![]() |
Berpose bersama peserta pelatihan.menulis feature. |
Pada dasarnya, setiap orang –asal bisa berbicara plus punya kelengkapan
inderawi—pasti bisa menulis. Kalau pada kenyataannya sebagian masih susah
mempraktikannya, itu lebih banyak karena faktor pengungkit. Ya, kita belum tahu
bagaimana dan dari mana harus memulai mengungkit potensi itu hingga benar-benar
mewujud dalam bentuk tulisan dan jadi kebiasaan yang mengalir.
Kali itu saya sampaikan materi pelatihan menulis bertajuk “Memotret Jejak Ekspresi melalui Feature
(Berita Kisah)” . Mengapa jejak ekspresi yang perlu dipotret? Saya
jelaskan,setiap orang pasti memiliki jejak perjalanan kehidupan yang layak diekspresikan
dan didokumentasikan (dipotret). Dan, sebaik-baik dokumentasi adalah tulisan,
karena kelak bisa “diwariskan” atau diduplikasikan ke anak-cucu.
Biar tidak mboseni
(membosankan), teknik transfer pengetahuan dan pengalaman menulis itu lebih
banyak tersaji dalam format dialogis atau diskusi, sehingga ada semacam
jual-beli atau tukar-menukar informasi.
Suasana pelatihan pun berlangsung gayeng. Semua
merasa terlibat dan menjadi subjek dalam tiap alur dialog, serta jauh dari kesan
menggurui atau digurui.
“Saya haqqul yaqin,
Njenengan semua ini bisa menulis.
Sebab, kemampuan menulis itu paralel dengan berbicara. Karena Njenengan semua bisa ngobrol atau bicara, maka saya pastikan
juga bisa menulis. Sebab, menulis itu sama halnya berbicara yang diekspresikan
dalam bentuk tulisan. Jangan kecil hati dan ciut nyali. Kita pasti bisa! Sekarang, tinggal bagaimana kita bisa
mengungkit potensi menulis itu hingga bisa muncul ke permukaan dan jadi
pembiasaan,” kata saya memompa semangat para peserta pelatihan.
Dalam memompakan motivasi, saya memang mengadopsi slogan supporter Persebaya yang akrab dengan sapaan Bonek itu, yakni 'Satu Nyali: WANI'. Wani adalah bahasa Jawa yang berarti berani. Berani apa terkait dengan pelatihan ini? Berani memulai menulis. Berani salah, lalu berbenah diri, dan kembali menulis. Berani mengikis rasa minder (rendah diri) karena merasa tak mampu. Berani mematri komitmen untuk menulis, menulis, dan menulis.
Dalam memompakan motivasi, saya memang mengadopsi slogan supporter Persebaya yang akrab dengan sapaan Bonek itu, yakni 'Satu Nyali: WANI'. Wani adalah bahasa Jawa yang berarti berani. Berani apa terkait dengan pelatihan ini? Berani memulai menulis. Berani salah, lalu berbenah diri, dan kembali menulis. Berani mengikis rasa minder (rendah diri) karena merasa tak mampu. Berani mematri komitmen untuk menulis, menulis, dan menulis.
![]() |
Saat pelatihan menulis feature berlangsung. |
Provokator Literasi
Lima tahun silam, tepatnya 5 April 2014, saya sempat “memprovokasi” Kepala SMP Islam Terpadu (SMP IT) “Al Ibrah”
Gresik, ketika itu dijabat Ustadz M. Musyafak. Dalam obrolan ringan itu, “provokasi” yang saya sampaikan
seputar pengembangan budaya literasi.
Ini saya sampaikan karena saat itu sudah muncul embrio sebagai peletak dasar pengembangan literasi, yakni diterapkannya tiga bahasa sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
Ini saya sampaikan karena saat itu sudah muncul embrio sebagai peletak dasar pengembangan literasi, yakni diterapkannya tiga bahasa sekaligus dalam proses pembelajaran, yakni Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab.
Para murid (peserta didik) salah satu unit pendidikan di
Yayasan Al Ibrah ini sejak dini dibekali dengan fondasi berupa pembiasaan komunikasi dengan tiga
bahasa tersebut. Saya lalu menantang Ustadz Musyafak. Saya katakan, budaya literasi lisan (percakapan
trilingual) itu perlu dikembangkan dengan mengarahkan dan membimbing mereka dan
para ustadz/ustadzahnya untuk merambah ke dunia tulis-menulis.
Saya pun menyampaikan istilah khusus, yakni ‘panggung
literasi’ sebagai ajang ekspresi mereka. Panggung literasi dirancang dengan
harapan, para guru dan siswa memiliki kecakapan dan kemampuan menulis, minimal
untuk mengisi rubrikasi yang tersaji melalui majalah sekolah dan web site. Setelah itu, secara perlahan
namun pasti, mereka diarahkan untuk menulis dalam bentuk buku.
Seperti pepatah: setali tiga uang,
tumbu oleh tutup. Dengan tangan terbuka, Ustadz Musyafak menerima uluran
gagasan itu dan berniat membentuk tim khusus untuk pendampingan. Sejak
pertemuan santai dan gayeng itu, saya
kerap berkomunikasi, meski hanya via
telepon. Tujuan saya, ingin mengetahui progres tindak lanjut untuk mengawal ide
upaya pengembangan literasi itu.
“Kami sangat senang kalau ada yang peduli dengan upaya
pengembangan literasi di sekolah ini. Untuk sementara, target kami tidak muluk-muluk, lebih meletakkan dasar
atau fondasi literasi lewat pembiasaan berkomunikasi dalam proses
pembelajaran,” kata Ustadz Musyafak.
Tradisi Menerbitkan
Buku
Saya tidak mengawal secara khusus setelah gagasan saya
lempar kepada sang kepala sekolah. Saya baru tersadar ketika hadir pada wisuda
angkatan III, sekolah ini sudah menerbitkan buku keroyokan karya para siswa. Buku berisi kisah mendebarkan perjalanan siswa
yang mengikuti program Back Packer
ini berjudul My Scholl My Adventure.
Wow, keren dan sesuatu banget, menurut saya.
Sejak itu, sekolah yang berlokasi di kawasan Gresik Kota
Baru (GKB) ini mentradisikan diri menerbitkan buku setiap prosesi wisuda
digelar. Dan terakhir, ketika wisuda angkatan V dihelat di HOM Premier Hotel,
Gresik, 23 Juni 2019, SMP IT Al Ibrah Gresik kembali menerbitkan buku. Bahkan,
berbeda dari sebelumnya, kali ini dua buku sekaligus diterbitkan. Satu buku
berjudul Menilik Negeri Jiran; SMP IT Al Ibrah Gresik Goes to Malaysia karya
para siswa dan dua guru pendampingnya. Ini buku berisi oleh-oleh perjalanan studi
banding mereka ke lembaga pendidikan di Malaysia.
Satu buku lagi berjudul Menjadi
Guru itu Seru. Buku kedua ini seolah mengisyaratkan, para guru tak mau
kalah dengan anak-anak didiknya dalam menggelorakan ghirah berliterasi. Buku besutan para guru SMP IT Al Ibrah
ini seolah berebut simpati publik setelah
beberapa buku karya murid-muridnya terbit lebih dulu.
Dalam me-launching
kedua buku itu, Wakil Bupati, M. Qosim, dengan bangga mengapresiasi apa yang
dilakukan dan dicapai sekolah yang dikenal juga mampu menjadikan banyak
lulusannya hafal (tahfidz) al Quran ini. Qosim menyebut, dalam usianya yang
masih muda (baru lima tahun), SMP IT Al Ibrah telah meraih capaian luar biasa,
khususnya dalam pengembangan budaya literasi. Bahkan pada akhir tahun ajaran 2018/2019, sekolah
ini juga menempatkan salah seorang lulusannya sebagai peraih nilai UNBK terbaik
se-Kabupaten Gresik.
“Ini sangat …sangat membanggakan. SMP IT Al Ibrah memang
hebat. Terima kasih kepada pihak yayasan, para guru, wali santri dan semua
pihak yang terlibat dalam pengelolaan sekolah ini, sehingga menorehkan prestasi yang luar biasa. Sekali lagi, terima kasih,” katanya penuh semangat.
Sampai di situkah ghirah
berliterasi --lewat penerbitan buku-- Al Ibrah? Ternyata tidak! Tahun ini juga buku
baru yang diinisiasi pengurus yayasan terbit. Judulnya, Santri, Ustadz, &
Peradaban. Buku berisi bunga rampai pendidikan ini ditulis para guru (ustadz/ustadz)
di semua unit pendidikan yang dikelola Yayasan Al Ibrah Gresik. Dari sini
nampak, budaya literasi lewat penerbitan buku memang lagi tumbuh subur di Al
Ibrah.
Dan, dalam pelatihan menulis dengan genre feature yang saya kawal akhir pekan lalu, kami juga pasang
target: menerbitkan buku karya para peserta pelatihan. Untuk merealisasikannya,
pendampingan saya lakukan hingga buku yang menjadi goal akhir pelatihan, benar-benar terwujud.
Kami berharap, komitmen
menerbitkan buku ini sebagai upaya menabur benih jariyah literasi yang bisa
menginspirasi orang lain untuk melakukan hal serupa. Lebih dari itu, kami juga
berharap, aksi ini sebagai bagian dari ihtiar dakwah digital yang perlu
disebarluaskan dan ditumbuhkembangkan. (*)
Gresik, 25 Juli 2019
No comments:
Post a Comment