
Oleh SUHARTOKO
BESARNYA komitmen pemerintah kota (Pemkot) Surabaya untuk mendorong percepatan pembangunan rumah-rumah susun (vertical housing) di wilayahnya perlu mendapat apresiasi dan dukungan maksimal dari para pemangku kepentingan (stake holder) kota ini. Pola ini perlu dikembangkan di kota-kota lain yang kepadatan penduduknya relatif tinggi sebagai antisipasi kian terbatasnya lahan dan konsekuensi industrialisasi yang kerap memicu serbuan kaum urban.
Komitmen Pemkot Surabaya untuk mempercepat tumbuhnya pembangunan rumah-rumah susun kini ditunjukkan dengan merevisi peraturan daerah (Perda) tentang izin mendidikan bangunan (IMB). Revisi tersebut memungkinkan berdirinya bangunan tanpa batasan ketinggian. Sayang, langkah Pemkot ini berpotensi berbenturan dengan rencana penerbitan peraturan gubernur (Pergub) Jatim yang justru mengisyaratkan adanya pembatasan ketinggian suatu bangunan, termasuk rumah susun atau gedung bertingkat (Jawa Pos, 2 November 2006).
Tulisan ini tidak bermaksud masuk terlalu dalam apalagi membenturkan peluang konflik kebijakan antara Pemkot Surabaya dan pemerintahan provinsi (Pemprov) Jatim. Namun, fokus tulisan ini lebih pada membaca tren pembangunan perumahan di kota-kota besar, sekaligus potensi pasarnya, termasuk segmen yang mesti dibidik.
Sebernarnya, wacana pembangunan perumahan bertingkat yang dalam industri properti biasa dikemas dalam istilah rumah susun (rusun), apartemen, atau kondominium, sudah berkembang sejak tahun 1990-an. Bahkan, untuk “memprovokasi” pemerintah agar concern terhadap masalah tersebut, sejumlah pengembang (developer) yang tergabung dalam Realestat Indonesia (REI), termasuk yang difasilitasi DPD REI Jatim berkali-kali menimba ilmu dalam bentuk studi banding ke beberapa negara yang industri propertinya lebih maju ketimbang Indonesia.
Di antara rekomendasi yang sempat dikeluarkan oleh REI adalah mendorong dan menyemangati pemerintah untuk membangunan rumah-rumah susun di kota-kota besar yang memiliki tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi. Rekomendasi ini sebagai antisipasi terus menyusutnya luasan dan mahalnya harga tanah di Surabaya akibat maraknya pembangunan perumahan dengan konsep landed housing dan pesatnya industrialisasi dan perdagangan.
Pembangunan perumahan dengan konsep vertical housing merupakan sebuah tuntutan untuk diterapkan di Surabaya. Ini konsekuensi logis menjawab terus menipisnya stok lahan untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal warganya. Apalagi, sebagai kota besar yang menjadi serbuan kaum urban, keberadaan rumah-rumah susun tidak saja menampung warga asli Surabaya, tetapi juga mengakomodasi para pekerja yang tiap hari nglaju dari dan ke Surabaya, seperti mereka yang datang dari Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, juga Malang dan kota-kota lainnya.
Benturan Kultur
Ketika pasar apartemen (istilah rumah susun untuk segmen menengah-atas) booming di Surabaya tahun 1994/1995, sejumlah pengembang tergiur menggarap segmen pasar ini. Dalam waktu hampir bersamaan dalam periode tersebut sejumlah apartemen ditawarkan ke publik Surabaya. Maka, dalam waktu relatif singkat kita pun segera mengetahui beberapa proyek apartemen kelas A dibangun di kota ini. Di antaranya di kawasan Ngagel ada apartemen Adhistana (yang hingga kini terbengkelai akibat tergencet krisis moneter dan pengembangnya tak mampu melanjutkan pembangunan). Di kawasan Embong Malang berdiri apartemen Cystal Garden yang juga mengalami nasib serupa meski struktur gedungnya sudah berdiri kokoh.
Lalu bangunan apartemen lainnya yang sudah berdiri megah dan hingga kini dioperasionalkan, di antaranya Puncak Marina di kawasan Margorejo Indah, Royal di kawasan superblok Basuki Rahmat-Embong Malang, Grand Family di perumahan Graha Family, Paragon di Jl Mayjen Sungkono, Taman Beverly dan Puri Matahari di Jl HR Muhammad, juga apartemen Sejahtera di Kebonsari. Belakangan apartemen Metropolis di kawasan Surabaya timur (sekitar Ubaya) juga meramaikan pasar Surabaya. Demikian juga pengembang kawasan superblok City of Tomorrow (Cito) di bundaran Waru, Grup Ciputra yang juga membangun produk properti papan atas ini di Jl. Mayjen Sungkono, juga Grup Pakuwon Jati yang membangun di kawasan Surabaya barat dan Surabaya timur.
Unit-unit apartemen yang umumnya ditawarkan secara strata tittle itu serapan pasarnya tidak maksimal. Banyak unit apartemen yang dibangun di blok-blok gedung jangkung nganggur alias kosong. Tidak ada keseimbangan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga kelebihan pasok (over supply) pun tak terhindarkan.
Hal ini memancing kreativitas pengelola apartemen, hingga sempat memunculkan konsep apartel, yakni apartemen yang dikelola ala manajemen hotel. Unit-unit apartemen yang tak terserap pasar, lalu disewakan dalam satuan waktu tertentu. Tren ini sempat memantik protes para pengelola hotel yang tergabung dalam Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), karena dianggap sebagai ancaman dan menggerogoti pasar hotel. Meski secara umum pasar apartemen di Surabaya belum mampu mengimbangi besarnya pasokan, toh hal ini belum membuat jerah investor. Sejumlah pengembang masih menaruh harapan akan bangkitnya pasar apartemen seperti terjadi di Jakarta.
Berbeda dengan Jakarta yang daya serap pasar apartemennya relatif tinggi, untuk menerobos pasar Surabaya, perlu kerja ekstra. Dalam perspektif marketing, terlepas dari aspek daya beli, “menaklukkan” konsumen Surabaya agaknya butuh perjuangan, karena umumnya mereka (konsumen) dikenal kritis dan banyak pertimbangan sebelum memutuskan membeli.
Selain itu, aspek kultur punya andil besar dalam menentukan daya serap pasar apartemen. Umumnya masyarakat lebih suka tinggal di rumah yang luas plus ada halaman dan ruang keluarga, sehingga memungkinkan mereka melakukan sosialisasi secara maksimal. Mereka, terutama keluarga besar, merasa kurang nyaman tinggal di apartemen yang space-nya terbatas. Sebaliknya, mereka lebih suka tinggal di rumah dengan konsep landed housing ketimbang vertical housing.
Belum maksimalnya daya serap pasar apartemen kelas menengah-atas yang umumnya ditawarkan secara strata tittle, kiranya tak berlaku bagi rusun sederhana yang dikelola secara sewa (rusunawa). Di seluruh blok rusunawa yang berdiri di Surabaya tingkat hunian (okupansi)-nya selalu penuh. Tentu saja, relatif murahnya tarif sewa rusunawa jadi faktor penentu tingginya okupansi itu.
Fakta tersebut kiranya layak jadi pertimbangan bagi investor dan Pemkot Surabaya jika ingin mengembangkan rusun atau apartemen. Perlu penajaman segmen pasar dengan memperhatikan real market, sehingga produk yang dibangun tak sia-sia alias terserap oleh pasar secara maksimal. Tak kalah pentingnya, sistem pengelolaannya juga mesti memperhatikan sasaran pasar yang akan dibidik. Misalnya, jika hendak membidik pakerja kaum urban atau masyarakat yang kini kontrak di kawasan-kawasan padat dan kumuh, rusunawa merupakan pilihan tepat. Sementara untuk segmen menengah-atas, perlu kejelian membidik pasar dengan memperhatikan potential buyer yang ada.
Pengembang atau penyedia unit-unit apartemen seyogyanya merevisi kebijakan pemasarannya sesuai dengan potensi pasar secara realistis, bukan pasar semu. Jangan hanya karena demi mempertahankan prestise, lalu dibangun apartemen yang pada gilirannya tak terserap oleh pasar. Untuk maksud ini, Pemkot selaku institusi regulatif perlu selektif dalam menerbitkan izin pendirian apartemen.
Dalam situasi seperti sekarang ini, rencana pemerintah membangun delapan twin block rusunawa di Jatim (enam dialokasikan di Surabaya dan dua lainnya di Sidoarjo dan Gresik), merupakan pilihan realistis. Proyek senilai Rp 125 miliar yang bersumber dari APBN ini diproyeksikan menjaring para pekerja dan masyarakat menengah-bawah.
Mengembangkan permukiman dengan konsep vertical housing di Surabaya merupakan konsekuensi logis yang mesti dilakukan, baik oleh Pemkot maupun investor. Hanya saja, untuk merealisasikannya perlu kejelian dalam menentukan segmen pasar dan sistem pengelolaannya. (*)
No comments:
Post a Comment