Kau tidak bisa
menyeberangi lautan hanya dengan menatap airnya.
(Rabindranath Tagore)
Untaian
kalimat bijak itu bisa jadi sudah berusia ratusan tahun sejak keluar kali
pertama dari bibir atau jemari Rabindranath Tagore.Tetapi,kekuatan pesan peraih
Nobel Prize in Literature tahun 1913 kelahiran Calcutta, India, 7 Mei 1861 ini
masih begitu kuat dan tak lekang oleh waktu. Pesan itu terasa abadi memotivasi saya
untuk tidak setengah-setengah dan asal-asalan dalam melakoni sesuatu. Demikian
pula terhadap upaya yang tengah saya gandrungi saat ini:mengembangkan dan
menggelorakan gerakan literasi, baik membaca maupun menulis ke berbagai lapisan
masyarakat.
Seperti
banyak disampaikan para pegiat literasi, untuk bisa menulis dengan penguasaan
materi yang bagus, diperlukan sarana pendukung dan mutlak harus dilakukan.
Sarana dimaksud berupa aktivitas membaca dan terus membaca. Dan,untuk memenuhi
hasrat tersebut,pagi ini saya sambar satu buku di rak lemari buku saya. Judul
buku setebal 442 halaman ini lumayan sangar: NATION IN TRAP dengan tagline:
Menangkal 'Bunuh Diri' Negara dan Dunia
Tahun 2020. Buku karya Effendi Siradjuddin,terbitan Esir Institue/Pustaka
Pelajar, 2012 ini masih saja menarik perhatian saya, meski sudah saya baca
sebelumnya.
Dalam
catatan epilognya (halaman 416) penulis mengungkapkan, fenomena ketidakadilan
permanen, khususnya yang melahirkan jurang kaya-miskin, merupakan akibat selalu
lebih diutamakannya pertumbuhan ekonomi ketimbang aspek pemerataan.Dalam
perspektif kehidupan ekonomi di kebanyakan penjuru dunia, selalu diberlakukan
adagium untuk lebih dahulu memperbesar kue pembangunan sebelum dibagi.
Namun
ironis, pengalaman empiris menunjukkan, betapa sebelum kue yang membesar itu
dibagi, bagian terbesarnya sudah dihabiskan oleh segelintir pemegang kunci
kekuasaan ekonomi bersama penguasa negara dan penguasa politik.Di Negara-negara
maju seperti Amerika Serikat yang berhasil meng-arrange lahirnya Washington
Consensus, retorika bahwa akan terjadi trickle
down effect jika pertumbuhan ekonomi didorong, tinggal ilusi belaka. Karena
itu, teori pertumbuhan semata,harus ditinjau ulang. Saatnya membalik paradigma dengan
mendahulukan pemerataan sambil melakukan pertumbuhan.,
Bagaimana
saya bisa mendapatkan buku tersebut? Ceritanya begini. Di sela-sela buka puasa
bersama di vip room Gedung Tani
komplek pasar induk agrobis Puspa Agro, Taman, Sidoarjo, 17 Juli 2013 lalu,
seorang sahabat lama, M. Rudiansyah mengatakan kepada saya tentang adanya buku
yang layak didiskusikan.
Alumni
ITS yang telah belasan tahun menjadi pengusaha realestat (properti) ini memang
sering mendiskusikan banyak hal dengan saya, baik masalah politik, ekonomi
khususnya terkait kebijakan sektor properti, pemerintahan, juga tak jarang
masalah-masalah sosial yang berkembang di masyarakat. Dalam momentum buka puasa
bersama itu, setengah berbisik tapi penuh antusias, pengusaha yang telah
membangun perumahan di beberapa kota ini minta saya membaca buku tersebut.
"Sha,
di mobil ada buku bagus. Wocoen dan
telaah. Nanti kita diskusikan bersama dengan teman-teman."
Mas
Rudi memang suka memanggil saya dengan sapaan 'Sha'. Itu inisial saya ketika
selama 12 tahun (1991-2002) melakoni profesi wartawan di Harian Sore Surabaya
Post, hingga koran yang pernah menjadi yang terbesar di Surabaya dan Jatim ini
akhirnya dilikuidasi. Pengelola koran ini menyatakan diri terlikuidasi setelan
anak-anak Bu Toety Aziz (alm), pemiliknya, tidak ada yang mau meneruskan
tongkat kepemimpinan di koran tersebut.
Keterlibatan
saya dalam diskusi secara intens dengan Mas Rudi telah saya lakukan, baik di
REI Jatim, asosiasi para pengembang realestat, Kadin Surabaya, juga di
forum-forum diskusi dengan teman-teman di PWI Jatim. Ia begitu antusias ingin
mendiskusikan buku karya alumni ITB yang kenyang di dunia bisnis
energi/perminyakan ini karena satu alasan: dunia dalam ancaman krisis
multidimensi. Di antaranya krisis energi global, pangan, lingkungan,
demografis, juga peradaban. Pada gilirannya, aneka krisis tersebut menjadi
ancaman dan bisa menggilas negara-negara maju dan berkembang, termasuk
Indonesia.
Maka,
setelah salat Maghrib dan buka puasa, dia mengajak saya menuju mobilnya yang
diparkir di depan Gedung Tani. Dalam hitungan detik setelah pintu kiri-depan
mobil dibuka, buku dengan warna dasar gelap dan warna tulisan merah dan putih
itu berpindah ke tangan saya. Sekilas buku tebal dengan sampul hard cover ini tampak kekar begitu mata
saya menatap kombinasi warna cover
dan judul bukunya. Saya belum membaca buku petang itu, kecuali hanya memelototi
judul dan daftar isinya.
Melihat
tebalnya buku ini sebenarnya saya agak wegah
(enggan) melahapnya. Tetapi, saya jadi tertarik setelah membaca judul dan
daftar isinya. Apalagi sebelumnya, kepada sahabat saya yang "dulur sak peguron" di Unesa, Much.
Khoiri, yang biasa saya sapa Kang Emcho ini, saya menyatakan siap jadi mualaf
literasi. Saya juga siap nyantrik dan
ngangsu kaweruh. serta mengasah keterampilan
menulis bersama komunitas Jaringan Literasi Indonesia (Jalindo). Kang Emcho
adalah kakak kelas yang juga dosen di Unesa yang kerap memprovokasi saya untuk
menulis apa saja yang saya lihat, saya rasakan, saya pikirkan, dan saya lakukan.
Maka,
mengirigi tadarus Al Quran ketika bulan suci Ramadan lalu, saya juga rutin
"menadarusi" buku NATION IN TRAP, Menangkal 'Bunuh Diri' Negara dan
Dunia Tahun 2020 yang banyak memotret berbagai krisis di dunia ini serta
analisis dan prediksinya di abad ke-21. Di sela-sela menikmati buku ini,
ingatan saya langsung melesat pada buku Global Paradox karya John Naisbitt,
terbitan 1994. Buku ini sempat menghebohkan dunia bisnis karena ketajaman
analisis dan ramalan tren bisnis di abad ke-21.
Senyampang
belum lupa, saya pun menuju lemari buku dan mencari di rak kelompok
ekonomi-politik. Beberapa detik kemudian buku tersebut saya sandingkan dengan
buku NATION IN TRAP sebagai tambahan reverensi. Kedua buku ini selanjutnya saya
masukkan ke tas kerja untuk saya baca kapan pun ketika ada peluang.
Ya,
bulan Ramadan 1434 H (2013 M) menjadi momentum bagi saya untuk aktif dalam
gerakan literasi, satu gerakan yang mendorong tumbuh dan kembangnya budaya
dengan fokus membaca dan menulis sebagai media meningkatkan peradaban bangsa.
Bersama-sama dengan para penggiat dan “laskar” literasi lainnya, saya akan
terus berkampanye akan pentingnya budaya membaca dan menulis, baik di kalangan
siswa, guru, mahasiswa, dosen, dan masyarakat pada umumnya.
Hari ini pesan Rabindranath Tagore: “Kau tidak bisa menyeberangi lautan hanya dengan menatap airnya” kembali mengiang di telinga dan pikiran saya. Ya, saya memang tidak boleh hanya memandangi air dan gelombang di pantai lantaran saya ingin menyeberangi samudera literasi. Karena itu, saya pun tidak boleh hanya sebatas berkampanye tanpa menghasilkan karya tulis. Saya harus menulis dan terus menulis. Dan, untuk bisa menulis, saya harus banyak membaca.
Gresik, 8 April 2014
No comments:
Post a Comment