang terjadi krisis
literasi. Apakah krisis yang kita bayangkan ini memang ada, dan bila iya,
apakah dimaknai sama? Sebenarnya definisi krisis ini amat beragam, bergantung
di mana krisis itu dianggap terjadi.
Dalam buku Literacy
and Motivation (2001), Ludo Verhoeven dan Catherine E. Snow memberikan beberapa
contoh krisis literasi. Di negara-negara berkembang misalnya, istilah krisis
literasi mengacu pada pentingnya peran literasi dalam pembangunan ekonomi,
namun dihadapkan pada kondisi keterbatasan ketrampilan literasi di kalangan
masyarakat, akses pendidikan, dan tantangan dalam menerapkan sistem pendidikan
secara universal bersamaan dengan program literasi untuk orang dewasa. Bila
melihat ciri-cirinya, kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia masuk dalam
kategori ini. Sulitnya kondisi
pendidikan seperti terbatasnya jumlah guru, minimnya fasilitas, dan sulitnya
menjangkau lokasi sekolah di daerah-daerah binaan program Sarjana Mendidik di
Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3-T) menjadi bukti lebarnya
disparitas pendidikan di negara kita.
Di negara-negara
maju, dengan tingkat literasi yang tinggi, termasuk di dalamnya adalah Amerika
bagian utara (AS dan Canada) dan Eropa, krisis literasi berarti terdapatnya
ketimpangan dalam distribusi ketrampilan literasi. Hal ini disebabkan oleh
lebarnya jurang penguasaan ketrampilan literasi dalam konteks pendidikan formal
antara masyarakat imigran dan kelompok minoritas dengan populasi negara-negara
tersebut secara keseluruhan. Bahkan di negara-negara maju yang boleh dikatakan
sudah mencapai tingkat literasi yang merata, krisis literasi juga terjadi,
dalam konteks ketidak-mampuan kelompok masyarakat angkatan kerja untuk menjawab
tantangan teknologi canggih yang digunakan di peralatan-peralatan pekerjaan
untuk jenis pekerjaan kasar sekalipun. Dengan kata lain, literasi digital di
kalangan masyarakat pekerja di negara maju ada pada tingkat mengkhawatirkan.
Makna lain dari
krisis literasi adalah kondisi di mana orang-orang yang secara teknis sangat ‘literate,’
dalam artian mampu membaca buku-buku yang kompleks, malah menunjukkan gejala
aliterasi. Misalnya, anak-anak sekolah yang berprestasi terbukti menghabiskan
waktu lebih sedikit untuk membaca dibandingkan dengan anak-anak di usia sama
pada 50 tahun yang lalu; buku-buku ‘best-seller’ untuk orang dewasa tidak lagi
berupa sastra berkelas, namun adalah how-to books atau fiksi murahan; dan
diskusi atau obrolan bermutu tentang pengarang besar dan karya-karyanya sudah
digeser oleh obrolan tentang program televisi dan software komputer. Jujur saja, kondisi aliterasi seperti ini
juga terjadi di masyarakat urban di Indonesia, dengan variasi yang lain. Yang
terjadi bukanlah penurunan tingkat membaca atau pergeseran topik obrolan, namun
rendahnya kebiasaan membaca di kalangan masyarakat terdidik, terutama di
sekolah. Kalau karya sastra anak bangsa sendiri saja hampir tidak pernah
disentuh, bagaimana mau terlibat dalam obrolan cerdas tentang sastra.
Menyedihkan memang
menyadari bahwa semua makna krisis literasi di atas terjadi pada bangsa kita,
mulai hulu hingga hilir, dari daerah tertinggal hingga rumah-rumah mentereng di
kota besar. Krisis literasi yang terjadi di dunia ternyata lengkap tersedia di
masyarakat kita, mulai tingkat functional literacy yang dibutuhkan untuk
sekedar baca tulis untuk kehidupan sehari-hari dan untuk belajar di bangku
sekolah, digital literacy untuk meningkatkan posisi tawar di dunia kerja,
sampai critical literacy untuk mengasah sensitivitas dan kesadaran berkehidupan
yang manusiawi.
Upaya untuk
mengembangkan literasi memerlukan redefinisi literasi itu sendiri. Literasi
bukan hanya pencapaian kognitif, dalam arti bahwa seseorang mampu membaca dan
menulis. Pandangan ini akan cenderung membawa kita pada keyakinan bahwa
literasi adalah tanggung-jawab sekolah. Kita perlu menyadari bahwa literasi
membutuhkan komitmen secara afektif. Hanya dengan melihat makna literasi secara
holistik ini kita bisa mencetak ‘pembaca aktif,’ yang punya motivasi internal
untuk membaca, memahami kenikmatan dan manfaat yang diperoleh dari kegiatan
membaca, dan menyediakan waktunya untuk membaca dalam keseharian. Literasi yang
bernafaskan komitmen afektif sebenarnya adalah bagian dari pemikiran bahwa
literasi adalah praktik sosial, yang mengandung nilai-nilai, perasaan, dan
perilaku individu/masyarakat. Literasi sebagai praktik sosial, sebagai
vernacular practice memiliki berbagai fungsi, untuk mengatur kehidupan
sehari-hari, komunikasi personal, kesenangan pribadi, dokumentasi kehidupan
pribadi, pemaknaan diri dan lingkungan, dan partisipasi sosial. Hanya dengan melihat literasi sebagai satu
praktik sosial kita bisa menemukan faktor-faktor sosial budaya yang
mempengaruhi motivasi baca-tulis, untuk kemudian bisa membentuk (kembali) peran
literasi untuk meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat.
Kehadiran media dalam
kehidupan sehari-hari memang mengubah hidup kita secara drastis. Lalu bagaimana
kita menyiasati krisis literasi , sementara dalam keseharian kita terpapar pada
media? Dunia berbasis web 2.0 seperti sekarang ini sebenarnya malah membuka
banyak peluang. Sebagai orang yang sering mengamati karya seni dalam bentuk
film dan dan artefak budaya lain seperti iklan dan acara TV, saya termasuk yang
percaya bahwa ada konvergensi antar praktik literasi. Konsep literasi sekarang
ini sudah masuk ke third wave, dengan istilah New Literacy Studies (NLS).
Literasi tidak hanya terbatas pada printed form, namun juga dalam bentuk media
digital. Itulah yang kemudian membuat Cultural dan Media Studies semakin
beririsan dengan Literacy Studies.
Pemanfaatan media
untuk critical engagement justru sangat dianjurkan dalam proses belajar
mengajar sekarang ini, terutama dengan kondisi bahwa mayoritas siswa sekolah
(terutama di masyarakat urban) sudah menjadi digital natives. Di sisi lain,
guru-gurunya masuk dalam golongan digital immigrants. Untuk bisa memenangkan
hati mereka, memotivasi mereka untuk cinta literasi, satu-satunya cara adalah
memahami cara berpikir 'digital' mereka, bukan sebaliknya, memaksa siswa masuk
ke dunia 'primitif' guru-gurunya. Bukankah akan sangat menarik bila
siswa/mahasiswa diajak berdiskusi tentang film atau media apapun dan melatih
mereka menuliskan pandangan kritis mereka. Tidak masalah nantinya mau
dituangkan bentuk print atau digital (mis. blogging).
Media dan teknologi
hadir tidak untuk mengganti buku dalam bentuk cetak, namun melengkapi
pengalaman pembelajaran tatap muka. Ini juga untuk merespon kebutuhan tiap anak
dalam gaya belajar yang pasti berbeda. Pemahaman guru tentang kecerdasan
majemuk akan bisa memperkaya metode dan strategi pembelajaran yang dilakukan di
kelas. Contoh yang saya amati di kelas English di sekolah Ganta, versi novel
dan film sama-sama dinikmati dan dibahas di kelas. Pada akhirnya, siswa tetap
dituntut menghasilkan sesuatu dalam bentuk tulisan.
Dalam kaitannya
dengan digital literacy, di lapangan sebagian guru/dosen sebenarnya malah
membukakan pintu teknologi bagi sebagian (maha)siswa. Semua bergantung pada
masanya. Setidaknya itu yang saya alami dulu. Saya pertama kali menggunakan
milis untuk forum diskusi kelas sastra saya pada tahun 2005. Tidak terlalu
jalan, karena banyak yang masih belum punya email, dan tidak ngeh dengan forum
milis. Pada tahun-tahun berikutnya, saya mulai pakai blog untuk posting bahan
kuliah dan forum diskusi. Lumayan lancar dan engaging, meski sebagian tidak
punya akun, sehingga harus nunut akun temannya bila mau posting. Saat
penggunaan Facebook menjamur, saya menambah jalur, dengan menggunakan FB group
khusus untuk forum diskusi. Pada titik ini, rasanya lumayan lancar jaya dan
interaktif. Saya kira karena model mahasiswanya sudah beda banget. Model yang
terakhir ini nampaknya yang sudah digital natives. Bahan obrolan di FB group
malah kemudian bisa memperkaya diskusi di kelas, atau sebaliknya, menjadi
tindak lanjut pembahasan di kelas yang belum tuntas.
Sebagai guru, kita
memang harus merangkul model pembelajaran konvensional dengan model digital.
Seberapa cinta saya dengan penggunaan teknologi dalam pembelajaran, saya masih menikmati romantisme memegang novel
untuk mengajar kelas Prose misalnya. Rasanya nikmat ketika bisa memegang
bukunya, membaca kalimat-kalimat indah dan imajinatif untuk menghidupkan
suasana dramatis dan memancing diskusi,
serta tidak ribet dengan powerpoint.
Pembelajaran yang
holistik sudah menjadi keniscayaan. Pertanyaannya, siapkah kita sebagai guru
menjawab tantangan ini?
*)
Penulis adalah dosen sastra dan budaya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris
Universitas Negeri Surabaya. Saat ini menempuh studi S3 di bidang Cultural
Studies di the University of Melbourne
No comments:
Post a Comment