Catatan Pinggiran SUHARTOKO
Pertengahan September lalu, tepatnya 11 September 2020, Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD
mengungkap data cukup mencengangkan. Betapa tidak, menurut dia, 92% calon
kontestan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dibiayai oleh para cukong politik.
Dampakanya, jika terpilih dan memenangkan Pilkada, kepala daerah berpotensi
melakukan korupsi kebijakan.
Dan, masih menurut Mahfud, korupsi kebijakan itu lebih bahaya ketimbang
korupsi uang. Ya, jika yang dikuropsi berupa uang atau anggaran daerah, dampak
ikutannya tak terlalu banyak dan skala cakupan masalah terdampaknya juga tak
terlalu luas. Sebaliknya, jika yang dikorupsi ihwal kebijakan, dampaknya bisa
ke mana-mana. Sebab, dalam satu kebijakan bisa menyangkut beberapa atau bahkan
banyak sektor, bergantung pada bobotnya.
Jika data yang diungkap Menko Polhukam dalam diskusi virtual bertajuk ‘Memastikan Pilkada Sehat: Menjauhkan
Covid-19 dan Korupsi’ itu benar, maka ciut dan pupuslah harapan untuk
mendapatkan kepala daerah (bupati/walikota dan gubernur) --dari hasil Pilkada
langsung dan serentak Desember 2020-- yang kredibel dan bermartabat tanpa
korupsi di dalamnya.
Jaring-jaring korupsi pun siap
menjerat dan nyrimpeti roda
pemerintahan yang terbentuk dari hasil kontestasi Pilkada. Pada gilirannya, kepala
daerah tak bisa menghindar dari tekanan yang mengharuskannya menjalankan roda
pemerintahan secara “apa adanya”, karena tersandera oleh kepentingan para pihak
yang telah membantu memuluskan jalannya kontestasi Pilkada menuju kursi
kemenangan.
Angka 92% yang diungkap
Menko Pulhukam itu memang miris dan waow
banget. Sebab, dari 100 Pilkada, misalnya, hanya akan didapatkan delapan
saja kepala daerah yang berpotensi tidak melakukan korupsi kebijakan. Sisanya
yang 92 kepala daerah, tersandera oleh para cukong politik yang telah mendanai
Pilkada dan kemudi pemerintahan pun akan mengikuti “kemauan” mereka sebagai
konsekuensi balas budi.
Ya, rezim politik balas
budi akan mewarnai, bahkan mendominasi pengelolaan pemerintahan hasil Pilkada
langsung yang dalam proses pelaksanaannya banyak bergantung pada para cukong
politik. Para cukong politik umumnya berasal dari pemilik modal atau pengusaha
besar yang telah mendanai kontestan Pilkada yang dijagokan. Maka, ketika
jagonya menang, tentu ia akan minta konsesi berupa paket kebijakan yang
mendukung dan menguntungkan bisnis mereka.
Sinyal kuat berperannya cukong politik dalam Pilkada di banyak daerah,
sebelumnya juga disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
Nurul Ghufron. Menurut hasil kajian KPK, calon kepala daerah yang didanai oleh
pihak tertentu berjumlah 82%, sedikit di bawah tengarai Menko Polhukam yang
mencapai 92%. Pihak tertentu itu tak lain dan tak bukan adalah para cukong politik
yang telah menebar jaring perangkap lewat skema sponsorship atau back up
pendanaan.
Sebaran
Pilkada
Seperti dilansir Direktorat Jenderal Otonomi
Daerah, Kementerian Dalam Negeri, Pilkada serentak yang dijawalkan 9 Desember 2020,
akan berlangsung di 270 daerah. Dari 270 daerah dimaksud, rincinya: di sembilan
daerah provinsi akan digelar Pilkada untuk memilih gubernur/wakil gubernur, 224
kabupaten akan memilih bupati/wakil bupati, dan sisanya di 37 kota untuk
memilih walikota/wakil walikota baru.
Untuk pemilihan gubernur, meliputi
Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.Terdapat dua
provinsi yang seluruh daerah kabupaten/kotanya sama sekali tidak melaksanakan
pemilihan kepala daerah pada 2020. Keduanya, yakni Provinsi Aceh dan DKI
Jakarta.
Sementara
di Jawa Timur (Jatim), pemilihan bupati/walikota akan berlangsung di 19 daerah
kabupaten/kota. Ke-19 daerah itu adalah: Kota Surabaya, Pasuruan, Blitar,
Kabupaten Gresik, Sidoarjo, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Jember, Situbondo,
Banyuwangi, Kediri, Blitar, Ponorogo, Ngawi, Trenggalek, Pacitan, dan Sumenep.
Ketika peran cukong politik sudah mewarnai calon kepala
daerah dan terjadi kesepakatan awal sejak pra-Pilkada, di sinilah peluit
penggadaian kekuasaan mulai ditiup. Secara bertahap dan masif “koalisi” ini
akan menggerogoti marwah pemerintahan yang bermartabat dan berwibawa.
Dampaknya, kontestan yang memenangi Pilkada tidak bisa leluasa menjalankan roda
pemerintahan.
Jasa yang telah diberikan oleh para cukong politik,
khususnya terkait pendanaan, membuat sang kepala daerah serba ewuh pakewuh, karena terjerat dan
tersandera oleh politik balas budi.Sang kepala daerah merasa harus membalas
budi baik para cukongnya yang telah menjadi donor dengan konsekuensi memasung
sebagian kekuasaannya sebagai manifestasi "hadiah" atau konsesi
politik yang harus diberikan.
Kalau sudah demikian, ujung-ujungnya rakyat akan menjadi
korban. Sebab, tersanderanya proses penyelenggaraan pemerintahan akibat deal-deal politik dengan cukong politik,
mau tidak mau kepala daerah harus mengembalikan modal atau mahar politis yang
sudah diterima saat proses Pilkada berlangsung. Sampai di sini, sesungguhnya
pengelolaan pemerintahan sudah tergadai. Out
put pemerintahan yang seharusnya dinikmati oleh rakyat, harus beraih dan dipersembahkan
kepada para cukong politik.
Lalu, masih layakkah kita berharap adanya pemerintahan yang kredibel dan
bermartabat dengan mengagungkan kepentingan rakyat, sementara peran para cukong
politik begitu kuat selama proses Pilkada berlangsung? Ini pekerjaan rumah besar
bangsa ini yang secepatnya harus dibedah dan dicarikan jalan keluar.
Jika hati nurani para kepala daerah sulit diketuk,
jika para kepala daerah sulit keluar dari jaring perangkap cukong politik, maka
yang bisa dilakukan adalah mengerahkan kekuatan massa (people power). Tentu ini tidak dimaksudkan sebagai pengerahan massa
untuk melakukan aksi demonstrasi anarkis, tetapi memaksimalkan partisipasi
publik atau berbagai elemen masyarakat untuk mengawal jalannya pemerintahan.
Partisipasi ini bisa berasal dari peran aktif
anggota DPRD untuk melakukan kontrol ketat terbitnya setiap kebijakan oleh
kepala daerah dan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Partisipasi juga bisa dihimpun dari peran media massa dan pengguna media
sosial, serta berbagai organisasi kemasyarakatan yang peduli dengan kemajuan
dan terciptanya pemerintahan yang kredibel, bermartabat, dan memilah
kepentingan rakyat.
Upaya-upaya menggali partisipasi publik sebagai
pengontrol dan pencegah lahirnya potensi korupsi kebijakan kepala daerah harus
terus dilakukan. Kalau tidak, maka jangan menyesal dan meratapi nasib akibat
cengkeraman para cukong politik yang memasung dan menjadi pengendali jalannya
roda pemerintahan di daerah. (*)
No comments:
Post a Comment