
(Refleksi 9 Tahun Partai Keadilan Sejahtera: 2007)
Oleh SUHARTOKO
DALAM jagat perpolitikan Indonesia, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) termasuk pendatang baru. Namun, sebagai pelanjut Partai Keadilan (PK) yang lahir di tengah euforia reformasi pasca-lengser-nya pemerintahan Orde Baru pimpinan Soeharto, PKS mampu menorehkan prestasi spektakuler, yang pada Pemilu 2004 masuk peringkat ketujuh dengan menempatkan 45 kadernya di kursi DPR dan 1.060 lainnya tersebar di DPRD provinsi dan kota/kabupaten se-Indonesia. Dikatakan spektakuler, karena pada Pemilu 1999, embrio PKS, yakni PK hanya memperoleh tujuh kursi DPR, 26 kursi DPRD provinsi, dan 163 kursi DPRD kota/kabupaten.
Dalam skala nasional, PKS yang kini memasuki usia 9 tahun memang cukup diperhitungkan. Dengan kekuatan 45 kursi di DPR --di bawah Partai Golkar (129 kursi), PDIP (109 kursi), PPP (58 kursi), Partai Demokrat (57 kursi), PAN (53 kursi), dan PKB (52 kursi)--, PKS hadir sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan di gedung senayan. Jargon “Bersih” dan Peduli” terpatri begitu kuat dan melandasi etos gerakan perjuangan para kadernya.
Dan, publik pun mengakui, bahwa PKS didukung oleh kader-kader yang relatif bersih dari perilaku negatif dan memiliki tingkat kepedulian tinggi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa. Ini bisa dibuktikan dengan mencermati kinerja para kader yang relatif tanpa cacat dan aksi-aksi sosial-kemasyarakatan mereka bersama simpatisan PKS di penjuru tanah air, tak terkecuali di Jawa Timur (Jatim). Kiprah mereka dalam melayani masyarakat dan bangsa tak perlu diragukan lagi.
Reputasi positif ini jika dikelola dan dikembangkan secara optimal, tentu merupakan modal berharga untuk melaju meraih simpati publik atau calon konstituen dalam menyongsong Pemilu 2009 mendatang. Meski harus diakui, tantangan yang harus dihadapi PKS dalam sisa dua tahun --menjelang Pemilu 2009— tidaklah ringan. Sebab, menjaga atau mempertahankan reputasi atas prestasi yang telah diraih selama Pemilu 2004 sungguh lebih berat ketimbang saat meraihnya.
Membaca Peluang Jatim
Bagaimana kalkulasi politik PKS di Jatim dan peluangnya dalam meraih simpati masyarakat pada Pemilu 2009? Agak susah menjawabnya. Peluang dan tantangan/ancaman harus beradu dan diuji untuk meraih kepercayaan masyarakat. Meskipun nama besar PKS di tingkat nasional tak perlu diragukan lagi, hal itu tidak bisa serta-merta berlaku di Jatim.
Secara kultural masyarakat Jatim umumnya masih sulit diterobos dan dirangkul untuk bergabung membangun dan membesarkan PKS, meskipun harus diakui, kepedulian PKS Jatim dalam menggelar aksi-aksi sosial di masyarakat bukan tanpa hasil. Gerakan PKS sepertinya lebih terasa di kawasan perkotaan dan belum banyak menjangkau pedesaan.
Partai ini juga lebih dikenal sebagai partai kawula muda terpelajar atau kalangan kampus dan kurang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Demikian pula aspek-aspek non-sosial kemasyarakatan (yang justru lebih banyak jumlah dan massanya) sepertinya tak banyak disentuh oleh PKS. Bahkan ada yang menganggap, gerakan PKS identik dengan organisasi kemasyarakatan atau keagamaan, bukan partai politik.
Mengapa gerakan mesin politik PKS di Jatim begitu kurang terasa gaungnya? Ada beberapa indikator yang bisa dijadikan acuan untuk menganalisisnya, baik secara internal maupun eksternal. Jika perolehan kursi di DPRD Jatim dianggap sebagai representasi masyarakat pemilih Pemilu di provinsi ini, maka porsi yang diambil PKS masih jauh dari ideal. Sebab, dari 100 anggota dewan hasil Pemilu 2004, wakil PKS di DPRD Jatim hanya tiga orang (3%), yakni Ust. Rofi Munawar, Ust. Muhammad Siraj, dan Ustd. Ahmad Subhan.
Dengan kekuatan yang hanya tiga orang itu, secara matematis agak berat bagi PKS untuk bisa mewarnai institusi legislatif tersebut. Apalagi, secara struktural ketiga kader wakil PKS di DPRD Jatim tersebut tidak bisa memiliki fraksi sendiri, sehingga untuk membentuknya harus bergabung dengan wakil partai lain. Konsekuensinya, di parlemen Jatim PKS tidak bisa tampil total dalam menyuarakan perjuangan partai dan konstituennya, karena terbentur oleh etika dan komitmen politik dengan partai lain yang sefraksi. Kondisi ini jauh berbeda dengan kekuatan di tingkat nasional, yang karena bisa membentuk fraksi sendiri, memiliki posisi tawar (bargaining position) cukup kuat dan terbuka peluang untuk menyuarakan aspirasi dan perjuangan partai lebih leluasa.
Hal lain yang perlu dicermati, sebagian pemilih PKS pada Pemilu 2004 berasal dari konstituen yang kecewa dengan partai-partai “tua” (baca: Partai Golkar, PDIP, dan PPP) dan pemilih pemula (umumnya dari massa mengambang) yang aspirasi politiknya tergolong masih coba-coba.
Konstituen yang kecewa dengan partai “tua” menjatuhkan pilihan kepada PKS, selain karena simpati, mereka berharap hadirnya partai baru dengan jargon “Bersih dan Peduli” itu, mampu memperbaiki dan mengubah kondisi yang mengalami krisis multidimensi. Sementara pemilih pemula yang umumnya berasal dari massa mengambang, pilihan politik ke PKS boleh jadi karena coba-coba dan belum teruji loyalitas mereka. Pada Pemilu 2009 mendatang, sangat mungkin dua kelompok pemilih yang pada Pemilu 2004 diprediksi menyumbangkan suara cukup signifikan, akan berhitung ulang setelah melihat kinerja partai dan kadernya, baik di tingkat nasional maupun lokal.
Indikator lain yang mesti diantisipasi dan disikapi kader dan pimpinan PKS Jatim adalah kuatnya kesan publik tentang eksklusivitas partai ini. Kesan ini menimbulkan kegamangan publik yang belum atau tidak terbiasa dengan kultur dan gaya PKS, sehingga sulit diajak bergabung. Kesan PKS yang eksklusif ini diperkuat oleh etos para kadernya dalam gerakan yang tampak kurang maksimal dalam menggarap simpatisan baru. Mereka terkesan kurang agresif berburu kader atau simpatisan, dan cenderung memilih bermain dengan komunitas yang ada dalam “wilayahnya” sendiri, tanpa dibarengi gereget mengembangkan sasaran dan jangkauan dakwah yang lebih luas.
Stigma Partai Dakwah yang identik dengan Islam --sebagaimana dikuatkan dalam visi dan misi PKS-- berpotensi mengebiri langkah kader untuk menerobos dan menggaet simpatisan dari kalangan non-Muslim. Dengan demikian, akselerasi untuk menarik simpatisan baru dalam ruang yang lebih luas sulit dilakukan. Akibatnya, gerakan partai ini terkesan jalan di tempat. Apalagi, hasil pooling yang dilakukan beberapa lembaga riset independen mengindikasikan tren menurun partai berbasis Islam dalam meraih simpati massa, setidaknya telah “memprovokasi” sebagian masyarakat non-kader dan non-simpatisan, sehingga makin mengambil jarak dengan PKS.
Revitalisasi Gerakan
Meski beberapa indikator sebagaimana dipaparkan di atas menjadi titik lemah dalam mengawal perjuangan dan dakwah partai, peluang wakil-wakil PKS di DPRD dan para kadernya di Jatim untuk menyuarakan aspirasi sesuai dengan garis perjuangan partai tidaklah tertutup sama sekali. Citra sebagai partai yang “Bersih dan Peduli” masih berpeluang sebagai alat penarik simpati publik.
Hanya saja, di tataran praksis perlu dikembangkan dan diciptakan varian-varian kegiatan yang beragam dan secara langsung bisa dirasakan masyarakat, tanpa meninggalkan program kerja yang telah dicanangkan dan menjadi trade mark partai. Sebab bagi masyarakat, yang penting adalah bukti, bukan janji, bukan pula tebar pesona tanpa realisasi.
Untuk maksud ini, perlu revitalisasi gerakan partai yang implementasinya harus direalisasikan secara taat asas (konsisten/istiqomah) dan amanah oleh kader-kader PKS di lapangan. Hal ini bisa dilakukan, selain memperbanyak varian kegiatan juga perlu memperluas target sasaran dan ruang dakwah, serta aspek kehidupan masyarakat guna memaksimalkan rekrutmen kader dan simpatisan baru.
Sudah waktunya ghirah perjuangan kader-kader PKS dikembangkan dengan tidak hanya bermain “di kandang sendiri”, tetapi berani keluar menembus segmen sasaran dakwah dan aspek yang lebih luas dengan tetap berpijak pada visi, misi, garis perjuangan, dan plat form yang ditetapkan partai. Dengan memperluas segmen sasaran dakwah, serta memperhatikan heterogenitas masyarakat dengan berbagai kompleksitasnya, PKS Jatim masih berpeluang tampil gemilang pada Pemilu 2009. Dan, sisa waktu dua tahun ini seharusnya dimanfaatkan untuk mengonsulidasikan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki kader-kader PKS.
Kesan eksklusif terhadap PKS yang selama ini melekat pada sebagian besar masyarakat Jatim secara bertahap perlu diminimalisasi lewat program-program yang mampu menjangkau atau dijangkau oleh berbagai elemen masyarakat secara luas. Dengan membuka diri terhadap masuknya “orang luar”, peluang menghapus kegamangan dan keengganan masyarakat untuk bergabung dengan PKS makin terbuka. Pada gilirannya, PKS akan mampu menjaring simpatisan secara maksimal.
Pemilu 2009, meski masih dua tahun lagi digelar, sesungguhnya bukanlah waktu yang panjang untuk melakukan konsulidasi organisasi. Ini tantangan berat bagi PKS Jatim. Karena itu, dalam kerangka melakukan revitalisasi terhadap gerakan dakwah, sudah waktunya PKS memperbanyak jaringan dengan membentuk sejumlah organisasi sayap untuk memperkuat dan memacu mesin politik.
Pembentukan organisasi sayap –sebagaimana dilakukan partai-partai besar lain seperti Partai Golkar, PDIP, PPP, Demokrat, PAN, dan PKB-- dimaksudkan untuk menciptakan basis massa yang selama ini tidak dimiliki PKS. Organisasi sayap bisa dibentuk berdasarkan pengelompokan massa atau juga bisa berdasarkan profesi tertentu. Di antaranya, organisasi sayap yang khusus menangani kepemudaan, kewanitaan, petani, nelayan, buruh, tukang becak, guru, dokter, pengusaha, dan sebagainya. Mereka dihimpun dalam sebuah organisasi khusus yang afiliasinya didesain untuk mendukung gerakan PKS. Jika ini dilakukan, akselerasi untuk menciptakan basis massa akan membuahkan hasil maksimal, yang pada gilirannya akan mempercepat pengembangan PKS di Jatim.
Rangkul Media Massa
Untuk memaksimalkan kinerja tiga kader PKS yang kini duduk di kursi DPRD Jatim dan 36 kader lainnya di DPRD kota/kabupaten di wilayah Jatim, perlu langkah taktis dan strategis. Kalau perlu dibentuk tim asistensi untuk menggali dan mengelola isu sebagai bekal mereka menjalankan tugas legislatif.
Sementara untuk mengoptimalkan peran kader PKS di dewan dan mempercepat pengomunikasian pesan ke masyarakat, perlu berkolaborasi dengan media massa, baik media cetak maupun elektronik. Ini penting dilakukan untuk menutup keterbatasan jumlah sumber daya manusia (SDM) yang secara kuantitatif hanya berjumlah 39 orang.
Penulis yakin, jika mereka mampu memanfaatkan media massa yang memiliki daya jangkau sangat luas, minimnya kader PKS di dewan bukan jadi halangan berarti untuk mengail simpati masyarakat. Dan, jika para kader anggota legislatif tersebut mau agresif memanfaatkan media massa, peran nyata mereka tidak akan tenggelam dalam pusaran institusi dewan.
Seperti diketahui, media massa dengan jaringan distribusi dan daya jelajah yang luas terbukti efektif dalam penyampaian informasi kepada masyarakat. Informasi apa saja, asal memiliki nilai berita (news value) tinggi atau menarik (human interest), peluang untuk dipublikasikan sangat kuat. Tidak hanya itu, media massa juga memiliki kekuatan untuk memengaruhi dan membentuk opini publik, terutama terhadap masalah-masalah yang memiliki keterkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Para jurnalis (wartawan) pasti akan memburu sumber berita yang kapabel dan mampu mengomunikasikan informasi secara akurat, lugas, dan cepat. Ini yang mesti diantisipasi oleh PKS Jatim.
Peluang ini rupanya ditangkap secara cerdik oleh dua dari tiga kader PKS di DPRD Jatim, yakni Ust. Rofi Munawar dan Ust. Muhammad Siraj. Keduanya secara tangkas mampu menangkap momentum dan meresponnya secara cepat lewat statemen-statemen lugas yang mengundang simpati masyarakat. Bahkan, secara cerdas keduanya juga menjalankan perannya sebagai intelektual yang mampu menuangkan pikiran dan gagasan mereka dalam bentuk tulisan.
Ini bisa dilacak dengan mencermati artikel-artikel mereka yang tersebar di sejumlah koran besar yang beredar di Jatim, seperti Jawa Pos, KOMPAS, dan Surya. Dibanding anggota DPRD Jatim lainnya, keduanya termasuk penulis paling produktif. Potensi tersebut perlu terus dikembangkan dan ditularkan kepada kader-kader lainnya di DPRD kabupaten/kota yang tersebar di Jatim. Kalau perlu mereka diperkuat oleh tim yang secara khusus bertugas mengelola dan memasok isu yang akan dikomunikasikan lewat media massa.
Pola komunikasi dengan mamanfaatkan jasa media massa akan lebih lengkap jika PKS tidak hanya mengandalkan kader-kadernya di dewan yang kebetulan memiliki akses ke media massa dan jurnalisnya. Lebih dari itu, PKS juga harus mengembangkan dan mengoptimalkan peran public relation (PR) di seluruh jajaran, baik di tingkat DPW, DPD, maupun DPC, termasuk yang langsung menyentuh lapisan masyarakat level paling bawah.
Karena itu, sudah selayaknya momentum Milad ke-9 PKS tahun ini dijadikan sebagai sarana untuk mengevaluasi dan merefleksi diri agar ke depan peran serta kontribusi positif dalam melayani masyarakat lebih optimal. Koreksi terhadap kekurangan dan membuka diri terhadap peluang perbaikan merupakan keniscayaan untuk menyongsong Pemilu 2009. Diharapkan, posisi PKS yang di tingkat nasional berdiri sebagai partai yang diperhitungkan dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan bangsa, berimbas pada pengembangan partai ini di Jatim. Dirgahayu, PKS Jatim!
No comments:
Post a Comment