Dari rumah,
Rabu (12/12) kemarin saya memang berniat nyambangi
gelar kuliner yang dihelat adik-adik mahasiswa Prodi Tata Boga, PKK di kampus Unesa
Ketintang. Karena itu, selepas salat Dhuha di masjid kompleks Marinir
Gunungsari, saya kulo nuwun via BBM (BlackBerry Massenger) kepada yang mbaurekso jurusan PKK, sahabat saya. Sorela.
Saya dan teman-teman alumni Unesa biasa akrab
dengan sapaan Sorela untuk Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd, Ketua Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini. Saya
juga japri beberapa teman yang ketika saya pantau di grup milis Ganesis (milis
untuk keluarga besar Unesa) sehari sebelumnya yang berencana berkunjung ke even yang dihajatkan mengajari
mahasiswa berwira usaha.
Banyak menu yang disajikan dalam pameran kuliner ini. Di antaranya, nasi boranan (khas Lamongan), nasi krawu (khas Gresik), nasi goreng khas Kota Batu, nasi jagung, bakso bakar, dawet khas Pleret, es siwalan, rujak cingur, nasi pecel Madiun, dan sejumlah menu khas dari beberapa daerah lainnya.
Banyak menu yang disajikan dalam pameran kuliner ini. Di antaranya, nasi boranan (khas Lamongan), nasi krawu (khas Gresik), nasi goreng khas Kota Batu, nasi jagung, bakso bakar, dawet khas Pleret, es siwalan, rujak cingur, nasi pecel Madiun, dan sejumlah menu khas dari beberapa daerah lainnya.
Kali pertama
saya bertemu Mas Eko Prasetyo setelah beberapa saat menyantap sebungkus ketan
intip dan es dawet karya adik-adik mahasiswa. Tanpa babibu, adik kelas saya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia (JBSI)
Unesa ini langsung menyeret saya ke deretan stan pameran yang menempati
selasar/lorong gedung jurusan PKK itu. Begitu sampai deretan stan yang berjarak
(yang terdekat) hanya 2 m itu, mas Eko langsung "nembak saya" dengan
ucapan, "Mas Hartoko, izinkan kali ini saya mentraktir Njenengan. Mau apa saja silakan, monggo."
Ya, hari-hari ini Mas Eko yang sehari-hari sebagai editor bahasa di koran Jawa Pos dan superaktif menulis ini memang tengah menuai kebahagiaan, krn barusan berulang tahun (ber-Ultah). Dengan pertimbangan ikut mangayubagyo Ultah-nya, saya manut saja. Pilihan saya akhirnya jatuh pada penganan khas Gresik, nasi krawu dan es siwalan (bukan sialan, hehehe). Sementara Mas Eko mantab mengambil nasi geghog.
Ya, hari-hari ini Mas Eko yang sehari-hari sebagai editor bahasa di koran Jawa Pos dan superaktif menulis ini memang tengah menuai kebahagiaan, krn barusan berulang tahun (ber-Ultah). Dengan pertimbangan ikut mangayubagyo Ultah-nya, saya manut saja. Pilihan saya akhirnya jatuh pada penganan khas Gresik, nasi krawu dan es siwalan (bukan sialan, hehehe). Sementara Mas Eko mantab mengambil nasi geghog.
Nasi geghog mirip nasi kucing di Yogyakarta. Dengan
dibungkus daun pisang, porsi nasi geghog cukup mini. Sekitar tujuh kali suapan
saja habis. Nasi ini diberi nama geghog karena bisa bikin perut mengghag-mengghog alias melilit karena tekstur
pedasnya. Ya, dengan lauk hanya ikan teri, nasi geghog menawarkan sensasi pedas
luar biasa. Dari seorang mahasiswi yang menjaga stan diperoleh informasi, bahwa
cabe untuk bumbunya memang diperbanyak. Tak ayal, meski hanya porsi kecil, cukup
bisa bikin lidah kepluntir karena saking
pedasnya, kenyang dan mengghag-mengghog.
Iklan Menyesatkan
Bukan karena saya kebetulan arek Gresik sehingga harus memilh makanan khas kota pudak ini. Tetapi, itu lebih sebagai pelampiasan "kekecewaan" saya akan market guide yg "menyesatkan" yang sehari sebelumnya di-posting di milis Ganesis.
Maka, protes
keras pun langsung saya tembakkan ke Sorela begitu ketemu di arena itu, ketika
jemari kami belum lepas, masih erat bersalaman. Sorela sendiri mengaku sudah memperkirakan
bakal mendapat serbuan protes terkait “iklan” nasi karak tersebut. Namun profesor
asli Tuban ini segera menimpali, bahwa itu bagian dari gimik pemasaran. Hmmm...enak aja, hehehe.
“Maaf …maaf, Mas Har ….” kata Sorela sembari tertawa ngakak.
“Maaf …maaf, Mas Har ….” kata Sorela sembari tertawa ngakak.
Apa gerangan
yang memantik kekecewaan atas “iklan menyesatkan" itu? Di milis Ganesa sehari
sebelumnya di-posting dan
diperbincangkan salah satu menu khas di even itu yang menarik perhatian dan
minat saya, yakni sego (nasi) karak.
Ketertarikan itu karena saya anggap unik juga, hare gene, di zaman modern ini, nasi karak masih ditransaksikan secara umum,
di kalangan terpelajar lagi.
Bayangan
saya langsung melesat ke masa kecil, sebelum atau saat berada di sawah. Nenek
dan ibu saya dulu kerap bikin nasi
karak sebagai sarapan sebelum ke sawah. Nasi karak berbahan baku nasi sisa atau
bahkan tak jarang sudah basi. Nasi sisa itu dijemur sampai kering nglinthing. Setelah kering, dibersihkan
(dipususi, Jawa), baru ditanak (didang).
Saat matang,
sekilas memang kelihatan seperti nasi biasa
pada umumnya. Hanya saja, warnanya agak
mangkak dan lebih kemrotok. Nasi
karak yang sudah matang itu lalu dicampur dengan parutan kelapa dan garam
secukupnya. Menu "spesial" ini pun siap dihidangkan untuk disantap.
Lawuhnya bisa krupuk atau ikan asin. Itulah persepsi saya tentang nasi karak.
Di milis Ganesai pun beberapa teman mendiskripsikan nasi karak seperti itu.
Tetapi, bagaimana kondisi di arena pameran? Ketika saya tanya beberapa "pramuniaga" yang menjaga stan ihwal nasi karak, mak deg ... ternyata saya kecele campur kecewa. Saya menjumpai apa yang oleh penjualnya dilabeli nasi karak, ternyata tak ubahnya dengan nasi urap-urap dengan lauk ayam bumbu, tahu, tempe, dan sebagainya.
Tetapi, bagaimana kondisi di arena pameran? Ketika saya tanya beberapa "pramuniaga" yang menjaga stan ihwal nasi karak, mak deg ... ternyata saya kecele campur kecewa. Saya menjumpai apa yang oleh penjualnya dilabeli nasi karak, ternyata tak ubahnya dengan nasi urap-urap dengan lauk ayam bumbu, tahu, tempe, dan sebagainya.
Memang ada yang
khas pada nasi yang dikemas dalam kotak plastik/mika itu, yakni ada sedikit tambahan
parutan kelapa di atasnya. Menurut adik-adik mahasiswa yang menjaga stan, menu
tersebut namanya memang nasi karak, makanan khas Progolinggo.
Oalaaaa ...seje deso mowo geni, eh mowo coro, batin saya. Kasus ini memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya prakondisi atau orientasi pada objek sasaran sebelum melakulan atau mengeksekusi sesuatu. Saya tidak bisa membayangkan, kalau itu terjadi pada seorang pemimpin atau komandan yang tidak jelas dalam memberikan arahan atau perintah kepada anak buah atau pasukannya, pasti hasil dan dampaknya berantakan.
Setelah memesan beberapa menu (yang pasti bukan nasi karak yang dipamerkan), saya bersama Mas Eko menikmatinya di tenda lesehan yang disiapkan panitia. Kami memilih tenda kecil di bagian depan (sisi barat), tepi jalan. Sebab, tenda lesehan berukuran besar di bagian dalam sudah penuh sesak pengunjung. Lagi pula, yang makan umumnya adik-adik mahasiswa, cewek-cewek semua lagi. Sungkan kalau ikut ngruntel.
Oalaaaa ...seje deso mowo geni, eh mowo coro, batin saya. Kasus ini memberikan pelajaran kepada kita akan pentingnya prakondisi atau orientasi pada objek sasaran sebelum melakulan atau mengeksekusi sesuatu. Saya tidak bisa membayangkan, kalau itu terjadi pada seorang pemimpin atau komandan yang tidak jelas dalam memberikan arahan atau perintah kepada anak buah atau pasukannya, pasti hasil dan dampaknya berantakan.
Setelah memesan beberapa menu (yang pasti bukan nasi karak yang dipamerkan), saya bersama Mas Eko menikmatinya di tenda lesehan yang disiapkan panitia. Kami memilih tenda kecil di bagian depan (sisi barat), tepi jalan. Sebab, tenda lesehan berukuran besar di bagian dalam sudah penuh sesak pengunjung. Lagi pula, yang makan umumnya adik-adik mahasiswa, cewek-cewek semua lagi. Sungkan kalau ikut ngruntel.
Tak seberapa
setelah saya menyantap nasi krawu, Mas Abdur “Roy” Rohman datang bergabung.
Pria lembut dan pintar mendesain untuk buku ini pun ikut bareng-bareng wisata kuliner setelah sebelumnya memilih menu
kesukaannya. Dalam hitungan menit, kemudian dating juga sahabat saya, Moch.
Khoiri, dosen bhasa Inggris di Unesa yang biasa saya sapa emcho.
Rasa kecewa saya mendadak hilang dan terobati begitu di "panggung hiburan" yang menampilkan musik elekton dan sejumlah artis dadakan yang “aduhai” saling pasang aksi. Tak terasa, kaki dan kepala saya ikut bergerak-gerak mengikuti irama musik dangdut yang mereka lantunkan.
Rasa kecewa saya mendadak hilang dan terobati begitu di "panggung hiburan" yang menampilkan musik elekton dan sejumlah artis dadakan yang “aduhai” saling pasang aksi. Tak terasa, kaki dan kepala saya ikut bergerak-gerak mengikuti irama musik dangdut yang mereka lantunkan.
Suasana lebih
seru ketika beberapa penyanyi yang datang dari adik-adik mahasiswa pengunjung
pameran terdengar sumbang/fals suaranya dalam beraksi. Ada pula yang salah
mengambil nada, termasuk yang gak pas masuknya (mendahului musik). Karuan sejumlah pengunjung teriak-teriak,
"Mudhuuuuuun ...mudhuuuuuun ....(Turuuuuuun …turuuuun….)"
Itu isyarat
agar yang sedang bernyanyi segera mengakhiri atau turun panggung. Meski demikian, kami toh bisa gayeng menikmati
suasana siang itu. Terbukti, emcho yang sebelumnya merasa penat karena beban
pekerjaannya, dengan leko-nya
berjoget ria di arena itu.
Ketintang: Kamis, 13 Desember 2012
pengin ngincipin jadinya
ReplyDeletepengin ngincipi jadinya
ReplyDeleteWah, sayangnya itu event yg gak ada saban dino, Cak. Tapi klo nasi krawu, bsa setiap sua'at, hehe
ReplyDelete