Bersama pengungsi Syiah, Djemadi (kanan) |
Sabtu, 13 4Juli 2013
pagi hingga menjelang masuk waktu sholat Dzuhur merupakan hari istimewa bagi
saya dan jamaah pengajian rutin bulanan, NGAJI LAKU Pasar dan Lingkungan, yang
kami helat di masjid Al Imam, komplek pasar induk Puspa Agro, Desa Jemundo,
Kec. Taman, Sidoarjo, Jatim. Saya katakan istimewa, karena pengajian yang
diasuh oleh Omda Sidi Miftahulluthfi Muhammad al Mutawakkil (Gus Luthfi) ini
juga dihadiri oleh "jamaah spesial" sebanyak 69 keluarga, terdiri
atas bapak, ibu, dan anak-anak. Mereka adalah saudara kita, para penganut Islam
aliran Syiah asal Sampang, Madura yang terusir dari kampung halaman mereka.
Hampir sebulan mereka ditampung di apartemen sederhana (aparna) di komplek
pasar induk Puspa Agro setelah sebelumnya (sekitar setahun) "menginap"
di GOR Sampang setelah rumah-rumah dan tempat ibadah mereka dihancurkan oleh
orang-orang yang mengaku kaum Sunni. Oleh pemerintah provinsi Jatim dan Pemkab
Sampang, mereka dipindahkan ke aparna yang berada di area Puspa Agro karena
pertimbangan keamanan dan keselamatan mereka.
Sehari sebelum
pelaksanaan pengajian, saya memang minta tolong sekretaris takmir masjid Al
Imam, Pak Kandar, untuk mengundang saudara-saudara Syiah asal Sampang yang kini
tinggal di salah satu tower aparna di komplek Puspa Agro. Untuk maksud ini,
saya print-kan brosur woro-woro untuk diteruskan ke para
jamaah Syiah tersebut. Maka, sejak pukul 08.45 secara berangsur-angsur mereka
berdatangan ke masjid dan bergabung dalam pengajian bulanan ini. Kami tidak
akan masuk ke wilayah konflik Syiah vs Sunni di Sampang, karena itu domain
pemerintah. Lagi pula masjid Al Imam yang kami kelola sebagai salah satu
fasilitas umum/sosial pasar induk, dibangun untuk mengakomodasi aktivitas umat
Islam, tidak memandang dari golongan mana mereka berasal. Ini sesuai karakter
pasar yang menampung siapa pun yang berkepentingan dengan sarana perdagangan
itu, tanpa memandang status sosial, golongan, pangkat, atau label-label lain
yang menyertainya.
Dalam kesempatan
pengajian itu, Gus Luthfi selaku pengasuh tetap majlis pengajian, juga
memaparkan pentingnya menguatkan tali persaudaraan sesama muslim, apa pun
kelompok atau golongannya. Sebab, kata pengasuh PeNUS MTI Surabaya ini,
hakikatnya antara muslim satu dan lainnnya adalah saudara yang memiliki sesembahan
yang sama, Allah SWT; nabi dan rasul yang sama, Kanjeng Nabi Muhammad SAW;
kitab suci yang sama, yakni Al Qur'an; kiblat yang sama, juga akidah yang sama.
Karena itu, apa yang menimpa kaum Syiah Sampang yang berseteru dengan kaum
Sunni, mestinya tidak boleh terjadi. Mengutip salah satu hadis nabi, Gus Luthfi
mengatakan, kalaupun ada korban meninggal akibat perseteruan itu, baik yang
membunuh maupun yang terbunuh, sesungguhnya sama-sama kafir. Dalam pengajian
tersebut, jamaah juga diajak mendoakan agar puluhan keluarga yang kini
ditampung di aparna Puspa Agro secepatnya kembali lagi ke kampung halaman di
Sampang, Madura dengan pemahaman akan Islam secara benar.
Merasa
Jadi Korban
Seuasi pengajian dan
sholat dhuhur berjamaah, saya berbincang dengan beberapa warga Syiah di serambi
masjid. Ketika saya tanya, apa yang paling mereka inginkan saat ini? Secara
serempak mereka mengatakan, "Kami ingin cepat kembali ke kampung halaman.
Kami ingin hidup tenang bersama keluarga di kampung. Kami juga ingin beribadah
dengan tenang bersama keluarga."
Djemadi (49 tahun),
salah seorang pengungsi itu mengungkapkan, apa yang menimpa dirinya,
keluarganya, juga ratusan warga lainnya tak lebih cobaan atau ujian yang Allah
berikan kepada mereka. Bersama rekan-rekannya ia juga merasa jadi korban atas
perseteruan menahun yang justru tidak mereka pahami mengapa mesti terjadi. Hal
itu karena Kyai Muluk Mukmin (akrab dengan panggilan Kyai Tajul) adalah kakak
kandung Kyai Rois yang selama ini terlibat perseteruan yang melibatkan jamaah
atau pengikut masing-masing. Kyai Tajul adalah pemimpin kaum Syiah, sementara
Kyai Rois merupakan tokoh kaum Sunni di daerah yang sama. Kelompok Syiah di bermukim
Desa Karang Gayam, Kec. Omben sementara penganut Sunni di Desa Blu`uran, Kec. Karang Penam,
Kab. Sampang.
"Kami memang
harus bersabar. Ini ujian dari Allah dan tak ada apa-apanya dibanding ujian
yang diterima para nabi dan keluarganya. Kami yakin, Allah akan memberikan pertolongan,"
kata Djemadi seraya menambahkan, meski kini tinggal di bangunan megah, namun kenyamanan tidak ia rasakan, apalagi terkait dengan pendidikan anak-anak yang kini tak terurus.
Bapak enam anak ini
juga memastikan, apa yang dianut kaum Syiah di Sampang tidak ada perbedaan
hakiki dengan yang dianut dan diamalkan kaum Sunni dan kelompok Islam lainnya.
Karena itu, tidak ada alasan kaum Syiah untuk dimusuhi. Demikian juga
akidahnya, sama! Tetapi, apa kenyataannya? Kaum Syiah seakan dijadikan musuh
bersama karena dianggap sesat.
Saya sempat meminta
pria yang (maaf) kehilangan total tangan kanannya akibat kecelakaan ini
melafalkan syahadatain untuk sekadar
menjajaki di mana perbedaannya dengan yang saya lakoni selama ini. Dengan fasih
dia pun berucap, "Asyhadualla ilaha
illalloh wasyhadu anna Muhammadarrosululloh."
Ia pastikan, bahwa
lafal syahadatain itu juga diucapkan secara
sama dan diyakini oleh kaum Sunni dan kelompok muslim lainnya. Dengan demikian,
tandas Djemadi, sesungguhnya tidak ada masalah yang perlu dipertentangkan dan Syiah
dianggap sesat. Namun ia mengaku, dalam amalan sholat memang ada sedikit
perbedaan, namun ia yakinkan itu tak patut lantas dijadikan alasan untuk
nenilai kaum Syiah sesat dan harus dimusuhi. Perbedaan yang ia maksud adalah
tidak adanya gerakan atau posisi sedekap ketika berdiri dalam sholat,
sebagaimana dilakukan kelompok lainnnya. Saat berdiri, baik setelah takbirotul ihrom (takbir kali pertama
dimulainya sholat) pada rakaat pertama maupun pada rakaat berikutnya, posisi
kedua tangan dijulurkan ke bawah, menempel pinggang hingga paha. Perbedaan
kedua, begitu mengucap salam kedua saat mengakhiri sholat, kaum Syiah langsung
mengangkat kedua tangan seperti posisi berdoa seraya mengucap takbir (Allahuakbar)
tiga kali, lalu disambung dzikir sebagaimana dilakukan kelompok muslm lainnya.
"Ya hanya itu
bedanya. Masa begitu saja dikatakan sesat," ujar Djemadi penuh tanya.
Mencermati
perbincangan dengan beberapa kaum Syiah Sampang, naluri saya mengatakan, perseturan
dua kelompok itu bukanlah karena masalah akidah atau agama. Beberapa sumber
yang saya himpun menyebutkan, perseteruan dua kelompok ini diduga dipicu oleh dendam
lama dua bersaudara, yakni Kyai Tajul dan Kyai Rois. Kakak-adik yang semula kabarnya
sama-sama penganut Syiah --sebelum akhirnya Kyai Rois pindah haluan ke Sunni--
ini mempunyai masalah pribadi yang akhirnya berimbas pada konflik horizontal antarkelompok.
Maklum, keduanya sama-sama memiliki jamaah (pengikut), meski yang Syiah
termasuk minoritas. Ada juga cerita, asal-muasal perseteruan dua bersaudara itu
akibat soal asmara keduanya. Benarkah? Wallahu a'lam.
Pembiaran
Sistemik
Saya tidak mempunyai
kapasitas dan otoritas untuk menilai sesat atau tidaknya Syiah dalam perspeksif
ber-Islam, sehingga perlu justifikasi harus dibiarkan hidup dan berkembang (jika
tidak sesat) dan harus diberangus dan pengikutnya diusir (jika sesat). Tetapi,
ada dua hal yang menurut saya perlu dicermati terkait konflik berkepanjangan
ini. Pertama, kering dan kerdilnya sikap toleransi akibat kesombongan/kecongkaan kelompok
yang memusihi kaum Syiah. Kedua, pembiaran sistemik yang dilakukan pemerintah,
sehingga masalah jadi berlarut-larut.
Sikap sombong/congkak
secara dramatis telah dipertontonkan kelompok Sunni --yang telah terprovokasi-- kepada
publik, sehingga mereka tidak saja tak sanggup dan bisa hidup berdampingan dengan
kaum Syiah dengan semangat saling menghormati (lana a'maluna,
walakum a'malukum). Tetapi lebih dari itu, mereka bernafsu ingin mengenyahkan
ajaran Syiah dan pengikutnya dari bumi Allah, sesembahan kaum Sunni dan juga
sesembahan kaum Syiah.
Di sisi lain
pemerintah secara sistemik sepertinya malakukan pembiaran terhadap sikap dan
laku semena-mena (main hakim sendiri). Sikap ini melahirkan lemahnya kinerja aparat
intelejen (baca: boleh jadi memang disengaja) dalam mendeteksi gerakan yang
berpotensi rusuh akibat konflik dua kelompok tersebut. Logika waras akan sulit
menerima jika mata intelejen tak mampu melihat gejala yang muncul di dua desa
basis kaum Syiah dan Sunni itu. Akal sehat juga sulit menerima jika telinga
intelejen tak mampu mendengar apa yang terjadi di sana. Demikian juga tidak
mungkin hidung intelejen tak bisa mencium aroma permusuhan massal yang sudah
berlangsung cukup lama.
Demikian juga langkah
relokasi yang ditempuh terhadap para pengikut Syiah dari kampung halaman mereka
ke GOR Sampang tahun lalu, dan kini dipindahkan ke aparna di komplek Puspa Agro
di Desa Jemundo, Kec. Taman, Sidoarjo, Jatim. Apa yang ditempuh pemerintah ini
bisa dikatakan cari gampangnya atau menempuh standar minimalis. Pemerintah
sepertinya abai terhadap hak-hak dasar, tidak mau susah-susah mengurus warga negaranya yang beperkara
dan butuh penanganan komprehensif dan tuntas.
Sidoarjo,
15 Juli 2013
No comments:
Post a Comment