Dalam beberapa tahun terakhir, saya
merasa alergi membaca berita-berita di media cetak terkait aksi terorisme. Saya
benar-benar alergi, karena umumnya media massa seperti telah mengerdilkan
fungsinya sebagai penyedia informasi yang berimbang untuk publik pembacanya. Bahkan,
tak jarang media massa "memosisikan" dirinya menjadi corong
dan sarana propaganda bagi aparat kepolisian dalam memberangus aksi terorisme.
Akibatnya,
alur dan sumber informasinya pun cenderung
satu arah, yakni dari kepolisian. Wartawan -- ini tentu terkait editorial policy-- cenderung tidak mau susah-susah mencari sumber
berita untuk menyajikan informasi secara komplet dan berimbang untuk memenui
asas cover both side. Sumber-sumber yang berseberangan dengan kepolisian, khususnya dari pihak yang dituduh sebagai pelaku teror, tak terakomudasi secara maksimal.
Namun pagi ini, Rabu, 14 November 2012, entah, sambil nyruput teh setengah panas, mata saya seolah terhipnotis tampilan Jawa Pos (JP) pada halaman 1. Mata saya tidak tertuju pada judul head line (HL) JP yang terbit hari ini, tetapi tarsandara pada second HL yang berjudul "Polri-TNI Siaga di Ponpes Bermasalah".
Namun pagi ini, Rabu, 14 November 2012, entah, sambil nyruput teh setengah panas, mata saya seolah terhipnotis tampilan Jawa Pos (JP) pada halaman 1. Mata saya tidak tertuju pada judul head line (HL) JP yang terbit hari ini, tetapi tarsandara pada second HL yang berjudul "Polri-TNI Siaga di Ponpes Bermasalah".
Meski hanya second HL, sejatinya berita tersebut tersaji melebihi HL. Selain
materi berita, JP melengkapinya dengan grafis dan dua foto mencolok, berupa pendataan santri Pondok Pesantren (Ponpes)
Darul Akhliya' di salah satu desa di Nganjuk, Jatim dan Kapolda Jatim Irjen
Hadiatmoko yang memeragakan gerakan "meninju" sarana berlatih bela diri
di Ponpes tersebut.
Jujur saya tdk mempermasalahkan tindakan aparat kepolisian, khususnya jajaran Polres Nganjuk (sesuai lokasi kejadian perkara) dan Kodim 0810 Nganjuk, karena itu memang tugas mereka dalam upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, khususnya sekitar Ponpes tersebut.
Jujur saya tdk mempermasalahkan tindakan aparat kepolisian, khususnya jajaran Polres Nganjuk (sesuai lokasi kejadian perkara) dan Kodim 0810 Nganjuk, karena itu memang tugas mereka dalam upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, khususnya sekitar Ponpes tersebut.
Namun, sebagai
penikmat informasi yg kebetulan juga pernah menggeluti jurnalistik, apa yang
disajikan JP makin membuat saya alergi dengan berita-berita yang oleh aparat
keamanan --dan diperkuat media massa-- seputar aksi terorisme dan atau yang
berpotensi sebagai pemicu aksi terorisme.
Namun, kali
ini mata dan pikiran saya tergiring untuk merekam kata demi kata yang tersaji dalam
berita tersebut. Dan benar, berita tesebut memang ditulis cukup panjang (untuk
ukuran hard news) dengan beragam
sumber berita. Namun sayang, tak satu pun kata tertulis bersumber dari Ponpes yang tengah
dipermasalahkan tersebut.
Sebagai
mantan wartawan, naluri jurnalistik saya menyatakan, kalau saja berita tersebut
dilengkapi informasi dengan sumber dari
kalangan Ponpes tersebut, tentu akan jadi berita yang berimbang dan menyajikan
menu berita yang lengkap. Di situ banyak santri yang dievakuasi (sebagaimana
terlihat dalam foto), mengapa tidak diwawancarai? Juga pimpinan Ponpesnya, kok tidak
diberi kesempatan untuk bersuara?
Gresik, 14 November 2012
Suhartoko
No comments:
Post a Comment