Oleh SUHARTOKO
Ada yang terselip di pikiran saya setiap kali
bulan Ramadan datang. Seperti slilit,
apa yang mengendap itu sekilas memang tampak sepele dan tak butuh perhatian
serius. Tetapi, keberadaannya selalu saja jadi ganjalan di tengah menjalankan
rangkaian ibadah di bulan nan suci ini, mengiringi puasa yang harus dilakoni sebulan
penuh.
Slilit
yang mengusik ketenangan itu berupa sikap dan perlakuan sebagian masyarakat dan
pemerintah yang berlebihan. Apa itu? Sikap itu yakni adanya tuntutan pemenuhan untuk
menghormati orang yang tengah berpuasa. Apa masalahnya hingga harus ada pola
penghormatan tertentu yang harus diberikan kepada para pemuasa? Apakah para
pelaku puasa itu memang gila hormat dan mesti diistimewakan?
Seperti di ketahui,
di hampir semua daerah di Indonesia banyak warung, kafe, restoran, atau apa
saja aktivitas penyedia makanan/minuman di siang hari tidak bisa melayani
pembeli atau pelanggan secara bebas sebagaimana di luar Ramadan. Pada pagi
hingga sore –saat puasa berlangsung--, tampilan warung atau kafe mesti
"dikerudungi", diberi tabir berupa kain atau terpal, atau apa saja
yang bisa menutupi wajah tempat penyedia makanan/minuman itu. Ironisnya,
gerakan menutupi tempat berjualan itu dilakukan oleh aparat pemerintah yang juga
didukung oleh ormas.
Para pemilik warung
atau kafe memang tidak dilarang berjualan. Hanya saja mereka harus menutupi
permukaan warung, baik di sisi depan maupun samping, sehingga tidak bisa
langsung dilihat dari luar. Biasanya, anjuran atau perintah menutupi permukaan
warung itu dikuatkan oleh edaran bupati/walikota di masing-masing daerah dengan
varian berbeda meski esensi pesannya sama: warung harus ditutupi sehingga dari
arah yang memungkin bisa dilihat seakan-akan tak ada aktivitas makan atau minum
di dalamnya pada saat berlangsung ibadah puasa.
Namun ada yang sangat
berlebihan. Salah satu pemerintah daerah di Banten, tidak saja melarang warung
buka secara "telanjang" pada pagi hingga sore hari, tetapi bahkan
melarang sama sekali buka alias tidak boleh berjualan total. Dalam tayangan
televisi saya sempat menyaksikan betapa ketegasan itu dijalankan, praktis tanpa
kompromi. Lewat pelaksana aparat satuan polisi pamong praja (Satpol PP), Pemda
mengobrak dan menutup paksa warung yang kedapatan buka pada siang hari.
Beginikah cara menghormati warga negara yang sedang berpuasa?
Hanya
Kewajiban yang Beriman
Kalau dicermati pesan
kitab suci Al Quran, pada surat Al Baqarah (2):183, --yang mendasari puasa
Ramadan--kewajiban berpuasa itu tidak mengikat setiap individu muslim, apalagi
nonmuslim. Tetapi, yang diwajibkan itu hanya orang-orang yang beriman,
sebagaimana juga diwajibkan kepada umat sebelum masa Kanjeng Nabi Muhammad,
meski dengan model dan tata cara yang berbeda. Dengan demikian, orang yang
(merasa) tidak beriman atau juga nonmuslim tidak terikat dengan kewajiban
tersebut dan tidak masalah (bukan berarti tidak berdosa) kalau tidak menjalankan
puasa Ramadan.
Kalau mereka tidak
kena kewajiban berpuasa dan memang tidak ingin berpuasa, mengapa mesti
sembunyi-sembunyi ketika hendak makan? Demikian juga warung-warung yang
melayani orang yang tidak berpuasa, mengapa harus ditutupi wajah depan/sampingnya
dengan tabir, bahkan dilarang berjualan pada pagi, siang, dan sore hari sebelum
Maghrib? Bukankah mereka (yang tidak berpuasa) juga butuh makan untuk men-support aktivitas mereka sehari-hari?
Bukankah para pemilik dan atau pekerja di warung itu juga butuh pendapatan
untuk menghidupi keluarga sehari-hari?
Sebagai muslim yang
sejak kelas 3 SD selalu menjalani puasa Ramadan, jujur saya merasa risih dan
malu menyaksikan fenomena memilukan tersebut. Bukankah puasa Ramadan itu hanya
sebagian kecil dari seabrek kewajiban dan amal kebajikan selaku hamba Allah dan
masih banyak kewajiban lain yang tidak menuntut penghormatan berlebihan? Memang
kenapa kalau sedang berpuasa melhat orang yang tidak berpuasa lagi makan,
minum, merokok, atau aktivitas lainnya terkait mengisi perut?
Menghormati bulan Ramadan
dan orang yang tengah menjalani puasa di bulan nan suci, penuh rahmat, berkah,
dan ampunan ini, memang sangat dianjurkan sebagai konsekuensi atas berhimpunnya
entitas masyarakat yang heterogen dan majemuk. Hanya saja, sebaiknya jangan
berlebihan, bahkan jangan sampai merugikan pihak lain, apalagi yang tidak
berpuasa. Yang tidak elok itu adalah ketika ada orang berpuasa, lalu yang tidak
berpuasa secara demonstratif makan/minum, iming-iming dengan harapan agar yang
berpuasa ikut makan/minum alias membatalkan puasa (mokel).
Dengan demikian,
penghormatan itu sesungguhnya tidak saja bagus dilakukan oleh orang yang tidak
berpuasa kepada yang berpuasa. Sebaliknya, orang yang tengah berpuasa juga
sebaiknya menghormati yang tidak berpuasa dengan jalan tidak membatasi
aktivitas makan/minum mereka. Inilah sebenarnya hakikat toleransi, baik bagi
warga seagama maupun yang tidak seagama: saling membiarkan dan saling
menghargai, tidak saling mengganggu dan merugikan. Saatnya kita bersikap dan
berlaku proporsional, tidak berlebihan di bulan suci Ramadan ini. (*)
Surabaya,
25 Juli 2013
*)
Suhartoko,
Pegiat
di Jaringan Literasi Indonesia
E-mail:
hartoko_07@yahoo.com
No comments:
Post a Comment