 |
Saat istirahat pada sesi off road |
Dari Lokasi Rafting dan Off Road
Kasembon, Malang
Petualangan saya bersama delapan teman seharian kemarin, tidak hanya sekadar
memacu nyali dan adrenalin. Lebih dari itu, ada hal tak ternilai yang saya
peroleh dan rasakan. Saya merasa,
petualangan tersebut makin mengasah ketajaman dimensi ilahiyah saya dalam perspektif
peningkatan dzikrulloh.
Ketika perahu yang kami tumpangi (saya bersama tiga teman dan seorang pemandu) harus
meluncur dan menuruni derasnya arus air di area arung jeram (rafting) Kasembon, Kab. Malang, dengan
kemiringan hingga 90 derajat, tubuh saya terasa dikeplekno ke air bersama perahu karet yang kami tumpangi.
Sambil melengkingkan teriakan –untuk mengurangi
ketegangan--, saya merasa butuh kekuatan dahsyat untuk melewati jalur itu
dengan aman dan selamat. Dalam hitungan detik, ketika tubuh saya terpental dari
atas perahu dengan tangan tetap berpegangan pada tali perahu, saya merasa
Allah, Tuhan Yang Mahaperkasa ada di sisi saya. Beberapa kali jalur berbahaya pun
kami lewati dengan aman. Allahuakbar!
Saya bayangkan, ketika harus melewati arus deras yang meluncur bak air terjun,
kemudian di depan, samping kiri-kanan terlihat batu-batu cadas. Kalau saja
perahu yang kami tumpangi terguling atau saya lepas dan terpental keluar
perahu, sangat mungkin tubuh saya bundhas
kabeh karena harus berbenturan dengan bebatuan yang keras itu. Saya merasa
memang ada kekuatan besar yang membantu saya bersama teman-teman seperahu. Seketika
itulah saya merasa benar-benar dekat dengan Gusti Allah. Alhamdulillah!
Selain mengasah aspek spiritual, dimensi sosial juga saya dapatkan selama
perjalanan rafting. Ketika dalam
perjalanan rafting itu saya temui sejumlah
penduduk mandi dan (maaf) BAB (buang air besar) di pinggir sungai yang tampak
tak jernih itu. Saya merasa bersyukur, setidaknya, sehari-hari saya tidak mandi
di kali yang kelihatan kotor dan tak BAB di kali itu.
Off Road dan Terbang Menegangkan
Hal yang sama juga saya dapati pada
sesi off road berlangsung. Ketika
beberapa kali harus menaiki dan menuruni bukit/gunung berlumpur karena habis
hujan dengan kemiringan 60-80 derajat, saya merasa ada kekuatan besar yang
menambah daya cengkeram roda kendaraan, sehingga tak terpeleset ke luar jalur. Raungan
mesin kendaraan juga teriakan navigator yang terus menyemangati driver mampu melewati jalur maut tersebut.
Saya sempat bayangkan, kalau saja kendaraan kami terpeleset, atau mesin macet
saat menanjak, ato keblundhung saat
menuruni lereng, jurang yang menganga di kiri-kanan sirkuit pasti mengubur
kami. Padahal, dalam beberapa rute, badan jalan ada yang ngepres (pas, tak tersisa) dengan bagian luar roda mobil.
Allahuakbar! Di sinilah dimensi ilahiyah saya kembali terasah dan saya
merasa Tuhan memang ada di samping saya.
Ketika berada di zona aman, saya dan tim sempat istirahat. Pada posisi di
tempat yang paling tinggi di gunung itu (saya tidak tahu nama gunungnya), saya
bisa menyaksikan betapa terjal lereng gunung yang bersambung jurang menganga.
Saya bisa menyaksikan hutan juga pemandangan dengan view lepas sehingga bisa menjangkau area yang sangat luas, sebebas
mata memandang.
Wow … indah bangets. Subhanallah!
Dinginnya guyuran hujan yang membasahi seluruh tubuh makin memperkuat
spritualitas saya, bahwa di luar diri saya memang ada kekuatan mahadahsyat.
Pengalaman petualangan yang bikin saya merasa dekat dengan Tuhan, juga pernah
saya rasakan pada tahun 1994. Itu saya dapatkan ketika saya ikut terbang dengan
pasukan Paskhas TNI AU dalam latihan pengeboman di pantai kawasan Lumajang, Jawa
Timur.
Take off dari skuadron Lanud Abd.
Saleh Malang, saya naik berada di belakang pilot (casting jadi copilot, hehe), pesawat tempur taktis yang mampu
terbang rendah, OV 10 Bronco meraung-raung di udara. Pesawat dengan desain
seperti capungn berkapasitas penumpang hanya dua orang ini beberapa kali
melakukan manuver, mulai terbang miring, molak-malik,
sampai menukik saat melakukan pengeboman.
Sebelum terbang, saya memang menerima pengarahan dari instruktur. Jika terjadi
sesuatu yang darurat, misalnya pesawat trouble
atau sampai meledak, saya diminta menekan tombol di sisi (lupa kanan atau kiri)
kursi saya, dan kursi lontar yang saya duduki akan melesat ke atas. Payung
parasut yang melekat di pakaian tempur yang saya kenakan pun akan mengembang
otomatis dan saya pun melayang-layang layaknya penerjun.
Meski telah menerima breafing dari
instruktur, saat di udara saya hanya bisa pasrah dan benar-benar menyerahkan
total diri saya kepada Gusti Allah. Bayangkan! Saya tidak punya keterampilan
terjun payung. Kalaupun saya bisa melesat dan payung mengembang (jika terjadi
kecelakaan), saya tidak tahu bagaimana cara turunnya. Karena itu, saya hanya bisa
komat-kamit dan berdoa moga-moga
Tuhan melindungi saya.
Dan, alhamdulillah. Pesawat yang saya tumpangi bersama sang pilot bisa kembali
landing di skuadron Lanud Abd. Saleh dengan
lancar dan selamat setelah beberapa kali melakukan pengeboman dengan sasaran
pantai di Lumajang. Dalam perjalanan ke dan dari pantai Lumajang itu, saya
sempat nikmati pemandangan menakjubkan, yakni puncak gunung Semeru yang
dikelilingi awan putih. Tampak seperti puncak Semeru itu tengah mengenakan
cincin.
Itulah sekelumit pelajaran ('ibrah) berharga
yang bisa saya petik dari sepenggal perjalanan hidup saya. Semoga bermanfaat.
Dalam
Perjalanan Kasembon – Surabaya, 3 Juni 2011