Tuesday, November 13, 2012

Ketika Media Harus Bersikap



Dalam beberapa tahun terakhir,  saya merasa alergi membaca berita-berita di media cetak terkait aksi terorisme. Saya benar-benar alergi, karena umumnya media massa seperti telah mengerdilkan fungsinya sebagai penyedia informasi yang berimbang untuk publik pembacanya. Bahkan, tak jarang media massa  "memosisikan" dirinya menjadi corong dan sarana propaganda bagi aparat kepolisian dalam memberangus aksi terorisme.

Akibatnya, alur  dan sumber informasinya pun cenderung satu arah, yakni dari kepolisian. Wartawan  -- ini tentu terkait editorial policy-- cenderung tidak mau susah-susah mencari sumber berita untuk menyajikan informasi secara komplet dan berimbang untuk memenui asas cover both side. Sumber-sumber yang berseberangan dengan kepolisian, khususnya dari pihak yang dituduh sebagai pelaku teror, tak terakomudasi secara maksimal.

Namun pagi ini, Rabu, 14 November 2012, entah, sambil nyruput teh setengah panas, mata saya seolah terhipnotis tampilan Jawa Pos (JP) pada halaman 1. Mata saya tidak tertuju pada judul head line (HL) JP  yang terbit hari ini, tetapi tarsandara pada second HL yang berjudul "Polri-TNI Siaga di Ponpes Bermasalah".

Meski hanya second HL, sejatinya berita tersebut tersaji melebihi HL. Selain materi berita, JP melengkapinya dengan grafis dan dua foto mencolok,  berupa pendataan santri Pondok Pesantren (Ponpes) Darul Akhliya' di salah satu desa di Nganjuk, Jatim dan Kapolda Jatim Irjen Hadiatmoko yang memeragakan gerakan  "meninju" sarana berlatih bela diri di Ponpes tersebut.

Jujur saya tdk mempermasalahkan tindakan aparat kepolisian, khususnya jajaran Polres Nganjuk (sesuai lokasi kejadian perkara) dan Kodim 0810 Nganjuk, karena itu memang tugas mereka dalam  upaya menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi masyarakat, khususnya sekitar Ponpes tersebut.
Namun, sebagai penikmat informasi yg kebetulan juga pernah menggeluti jurnalistik, apa yang disajikan JP makin membuat saya alergi dengan berita-berita yang oleh aparat keamanan --dan diperkuat media massa-- seputar aksi terorisme dan atau yang berpotensi sebagai pemicu aksi terorisme.

Namun, kali ini mata dan pikiran saya tergiring untuk merekam kata demi kata yang tersaji dalam berita tersebut. Dan benar, berita tesebut memang ditulis cukup panjang (untuk ukuran hard news) dengan beragam sumber berita. Namun sayang, tak satu pun kata tertulis  bersumber dari Ponpes yang tengah dipermasalahkan tersebut.

Sebagai mantan wartawan, naluri jurnalistik saya menyatakan, kalau saja berita tersebut dilengkapi  informasi dengan sumber dari kalangan Ponpes tersebut, tentu akan jadi berita yang berimbang dan menyajikan menu berita yang lengkap. Di situ banyak santri yang dievakuasi (sebagaimana terlihat dalam foto), mengapa tidak diwawancarai? Juga pimpinan Ponpesnya, kok tidak diberi kesempatan untuk bersuara?


Gresik, 14 November 2012
Suhartoko

No comments:

Post a Comment

Gresik Baru, Manut Kiai, dan Jebakan Serimoni

Oleh SUHARTOKO Jika awal pemerintahan Kabupaten Gresik -- di bawah kepemimpinan Bupati Fandi Akhmad Yani (Gus Yani) dan Wakil Bupati Amina...

Popular Posts