

Oleh SUHARTOKO
KALANGAN pengamat dan praktisi industri properti di tanah air berkeyakinan, 2007 merupakan era kebangkitan kembali, bahkan re-booming pasar properti setelah sepanjang 2006 mengalami lesu darah. Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) yang menjadi barometer bisnis properti di Indonesia telah membuktikannya.
Setidaknya, tanda-tanda bangkitnya kembali pasar properti khususnya perumahan, sudah terlihat pada triwulan I tahun ini. Angka penjulan produk properti seperti perumahan dan apartemen mengalami peningkatan signifikan, Bahkan ada yang mengklaim angka kenaikannya mencapai 90% hingga 100% per bulan. Angka penjualannya mencapai ratusan unit rumah per proyek (KOMPAS, 16 Maret 2007).
Membaiknya pasar tersebut tak lepas dari situasi makroekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, juga nilai tukar rupiah, yang menunjukkan tren positif. Pada tataran teknis, terus menurunnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) yang sudah menyentuh single digit mulai berimbas pada penunan bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Selain itu, penumpukan pasar properti akibat penundaan pembelian 2006 dan tahun-tahun sebelumnya, menjadi stimulus pendongkrak pasar realestat tahun ini.
Bagaimana di Jawa Timur (Jatim)? Lain Jabodetabek lain pula Jatim. Meski logika ekonomi seharusnya membuat pasar produk properti, khususnya perumahan, laris manis, namun kenyataan di lapangan berkata lain. Besarnya potensi pasar di sentra-sentra pengembangan perumahan belum berbanding lurus dengan daya serap pasar. Kalau di Jabodetabek terjadi lonjakan penjualan dengan angka cukup fantastis mencapai 90% hingga100%, di Jatim justru sebaliknya, terjadi penurunan rata-rata lebih dari 50%.
Penurunan ini tak lepas dari kuatnya “teror” bencana semburan lumpur akibat pemboran minyak oleh PT Lapindo Brantas di Porong, Sidoarjo yang sudah berlangsung hampir setahun. Meski bencana Lumpur Lapindo itu hanya merendam beberapa desa di Kec. Porong dan Tanggulangin, namun dampaknya berpengaruh terhadap kinerja pengembang di Jatim, khususnya di Sidoarjo. Sebab, sekitar 60% lokasi pengembangan perumahan di Jatim berada di Sidoarjo.
Kuatnya gelombang informasi tentang bencana lumpur Lapindo yang bersumber dari kajian teknis para ahli geologi –bahkan ramalan paranormal— menggoreskan citra negatif bagi pasar Sidoarjo secara keseluruhan. Terjadi generalisasi dalam pencitraan dampak bancana tersebut. Pada gilirannya, calon konsumen perumahan pun memilih menahan diri dalam membeli dan berinvestasi realestat di Sidoarjo. Sebagian bahkan melirik ke daerah tetangga SIdoarjo seperti Mojokerto dan Gresik.
“Teror” informasi bencana lumpur Lapindo memang telah mengalahkan logika pasar. Bayangkan, proyek-proyek perumahan yang berada dalam radius lebih dari 10 km dari pusat semburan Lumpur, seperti di Sidoarjo kota hingga perbatasan dengan Surabaya yang jaraknya lebih dari 20 km harus menerima dampak negatif berupa stagnasi pasar. Padahal di lapangan, radius sebaran lumpur hanya beberapa kilometer. Namun, ibarat nasi sudah menjadi bubur, citra negatif yang telanjur melekat pada pasar Sidoarjo membuat pelaku bisnis, termasuk para pengembang, kelimpungan.
Meski demikian, jika dicermati sebenarnya bencana lumpur Lapindo menyimpan potensi pasar baru di kawasan Sidoarjo dan sekitarnya. DPD REI Jatim mencatat, terdapat sekitar 7.500 keluarga kehilangan rumah akibat bencana lumpur Lapindo. Sementara PLN Distribusi Jatim melaporkan kehilangan 14.000 pelanggan akibat bencana tersebut. Itu artinya, di balik musibah itu terdapat potensi pasar baru paling tidak 10.000 unit rumah.
Para pengembang perumahan kini memang dalam posisi kurang menguntungkan. Ibarat sepak bola, para pemain dari perusahaan realestat benar-benar mendapat tekanan hebat dengan pola permainan terdikte total oleh pemain lumpur Lapindo. Bagaimana menyiasati pasar yang berada dalam tekanan semacam itu?
Membalik Stigma
Beberapa agenda program dan langkah teknis bisa dilakukan. Di antaranya, secara teknis mesti terus dilakukan upaya untuk menghentikan semburan lumpur dari perut bumi. Sementara secara non-teknis perlu dilakukan penyebaran informasi tandingan untuk memulihkan citra negatif terhadap iklim investasi di Sidoarjo.
Artinya, mesti ada gerakan untuk membalik stigma pencitraan dari negatif ke positif. Untuk maksud ini sambil menunggu upaya penghentian semburan lumpur, Pemkab Sidoarjo, Pemprov Jatim, maupun pemerintah pusat secara terus-menerus berkampanye, bahwa investasi di Sidoarjo masih bisa dilakukan tanpa harus dihantui bencana lumpur Lapindo.
Ini bisa dilakukan dengan menggandeng Kadin sebagai induk asosiasi perusahaan dan asosiasi-asosiasi profesi yang berkompeten dengan pengembangan bisnis di Sidoarjo. Tak kalah pentingnya, pemulihan citra (image recovery) juga bisa dilakukan dengan melibatkan media massa untuk mengurangi kepanikan pasar. Karena itu, perlu dibangun persepsi yang sama dengan pengelola media massa untuk membangkitkan kembali iklim investasi di Sidoarjo yang kini stagnan.
Di sisi lain, pengembang mesti berani mengambil risiko bisnis di antaranya lewat program buy back guarantee plus kepada calon user. Ini perlu dilakukan untuk memberikan keyakinan kepada calon pembeli, bahwa membeli rumah di kawasan perumahan di Sidoarjo secara ekonomis tetap menguntungkan. Sebab, kalau toh bencana Lumpur sampai merambah perumahan yang mereka beli, pengembang akan mengembalikan seluruh dana yang terbayar plus return sebagai jaminan investasi yang dialokasikan sesuai format yang disepakati.
Selain itu, even-even pameran secara periodik juga mesti dilakukan, bahkan kalau bisa frekuensinya ditingkatkan. Demikian juga iklan di media massa perlu dilakukan untuk menjaring dan menaklukkan pasar, sehingga besarnya potensi pasar yang ada tidak sia-sia.
Membangun kembali jaringan investasi yang telanjur hancur dan merebut lagi pasar yang hilang akibat “teror” lumpur Lapindo memang perlu kerja keras dan waktu. Optimisme pemerintah, pengembang, juga investor mesti dibangkitkan untuk menjadikan Sidoarjo kembali sebagai idola dalam berinvestasi, khususnya di sektor perumahan. Kalau lumpur Lapindo terbukti mampu melakukan aksi “teror” terhadap kinerja bisnis, untuk membangkitkan kembali prospek bisnis di Sidoarjo perlu “pasukan antiteror” yang secara khusus dan terus menerus melakukan aksi tandingan.(*)
No comments:
Post a Comment