
JAKARTA - IGImedia
Komisi X DPR RI menyetujui program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dikaji ulang. Penegasan ini dikemukakan sejumlah fraksi besar di Komisi X seperti Fraksi PDIP, Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS, dan Fraksi Gerindra. Program ini dianggap banyak terjadi penyimpangan di masyarakat. “Saya setuju SBI dikoreksi. SBI hanya menjadi market label. Subtansinya tidak memiliki mutu berkelas internasional,’ tegas Dedy Gumelar yang akrab disapa Miing dalam dengar pendapat bersama Ikatan Guru Indonesia (IGI), Selasa (8 Maret 20110).
Menurut Dedy, dialah orang pertama di parlemen yang menolak diberlakukannya SBI. “Sejak tiga bulan duduk di parlemen, saya sudah menolak program ini,” tandasnya. Hingga kini program ini dianggap semakin tidak jelas. Apalagi system tes Cambridge disalahartikan sebagai kurikulum internasional. Di lapangan, konsep SBI bahkan semakin tidak jelas. Selama ini banyak sekolah baik dengan kualitas siswa berkelas dunia tanpa harus dilabel sebagai sekolah internasional. Sekarang ini, semua sekolah, tanpa memiliki kualitas dilabel sebagai internasional.
Sementara itu, Rohmani dari Fraksi PKS menyatakan konsep pendidikan SBI juga tidak menumbuhkembangkan potensi siswa. Padahal, sejatinya pendidikan itu mengembangkan potensi anak agar mampu menjadi dirinya sendiri. “Tugas pemerintah adalah memastikan anak-anak ini mengembangkan pendidikan. Pendidikan itu kan hanya mengembangkan potensi dan itu belum dilakukan pemerintah,’ tandas Rohmani.
Rohmani bahkan mempersoalkan masuknya siswa miskin ke sekolah-sekolah SBI. “Seberapa siswa miskin masuk ke SBI. Jika tidak banyak, maka ini distorsi. Saya melihat pola pendidikan kita yang harus ditata secara keseluruhan, sehingga yang model begini tidak terjadi. Tidak dikotakkan seperti SBI ini,” tandasnya.
Dalam kesempatan itu, sejumlah guru juga memberikan testimony bagaimana program SBI ini bisa menjerumuskan pendidikan ke arah yang lebih buruk. Itje Chotidjah, guru yang sering diminta mengajari guru-guru SBI belajar bahasa Inggris, mengaku sedih dan prihatin.
“Guru-guru SBI itu hanya belajar bahasa Inggris dalam lima hari dan mereka disuruh mengajar materi pelajaran dalam bahasa Inggris. Padahal hasil riset Jim Cummins, ahli bahasa dari University of Toronto (Kanada) menunjukkan kemampuan berbahasa untuk kegiatan sosial (Basic Interpersonal Communication Skills (BICS) ) perlu belajar dua tahun. Sedangkan untuk kegiatan belajar-mengajar akademik (Cognitive Academic Language Proficiency (CALP)) diperlukan lima hingga sepuluh tahun,” tegasnya.
BICS adalah kemampuan bahasa yang diperlukan dalam konteks sosial, misalnya percakapan dengan teman, transaksi jual beli di pasar, jamuan makan di restoran, dan lainnya. Percakapan sosial ini banyak memiliki petunjuk-petunjuk non-verbal (seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh, dan objek acuan) dan tidak begitu memerlukan aspek kognitif secara dominan. Sedangkan CALP lebih mengacu kepada bahasa yang digunakan pada konteks pembelajaran akademik formal, yang meliputi kegiatan membaca, menulis, mendengar dan berbicara dalam sesuai dengan kaidah keilmuan tertentu, misalnya ilmu fisika, biologi, sosiologi, dan seni suara.(her)
Sumber: IGImedia
No comments:
Post a Comment