Sebenarnya, kajian pagi itu membahas
tentang Pluralisme Agama yang titik tekannya mengupas perbedaan aqidah di
antara agama yang ada.
Namun pada sesi tanya jawab, salah
seorang jamaah menanyakan kasus Syiah dan Sunni di Sampang,
Madura, apakah berkaitan dengan persoalan aqidah atau tidak. Spontan saya jawab
bahwa akar persoalannya adalah masalah aqidah.
Ternyata jawaban saya ini diprotes
oleh jamaah lain yang tidak setuju mengaitkan kasus tersebut dengan masalah
aqidah. Sebab menurutnya, aqidah Syiah dan Sunni sama saja, tidak ada
perbedaan.
Kemudian ia mengajukan beberapa
argumen untuk memperkuat pendapatanya itu. Di antaranya, pertama ia
menyebutkan bahwa Arab Saudi masih menganggap Syiah memiliki aqidah yang benar.
Buktinya, negara petro dolar tersebut masih mengizinkan orang Syiah berhaji di
sana. Menurutnya, kalau Syiah berbeda aqidah, tentu Arab tidak akan mengijinkan
orang-orang Syiah berhaji. Ia juga mengatakan bahwa para ulama hadits
Sunni terbukti banyak mengambil perawi dari Syiah. Ia menyebutkan sekitar 100 perawi
Syiah yang dipakai dalam kitab-kitab hadits Sunni.
Dengan kedua alasan itulah ia
kemudian menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan antara Syiah dan Sunni
dalam masalah aqidah. Karena itu ia tidak setuju jika orang Syiah dinilai
berbeda aqidah dan poisisinya sama dengan orang non-Muslim.
Menjawab argumen tersebut, saya menjelaskan bahwa kedua hal itu sudah dijawab oleh para ulama dan cendekiawam Sunni.
Menjawab argumen tersebut, saya menjelaskan bahwa kedua hal itu sudah dijawab oleh para ulama dan cendekiawam Sunni.
Pertama, berkaitan dengan kaum Syiah yang diijinkan berhaji, karena
mereka masuk ke Saudi paspornya menggunakan identitas Muslim. Tentu saja Saudi
tidak akan menolak orang yang mengaku Muslim masuk ke kota Makkah dan Madinah.
Lain ceritanya jika mereka menggunakan identitas agamanya dengan nama Syiah
atau Imamiyah, tentu ada penolakan dari pihak petugas di bandara.
Padahal dalam kitab-kitab Syiah,
ulama mereka menyebut agamanya dengan nama agama Imamiyah. Sebagai contoh,
Baqir al-Majlisi yang dikenal sebagai Syaik as-Syuduq (w. 381 H) menyebut
agamanya (Syiah) dengan sebutan agama Imamiyah. Ia mengarang buku khusus
berjudul Al-I’tiqodat Din al-Imamiyah. Dalam kitab ini Syaikh As-Syuduq
menjelaskan secara tuntas tentang aqidah Syiah yang berbeda dengan aqidah Ahlu
Sunna wal Jamaah.
Hal ini juga diakui oleh At-Thusi
(w.460 H) dalam kitabnya al-Farsht hal. 189 dan Rahib al-Asfahani dalam
kitabnya ad-Dari’ah ila Makarimi Syariah, juz II, hal. 226.
Pengakuan kedua ulama Syiah ini
cukup menjadi bukti bahwa istilah agama Imamiyah sudah sangat dikenal bahkan
menjadi aqidah di kalangan Syiah. Karena itu tidak salah jika kita 8menyebut
Syiah sebagai agama Imamiyah, bukan Islam. Penyebutan ini berdasar pengakuan
mereka sendiri, bukan mengada-ada.
Taqiyah
Kalau mau jujur, seharusnya kaum
Syiah yang pergi ke Makkah mencantumkan nama Imamiyah dalam paspornya ketika
masuk Saudi, bukan Islam. Namun, jika mereka tidak melakukan hal itu, ini bisa
dimaklumi, karena mereka memiliki ajaran Taqiyah.
Taqiyah didefinisikan oleh salah
seorang ulama Syiah, Muhammad Jawaad Mughniyah, sebagai berikut:
"Taqiyah yaitu kamu mengatakan atau melakukan (sesuatu), berlainan dengan
apa yang kamu yakini untuk menolak bahaya dari dirimu atau hartamu atau untuk
menjaga kehormatanmu" (Muhammad Jawaad Mughniyah, As Syi'ah fil
Mizaan, hal : 48)
Ajaran Taqiyah ini merupakan bagian
dari aqidah Syiah. Al-Kulaini menisbahkan kepada Imam Ja’far Shodiq yang
berkata "Wahai Abu Umar sesungguhnya sembilan persepuluh (sembilan
puluh persen) agama ini terletak pada (akidah) Taqiyah, dan tidak ada agama
bagi orang yang tidak melakukan Taqiyah. Taqiyah ada pada setiap sesuatu
kecuali di nabidz (korma yang direndam dalam air untuk membuat arak) dan pada
menyapu khuuf (kaus atau kulit).
" Dan dinukilnya juga dari Abi Abdillah ia
berkata : "Jagalah agama kalian dan tutuplah agama itu dengan Taqiyah, karena
tidak ada iman bagi orang yang tidak mempunyai Taqiyah." (Usul al-Kafi,
hal: 482-483).
Berdasar dalil di atas, Syiah
memandang Taqiyah itu sebagai fardu (wajib), sebab tidak akan berdiri
mazhab ini kecuali dengan Taqiyah, dan mereka menerima pokok-pokok mazhab secara
sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Mereka selalu melaksanakannya Taqiyah
saat kondisi sulit mengepung mereka.
Kedua, berkaitan dengan perawi Syiah yang ada di kitab-kitab Sunni,
juga dijelaskan oleh para ulama bahwa hal itu dilakukan oleh para muhaditsin
dalam rangka memperkuat posisi hadits tersebut. Paea ulama hadits memang
sengaja tidak mengambil dari perawi Sunni seperti Imam Malik, Imam Syafi’i,
Imam Ahmad, atau bahkan Imam Ja’far as-Shadiq karena memiliki pemahaman yang
sama dengan para ulama hadits seperti Bukhari dan Muslim. Hadits-hadits yang
dikeluarkan oleh para Imam tersebut sependapat dengan hadits para muhaditsin.
Periwayatan dari para imam tersebut
hanya sedikit yang diambil oleh para muhaditsin. Contohnya, Imam Bukhari yang
tidak lain adalah murid Imam Ahmad, hanya sedikit mengambil periwayatan dari
gurunya tersebut. Hal yang sama juga mereka berlakukan terhadap para imam
lainnya.
Tetapi jika mereka mengambil
periwayatan dari orang yang tidak sepaham, tentu hal ini akan menjadi bukti kuat
bahwa hadits yang dikeluarkan adalah benar dan sahih.
Inilah rahasia kenapa para imam
hadits Sunni mencari periwayatan dari orang-orang yang dianggap Syiah,
Khawarij, Nasibi dan sebagainya. Namun penerimaan tersebut dengan syarat-syarat
tertentu, yaitu riwayat yang dikemukakan tidak dalam rangka mendukung golongan
mereka dan tidak menyeru orang lain masuk kelompoknya. (As-Sakhowi, Fatkhul
Mughis, juz I, hal. 332). Jika hal itu terjadi, para muhaditsin
tidak akan menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ahli bid'ah seperti itu.
Inilah salah satu kejelian para
ulama Islam. Mereka sengaja menggunakan metode seperti itu agar hadits yang
diriwayatkan tidak dicela di kemudian hari. Bisa jadi orang-orang di luar Sunni
akan menolak hadits-hadits Sunni jika hanya diriwayatkan oleh ulama Sunni
sendiri.*
*) Bahrul Ulum adalah Peniliti pada Institut
Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya
Sumber: hidayatullah.com, Rabu, 5
September 2012
No comments:
Post a Comment