Perang Melawan Pria Ginuk-Ginuk
Obah sehat.Siapa yang mau dan suka obah (bergerak), insya Alloh sehat jiwa dan raganya. Kata dokter atau orang yang peduli dengan kesehatan, obah juga bisa mencegah obisitas, memperlancar peredaran darah dan detak jantung, serta bisa mencegah berbagai jenis penyakit. Pada gilirannya, dengan obah, kita bisa menuai anugerah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Alloh SWT, yakni berupa kesehatan yang prima.
Ya,
obah sehat. Dua kata ini pula yang belakangan ini menggelayut di benak
dan memaksa saya untuk bergerak dan terus bergerak. Apa pasal? Sudah sekitar
dua tahun terakhir ini aktivitas olah raga saya praktis terhenti. Sejak saya
memutuskan stop main sepak bola, saya memilih badminton atau bulu tangkis
sebagai olah raga alternatif yang saya lakukan. Saya tidak lagi main sepak
bola, olah raga yang saya gemari sejak kecil dengan pertimbangan usia dan
menghindari cedera fisik. Dan, badminton pun lalu jadi pilihan untuk
menggantikan sepak bola karena secara teknis relatif aman.
Menggemari
badminton sebenarnya bukan pilihan utama saya. Sejak kecil, saya suka olah raga
rakyat, sepak bola. Ketika belum ada atau belum bisa membeli bola yang terbuat
dengan bahan baku plastik –sebelum akhirnya beralih ke bola orang dewasa, bola
bleter--, waktu SD saya dan teman-teman suka main dengan bola terbuat dari
gulungan pelepah dan daun pisang yang kering. Pelepah dan daun kering itu lalu
kami bentuk menyerupai bola yang bulat dan di bagian luarnya diperkuat dengan
lilitan tali-temali yang terbuat dari kulit pohon pisang yang juga kering.
Dengan bola klaras (daun pisang kering) itu saja, saya dan teman-teman
sudah senang bukan main.
Dari
bola klaras lalu beralih ke bola plastik, dan sejak SMP saya sudah akrab
dengan bola bleter (kulit). Main sepak bola (meski nggak sampai
jadi pemain top markotop dan baru sekelas atlet kampung, hehe) merupakan
kebiasaan yang “sesuatu” banget. Dan, menggilai main bola terutama saya lakukan
ketika memasuki usia SMA. Karena sepak bola lekat dengan salah satu cabang
atletik, yakni lari, saya pun doyan lari untuk melatih ketahanan fisik dan
kecepatan dalam beraksi.Omong—omong soal lari, saya dulu lumayan jago loh,
terutama untuk jarak jauh. Tak heran, ketika ujian praktik olah raga saat kelas
3 di SMAN Krian, Sidoarjo, saya yang tercepat masuk garis finish.
Main
sepak bola –meski tidak seaktif ketika SMA—tetap saya lakukan ketika saya
kuliah di IKIP Surabaya (sekarang Universitas Negeri Surabaya/Unesa) hingga
anak kedua saya, Rusydan Nur Abdillah, lahir pada 1997. Sejak saat itu saya
berhenti sepak bola dan beralih ke badminton. Sementara sepak bola hanya saya
lakukan sesekali untuk tombo kangen saja. Beralihnya main sepak bola ke
badminton itu awalnya terpaksa, karena waktu itu ada lomba antar-RT di
lingkungan RW kami di perumahan Griya Karya Giri Asri (GKGA) Gresik saat
peringatan HUT Kemerdekaan atau 17-an. Sejak itu, saya gandrung dengan
badminton. Apalagi tiap tahun ada lomba antar-RT yang serunya nggak
ketulungan, heboh abis.
Tetapi,
sejak Ramadan dua tahun lalu, aktivitas olah raga saya jadi lumpuh. Tidak
pernah lagi saya lakukan badminton atau olah raga lainnya hingga menguras
keringat. Nggak tahu, mengapa langkah jadi berat untuk menuju lapangan.
Sementara pekerjaan di kantor lebih banyak duduk menghadap layar komputer. Tak
heran, berat badan pun cenderung naik. Dari kondisi normal 65-67 Kg, kini sudah
mendekati 75 Kg.
Tidak
hanya itu, dan ini yang membuat saya gelisah, perut jadi rada gendut yang batas
teritorial terluarnya melebihi garis terluar dada. Sampai-sampai di rumah jadi
bahan gojlokan istri dan anak wedok, si tomboy Nadia.
Mereka tahu, bahwa saya tidak suka jika ujung luar perut saya sampai menyalip
garis terluar dada. Gak atletis blas.
“Wiiiiik
….jelek, yah (Ayah). Gak pantes,” celetuk Nadia seraya mencubit perut saya yang
tampak sedikit buncit. Dengan anak wedok
ini, komunikasi saya memang sangat akrab dan suka guyon. Saya sendiri juga suka menggoda dia sekadar untuk memecah
keheningan ketika suasana terasa “sunyi”.
Sudah
hampir dua tahun ini, tiga raket badminton saya tertidur dalam sarungnya dan
tergeletak di atas lemari pakaian di kamar belakang. Saking lamanya, tas raket
warna hijau kebiruan ini sampai kelihatan kumal karena terselimuti oleh debu. Selama
itu pula praktis tangan ini tidak pernah mengibas-ngibaskan raket itu alias
tidak pernah badminton, kecuali sesekali tamplekan sekadarnya dengan
anak lanang, Aldi di jalan depan rumah.
Entah,
kerinduan saya untuk kembali turun ke lapangan badminton belakangan ini terus
memburu. Ingin rasanya kembali memeras keringat di lapangan. Apalagi jika ada
teman yang dolan ke rumah dan minta saya gabung di lapangan. Ya,
akhirnya saya menyerah. Saya bulatkan tekad untuk kembali mintonan,
meski saya yakin bakal ada kemerosotan tajam baik dari kualitas pukulan maupun
stamina.
Karena
itu, ngiras-ngirus mengempeskan perut yang sekarang tampak agak menonjol
hingga melebihi garis terluar dada dan menurunkan berat badan yang berpotensi
terus berkembang (hingga kelihatan seperti pria lemu tur ginuk-ginuk/LGG)), saya akan kembali mintonan. Namun,
biar nanti tidak terlalu ngisin-ngisini karena lama tidak ikut latihan,
saya awali dengan latihan fisik ringan untuk membantu memulihkan stamina yang
kini jauh merosot. Pilihan saya jatuh pada nggowes dan jogging.
Saya
targetkan, dalam dua minggu kondisi fisik sudah lumayan pulih dan berat badan
sudah bisa di bawah 70 Kg. Syukur-syukur kalau bisa menyentuh titik 65 Kg. Saya
pilih nggowes dan jogging karena selain tidak terlalu berat dan
murah, kedua jenis olah raga tersebut sangat membantu memperkuat tumpuhan kaki,
terutama pada lutut dan tumpuhan telapak kaki. Baru setelah kondisi fisik
membaik, saya akan turun ke lapangan badminton. Semoga niat baik ini
berbuah manis dan saya tidak termasuk pria yang lemu tur ginuk-ginuk. (*)
Kebomas, 7 Februari 2014
No comments:
Post a Comment