
BOJONEGORO - Kasiyem (55 thn), warga asal Desa Kalianyar, Kecamatan Kapas, Bojonegoro, Jawa Timur, adalah pedagang beras yang sering mengirimkan beras ke Bali. Belakangan, ia tertarik berdagang pupuk, karena berharap keuntungan lebih besar dibanding jika hanya menjual komoditas pangan tersebut.
Dari berita di media massa, menurut dia, Bupati Bojonegoro Suyoto pernah menyatakan, pupuk dari luar boleh masuk ke Bojonegoro. Yang dilarang adalah membawa keluar pupuk dari Bojonegoro ke daerah lain. Saat terjadi kelangkaan pupuk, ia memanfaatkan kesempatan meskipun mengaku tidak memiliki Delivery Order (DO).
"Saya ini membeli pupuk dengan uang hasil utangan, tidak mencuri," kata Kasiyem, di Lapas Bojonegoro, Selasa, 4 Januari 2011.
Menurut pengakuannya, pada tahun 2009 ia membeli berbagai jenis pupuk, mulai Urea, ZK, juga pupuk produksi Kaltim di Bali. Ia memanfaatkan kendaraan setelah secara rutin mengirim beras ke Bali.
Saat berdagang pupuk, Kasiyem mengaku sudah mengeluarkan sedikitnya Rp 100 juta. Berdagang pupuk itu pula yang menyeretnya ke pengadilan karena tindak pidana hingga ke tingkat kasasi dan berakhir pada putusan eksekusi untuk menjalani hukuman kurungan atau penjara. Mahkamah Agung menetapkan, Kasiyem harus menjalani hukuman penjara tiga bulan 15 hari.
Menurut seorang petugas di Lapas Bojonegoro, Kasiyem menghadapi dua kasus. Satu kasus lainnya diputus MA, juga dengan hukuman penjara tiga bulan 15 hari dengan masa percobaan.
"Seingat saya ada lima truk pupuk yang saya datangkan ke Bojonegoro dan semuanya ditangkap polisi," kenang Kasiyem.
Menghadapi masalah itu, Kasiyem mengeluhkan permasalahannya tersebut ke berbagai pihak. Keluhan itu tak terkecuali juga ia sampaikan dalam dialog Jumat di Pendopo Pemkab Bojonegoro.
Bupati Bojonegoro, Suyoto mengaku, ia tahu kasus Kasiyem dalam masalah pupuk tersebut sejak awal. "Karena ketika itu pupuk langka, saya membantu yang bersangkutan dengan mendatangi kejaksaan dan meminta pupuknya dikembalikan," jelas Suyoto.
Menghadapi keputusan MA itu, Kasiyem mengaku tidak terima dan takut kalau harus menjalani hukuman penjara. Menurut dia, pedagang pupuk seperti dirinya cukup banyak di Bojonegoro, tapi hanya dia yang masuk penjara.
Lalu dicarilah seseorang yang bisa membantunya. Kasiyem akhirnya bertemu dengan seorang pengacara bernama Hasnomo.Kasiyem mengungkap, dalam perjanjian itu, Hasnomo sanggup menolong dirinya agar tidak masuk penjara dengan memberi imbalan uang Rp 22 juta."Bagaimana caranya saya tidak tahu," ujarnya.
Kasiyem mengaku menandatangani berita acara eksekusi di Kantor Kejaksaan Negeri Bojonegoro, tepatnya pada tanggal 27 Desember 2010.
Hanya saja, ketika di depan lapas, dirinya yang semobil dengan staf Kejari bojonegoro, Widodo Priyono, tidak masuk ke lapas. Sebab, Hasnomo sudah membawa joki napi Karni (51), warga Desa Leran, Kecamatan Kalitidu, yang memperoleh imbalan uang Rp 10 juta dari Hasnomo.
Hasnomo menemukan Karni lewat seorang perantara yang bernama Angga."Saya tahu itu keliru," ucapnya.
Karni pun masuk sel di lapas, setelah menjalani registrasi, dengan cap jempol, bukan tanda tangan. Masuknya joki napi Karni tersebut, terungkap pada tanggal 31 Desember 2010, ketika ada seseorang yang menjenguk dan mengetahui Karni ternyata bukan Kasiyem.
Menanggapi kasus itu, Bupati Bojonegoro, Suyoto menyatakan, kasus joki napi tersebut bukanlah kasus mafia hukum besar sebagaimana yang dibayangkan kebanyakan orang. Masalah itu muncul, hanya karena keluguan Kasiyem yang takut dipenjara dan Karni yang terbentur kesulitan ekonomi.
"Baik Kasiyem dan Karni semuanya lugu, orang yang tidak tahu tentang seluk-beluk mafia hukum," katanya menjelaskan.
Yang jelas, sebagaimana diungkapkan Kepala Divisi Pemasyaratan Kanwil Kementerian Hukum Jawa Timur, Djoko Hikmahadi, kejadian munculnya kasus joki napi di Lapas Bojonegoro, bisa menjadi pembelajaran bagi berbagai pihak terkait di bidang hukum.
"Ini modus baru, selama 20 tahun bertugas, belum pernah saya temui ada kasus joki napi," katanya ketika di Bojonegoro.
Pembenahan yang perlu dilakukan, menurut dia, perlu dilakukan, baik kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lapas. Setidaknya mereka harus tahu sejak awal proses penanganan kasus dan orang yang terlibat harus dilengkapi dengan foto dan identitas lainnya. (KR-SAS/D009/A038)
Sumber: antaranews, Rabu, 5 Januari 2011
No comments:
Post a Comment